Showing posts with label Kisah Ta'aruf. Show all posts
Showing posts with label Kisah Ta'aruf. Show all posts

Wednesday, April 10, 2013

Travelling & Proses (Menuju) Pernikahan

Tulisan ini mencoba menghubungkan antara travelling dan proses menuju pernikahan, adalah karena jadwal minggu kedua dari sesi menulis mingguan saya adalah tentang travelling dan karena tepat 10 hari lagi (insya Allah) saya akan menjalani proses pernikahan. Jadi berusaha menyambung-nyambungkan lah. Alasan lain adalah karena banyak yang bertanya tentang proses perkenalan saya dengan si dia, sang calon suami saya. Jadi daripada saya jelaskan satu persatu, lebih baik saya tulis saja. Semoga bermanfaat.

Travel

Wednesday, December 3, 2008

TAARUF KE-10: DAUN MUDA

Suatu hari, temen ngajiku menawarkan seseorang untuk berproses denganku. temen ngajiku yang biasa kupanggil bundo karena orang Padang, kebetulan punya kontrakan. nah dia menawarkan seorang laki-laki yang kost or ngontrak di tempatnya.

aku sering nginep dirumah bundo di kawasan pamulang. saat aku nginep di rumahnya pada hari senin tanggal 10 sept 2007, aku pun bertemu dengannya. dia 4 tahun lebih muda dariku, orang makasar, sarjana teknik dari unhas, sekarang bekerja sebagai manajer di superindo. kami ngobrol selama dua jam dari pukul 19.30 sd 21.30, ditemani bundo tentu saja. orangnya rame, cepet akrab dengan siapapun, seneng ngobrol, terbukti dengan bundo ada saja topik pembicaraannya.

setelah itu, kami tenggelam dalam kesibukan masing-masing. memang akadnya di awal adalah berteman, jadi memang tidak perlu menanyakan tahapan berikutnya.

tanggal 31 okt 07, dia menelfonku, pamit karena dipindahtugaskan ke bandung, aku pun menyimpulkan bahwa proses ini berakhir.

TAARUF KESEMBILAN: NUMPANG LEWAT

Suatu hari di bulan april 2007, ada teman yang menawarkan proses (lagi) dengan seseorang yang bernama Akmal (nama sebenarnya lho). Saat itu beliau menelfon ku hari Sabtu tanggal 7 april, sepertinya aku memang belum siap untuk berproses lagi, karena itu aku putuskan mundur perlahan setelah sebelumnya janji bertemu tapi tak kunjung terlaksana.

Proses ini pun berakhir dengan sendirinya tanpa ada kejelasan kapan berakhirnya. Aneh ...

TAARUF KEDELAPAN: VIA DUNIA MAYA

Entah bagaimana awalnya, kami bertemu lewat dunia maya. Di bulan juni 2006, aku menerima email dari seseorang yang menawarkan taaruf, tepat di hari Jumat tanggal 2 juni 2006, bersamaan dengan Didi datang ke tempat kerjaku di Serpong untuk meminjam handycam. Lucu juga ketemu Didi, sahabatku sekaligus calon pasangan taarufku ... tapi untunglah kami masih bisa mengendalikan keadaan.

di hari Senin tanggal 6 juni 2006, kami berkirim email, saya dan dia, sebut saja namanya Muhammad. Dia aktivis, ikut tarbiyah, lulusan S2 di sebuah universitas. Hari rabu tanggal 8 juni 2006 disusul dengan mengirim foto, dan setelah itu menghilang tanpa jejak. Ternyata memang menghindar benar-benar cara laki-laki ... inilah proses tercepat sepanjang karir taarufku (hehe) dari tanggal 2 juni 2006 sd 7 juni 2006, hanya 5 hari euy ...

Lalu, jawaban itu pun datang. Di hari Sabtu tanggal 15 juni 2006, muhammad mengabariku bahwa dia ditawari proses dengan yang lain. Dah telat mas, ngabarin nya juga ...
Yah, memang nasib, laki-laki memang sangat berkuasa untuk menetukan pilihan, satu diantara beribu pilihan pun bisa dia dapatkan ...

Tapi belakangan ini memang aku menjalani beberapa proses tanpa adanya gairah dan semangat, mungkin karena sudah lelah berkali-kali gagal ...

