Sejak menikah, sudah lama saya tidak punya waktu sendiri
yang bebas untuk melakukan apapun dalam waktu yang lama. Ada beberapa moment
dimana saya bisa memiliki waktu sendiri tapi biasanya waktunya tak terlalu
lama. Maka saat mengikuti rapat kerja di pertengahan bulan April ini, Eza tak
diajak dan juga tak (boleh) sekamar dengan suami, justru inilah waktu emas
dimana saya bisa punya banyak waktu untuk diri sendiri, terutama untuk membaca
dan menulis, merenungi banyak hal yang membutuhkan konsentrasi penuh.
Apalagi saat berangkat raker ini, berangkatnya tak
berbarengan dengan teman-teman karena saya dan suami harus piket di asrama
untuk mengurus kepulangan siswa kelas XII setelah menyelesaikan Ujian Akhir Nasional.
Satu bis disediakan panitia untuk peserta rapat kerja yang masih memiliki tugas
di sekolah. Peserta lain berangkat resmi pada pukul 7 pagi sementara kami yang
menyusul, berangkat pukul 13.30. Bis susulan ini ternyata kosong, jadi beberapa
penumpang memanfaatkannya untuk selonjoran dan bersantai ria di bis. Selama
perjalanan di bis, saya sudah siapkan satu buku berjudul Mencari Senyum Tuhan
karya Miranda Risang Ayu untuk saya lahap dalam perjalanan menuju Hotel
Padjadjaran Bogor.
Buku ini menceritakan kisah perjalanan spiritual penulisnya
dan refleksi pengalamannya dalam memaknai kehidupan seorang pencari kebenaran. Dalam
pengantarnya, sang penulis mengatakan bahwa, “Ketika seorang muslim menjawab
kerinduan ilahiah yang terbit dalam hatinya sebagai panggilan untuk memulai perjalanan
mendekatkan diri kepada Allah, Yang Awal dan Yang Akhir, maka perjalanan pun
dimulai. Artinya sekali melangkah, tidak ada kata mundur. Jika ia lengah, Allah
akan mengingatkan. Jika ia berpaling, Allah akan meluruskan. Jika ia jatuh
Allah akan menegakkan. Bagaimana jika si pejalan malah ngambek, lantas
tenggelam dalam kekecewaan dan penyesalan yang membuatnya meninggalkan semua
amal baik yang telah dilakukannya? Allah akan memecutnya. Ya, tidak
menghiburnya dengan lemah lembut lagi, tetapi memecutnya untuk tegak dan
berjalan kembali. Niatnya untuk menjadi penempuh telah membuat mata hatinya
menyaksikan bahwa Allah sesungguhnya selalu menarik hamba-Nya kembali
kepada-Nya, dengan sukarela maupun terpaksa”.
Membaca buku ini di bis, sendirian di tengah keramaian,
rasanya saya ingin menangis mengingat jatuh bangunnya saya menempuh perjalanan
sebagai hamba. Dulu, sebelum menikah saya menikmati waktu berduaan dengan si
Dia saat shalat, sering menangis curhat pada-Nya di siang maupun malam hari. Rasanya
nikmat dan merindukan sekali momen-momen indah itu. Setelah menikah, bisa
me time walau hanya dalam bis seperti ini dengan menikmati buku perjalanan
spiritual penulisnya, rasanya indah banget dan tak terlupakan. Berbagai masalah
dan tantangan kehidupan pernikahan yang pasti selalu ada, membuat saya harus
tetap berdiri kuat agar tak kehilangan momen indah bersama-Nya.
Maka saat mendapat quote indah tentang ketabahan dalam
salah satu halaman buku ini, rasanya seperti pesan si Dia untuk menghibur saya.
Sang penulis mengutip makna ketabahan yang ia dapat dari guru spiritual dari
Pati yang bernama Muhammad Zuhri yaitu “Tabah berada dalam situasi dan kondisi
yang tidak kita sukai dan tidak kita ingini. Kepedihan tidak bisa dihindari. Kita
bahkan sering merasakan derita akibat beban atau kesalahan orang lain. Sebagai orang
beriman, kita harus turut memperbaiki, dan bukan membiarkan atau bahkan
mensyukuri derita yang dialami orang lain. Menerima kondisi yang tidak disukai,
menghikmati dan melakukan sesuatu untuk memperbaiki adalah proses membangun
ketabahan”.
Indah sekali menikmati buku ini, sangat bergizi dan
menumbuhkan semangat baru untuk menikmati berbagai tantangan kehidupan yang
akan selalu ada. Semoga berbagai kejadian dan ujian kehidupan ini, bisa membuat
lebih tabah dan lebih kuat serta lebih mesra dengan dia si suami dan Dia sang
Maha Cinta.
Semoga Bermanfaat
Jumat, 140417.06.40
#odopfor99days#part2#day62
No comments:
Post a Comment