TAARUF KETUJUH: SECRET ADMIRER

Di bulan Mei 2006, sahabatku yang lain, di tempat kerja di tangerang, juga mengagetkanku. Mas nono, sebut saja namanya itu, bilang ke sahabat wanitaku bahwa dia ingin serius denganku. Reuwas oge, ada yang diam-diam mengagumiku. Masa persahabatan selama 2 tahun di tempat kerja, dengan intensitas kerja yang lumayan tinggi, memang memungkinkan untuk meningkatkan kadar persahabatan ke tingkat relasi yang lebih serius. Tapi aku tetap saja tidak bisa meninggalkan prinsip awalku, sahabat adalah sahabat.

Mas nono adalah seorang guru cerdas, lulusan magister manajemen di sebuah universitas. Aku tidak menyangka dia berniat serius denganku, karena selama kami bersahabat, tidak terlihat sedikitpun hal yang mencurigakan. Tapi aku pun beristikharah, kuungkapkan semua kebingunganku pada-Nya. Hasilnya? Seperti biasa, laki-laki menghindar untuk menyelesaikan masalah. Dan proses dengan para sahabatku ini pun gagal lagi. Andai tahu prosesnya akan berakhir seperti ini, mendingan tidak pernah terjadi proses taaruf dengan sahabat, lebih indah menjadi sahabat, tapi sayangnya waktu tidak bisa di rewind ...

TAARUF KEENAM: TERNODANYA PERSAHABATAN

Tidak mudah menceritakan ini, sepertinya ini proses yang paling menyita fikiran dan hati, melelahkan sekali ...

Kami bersahabat di Bandung sejak tahun 2006, sebut saja namanya Didi. Tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami. Karena aku berprinsip selama koridornya persahabatan, aku tidak akan pernah menodai indahnya sebuah persahabatan dengan adanya relasi yang lebih. Aku bahkan pernah menawarkan teman kerjaku kepada Didi, dan mereka pun sempat bertaaruf, bahkan mereka bertemu pertama kalinya di tempat kakaku di tangerang. Didi pun pernah bersilaturahmi ke rumah teman kerjaku itu. Entah apa sebabnya proses mereka tidak berlanjut.

Hingga, setelah aku menunaikan ibadah haji, tak terasa teman-teman dan sahabatku satu persatu meninggalkan masa lajangnya. Aku dan Didi, entah kenapa belum diamanahi pasangan. Kami pun berkomunikasi lagi setelah sekian lama kehilangan kabar. Dan di bulan maret 2006, tepatnya tanggal 22 maret 2006, entah gimana awalnya, tiba-tiba kami ”terjerumus” jadi membicarakan masalah pernikahan. Aku minta dicarikan temannya, dia malah menyatakan dia juga lagi nyari, ya sudahlah akhirnya kami berisitikharah selama seminggu untuk memutuskan taaruf ga yah?? Khawatir kalau ini hanya tipudaya setan saja.

Dan di akhir maret 2006 kami memutuskan untuk saling kirim data kembali, karena walaupun kami sudah bersahabat selama 10 tahun, kami tetap saja tidak saling mengenal pribadi masing-masing.

Tapi, kabar duka itu pun datang juga. Setelah sepakat untuk saling berkirim data kembali via email, dengan berbagai alasan Didi pun menunda-nunda, alasannya cukup bisa diterima sich, sibuk kerja ... hingga di bulan april 2006, saat kukirim sms menanyakan kabar, tak ada balasan.



Di sela-sela proses ini, di tanggal 17 april 2006, teman kerja ku di serpong menawarkan saudaranya, wah rasanya penat sekali, aku merasa proses dengan sahabatku ini ga jelas, belum dimulai memang, tapi juga sepertinya belum berakhir. Maka aku pun dengan halus menolak tawaran dari teman kerjaku. Aku pengen menyelesaikan satu persatu.

Akhirnya aku pun menulis sebuah tulisan di sebuah milis, yg juga diikuti Didi. BERHASIL. Dia pun merespon dengan mengirim sms, meminta maaf atas semua yang terjadi. Aku pun menyimpulkan bahwa memang itulah cara laki-laki menyelesaikan masalahnya, yaitu dengan menghindar. Mungkin takut menyakiti, tapi sebenarnya lebih tersakiti jika diberi ketidakjelasan. Belakangan kemudian aku tahu bahwa sebenarnya dia sedang berproses dengan yang lain. Mungkin memang bukan yang terbaik, tapi ternyata berproses dengan sahabat itu lebih menyakitkan, karena relasi sebelumnya yang sudah terjalin indah sebagai seorang sahabat, ternyata tidak bisa dikembalikan seperti sediakala. Ada yang sudah ternoda dan susah dibersihkan ...

Di bulan juni 2006, kami bertemu, dia datang ke tempatku untuk meminjam handycam. Di bulan juli 2006, terungkap juga dari Didi alasan dia menghilang di bulan april, katanya dia tidak cukup pede untuk berproses denganku, tapi sepertinya itu alasan sekunder. Alasan primernya ternyata adalah karena dia sedang dalam proses pending dengan akhwat tarbiyah. Bulan agustus 2006, bersama seorang teman, kami melakukan sebuah perjalanan untuk merencanakan bisnis bersama. Sepulang dari perjalanan bersama, dia memberiku sebuah harapan. Harapan untuk kembali bersama, tapi ternyata itu pun dia ungkapkan saat dia berproses dengan akhwat lain, yang sudah direstui ibunya.

Didi bimbang. Satu sisi, dia lebih mengenalku dibanding akhwat itu, sisi lain proses dengan akhwat itu sudah melangkah terlalu jauh. Aku memang kecewa saat tahu bahwa ketika dia berniat berproses denganku dan tiba-tiba menghilang di bulan april 2006, sebenarnya itu dalam tahap pending proses dengan sang akhwat tarbiyah. Kenapa yah laki-laki yang seperti Didi ini tidak kuasa memberikan ketegasan? Jika memang sedang berproses dengan seorang wanita, berhentilah untuk memberikan perhatian dan harapan pada wanita lain. Jika takut menyakiti, sebenarnya lebih tersakiti lagi jika berpura-pura memberikan perhatian untuk menutupi keadaan yang sesungguhnya.

Untuk menjaga berbagai hal, rencana berbisnis bareng pun kuhentikan. Ada satu aib Didi yang tidak perlu kuungkap disini, yang belakangan kusadari inilah hikmahnya aku tidak jadi menikah dengan Didi. Tidak jadi menikah dengan Didi, karena beberapa bulan kemudian, Didi menikah dengan sang akhwat tarbiyah. Di hari pernikahannya dia meminta maaf dan sengaja tidak mengundangku. Entah apa sebab nya ...

Dan life must go on, tidak mudah memang melanjutkan hidup setelah persahabatan ternodai, setelah merasa berkali-kali dikhianati, tapi terus akan kucoba dan kucoba. Sepertinya aku merasa lelah sekali ...

TAARUF KELIMA: TERBELENGGU MASA LALU

Suatu hari di bulan feb 2006, sepulang dari ibadah haji, temen kerjaku di tangerang, menawarkanku untuk taaruf. Walaupun masih lelah sepulang menunaikan ibadah haji, tapi aku teringat dengan doaku di tanah suci, mungkin inilah jalannya, fikirku.

Dan di hari jumat, 17 feb 2006, dia pun sms, ”assalamu’alaikum bu guru, gimana kabarnya? Saya soleh (kali ini nama sebenarnya, mudah2n orangnya ga baca blog ku). Mudah2n silaturahmi sms ini bermanfaat untuk sebuah persaudaraan”

Setelah kubalas dan kutanyakan tahap berikutnya, dia bilang ”terserah deh atur aja yah. Kita awali dengan sebuah persaudaraan dulu yah untuk saling mengenal dan mengetahui pribadi masing-masing”

Dan kami pun bertukar biodata, beliau lahir tahun 1975, orang Tegal, S1 bidang agama islam di sebuah sekolah tinggi, dan sekarang merintis bisnis percetakan. Katanya baru ditinggal nikah 2 minggu yang lalu, (saat itu tgl 18 feb 06). Anak ke-6 dari 10 bersaudara, pindah dari LIPIA karena berbeda faham. Dia aktivis PMII, organisasinya orang-orang NU. Punya aktivitas sosial yang biasa menangani kegiatan anak-anak yatim. Cool euy

Sebenarnya ada kesamaan antara kami, yaitu sama-sama trauma dengan proses pra nikah yang ga jadi. Tapi karena sama-sama terjebak kenangan masa lalu, kami pun menjalaninya dengan santai. Bahkan kami pun memutuskan untuk bertemu langsung daripada tukeran foto. Dan di hari Rabu 22 feb 06, tepat 5 hari setelah kami proses, kami pun bertemu di sebuah tempat di Ciputat. Dia ternyata pebisnis tulen, punya 6 karyawan, bahkan di sela-sela pembicaraan kami, beberapa kali dia menerima telfon bisnis, dan aku dicuekin, hehe

Begitulah pertemuan kami, setelah itu kami memutuskan untuk istikharah dan meminimalisir komunikasi (tepatnya mah loss contact). Hingga di hari kamis 2 maret 2006, proses itu pun berakhir, tepat hari ke-14. Sepertinya faktor trauma masa lalu, mendominasi fikiran kami masing-masing.

TAARUF KEEMPAT

Suatu hari di bulan feb tahun 2005, sahabatku waktu kuliah, yang sekarang berdomisili di batam, menawarkanku untuk bertaaruf dengan teman suaminya. Setelah kupertimbangkan, ga ada salahnya juga ikhtiar lagi untuk bertaaruf yang keempat kalinya.

Di hari Kamis, tanggal 24 feb 2005, dia, sebut saja namanya tyar pun sms, ”ass sy tyar, insya Allah mau taaruf”. Dan setelah itu, kami pun saling berkirim biodata dan foto, via sms juga via email. Kadang-kadang, tyar juga menelfonku, sepertinya dia memang berniat serius. Ya iyalah serius, kalau ga serius mah dia ga akan taaruf yah.

Sekilas tentang tyar, dia kelahiran tahun 73, orang aceh, kerja di Batam, anak ke-2 dari 8 bersaudara. Selama sebulan kami berkomunikasi dan berdiskusi, dan masalah itu pun datang ...
terkait dengan rencana keberangkatan hajiku di akhir tahun 2005, dan juga terkait dengan kontrak kerjaku selama 2 tahun dari tahun 2004 sd tahun 2006. artinya sampai tahun 2006, diriku tidak boleh meninggalkan tempat kerjaku di tangerang, sementara tyar juga sudah menjadi pegawai tetap di Batam. Dan tyar sudah memutuskan untuk serius melanjutkan proses taaruf ini ke jenjang berikutnya. Long distance? Ngga lah, ngapain juga nikah kalo akhirnya terpisah juga. Dan kami pun sama-sama bingung ...

ternyata, tak kusangka, tyar berusaha mengalah, dia pun mencoba nyari kerja di jakarta. Berkali-kali dia kirim email ke beberapa perusahaan di jakarta, tapi ternyata hasilnya nihil. Akhirnya karena menemui solusi buntu, kami pun memutuskan untuk menyelesaikan proses taaruf ini di tanggal 7 maret 2005. yah, proses kami hanya berlangsung selama 14 hari. Karena khawatir kalau diteruskan malah akan berkomunikasi yang tidak syar’i, maka dengan saling berat hati proses ini pun selesai.

di tanggal 20 maret 2005, tyar kembali menghubungiku, hanya menanyakan kabar dan sepertinya mulai mengadakan proses pdkt, hingga bulan april 2005 kami menyambungkan silaturahmi lagi, ga jelas juga sich proses lagi atau tidak. Pembicaraan masih bersifat umum, tapi perhatian-perhatian kecil dia berikan. Kami pun secara tidak sengaja melanjutkan proses kembali (CLBK kah? Caaruf lama bersemi kembali hehe). Kami pun mulai mensosialisasikan ke orangtua, tapi orangtuaku keberatan jika aku pindah ke batam, selain itu, aku juga masih terikat kontrak di tempat kerja ... kami pun sama-sama bingung ...

belum lagi tahun depan aku berangkat haji ... walaupun secara implisit dia menyatakan akan menungguku sepulang haji, tapi aku merasa, tidak bisa menjamin akan kebersihan proses ini jika kuteruskan, aku berangkat januari 2006, pulang dari haji bulan februari dan sekarang masih bulan april 2005, berarti hampir setahun. Aku tak sanggup, takut prosesnya tidak bersih lagi. Akhirnya dengan berat hati lagi, kami pun memutuskan untuk mengakhiri proses ini di bulan juni 2005

Lalu, di bulan agustus 2005, aku memberanikan diri untuk menawarkan sahabatku ke tyar, mereka pun berproses. Saat aku menunaikan ibadah haji, tepatnya tgl 8 januari 2006, tyar datang ke rumah sahabatku untuk bertemu keluarganya. Untunglah waktu itu kami tidak meneruskan proses, kasihan sekali kalau tyar harus menungguku, sementara ketika aku berangkat haji, dia bisa melakukan proses dengan yang lain. Memang kalau tidak berjodoh, ada saja jalannya, seperti aku dan tyar. Begitupula kalau sudah berjodoh, ternyata jalan nya mudah saja, seperti sahabatku dengan tyar.

Dan di bulan april 2006, mereka pun menikah, dan sekarang mereka sudah berbahagia dengan satu orang putri, bahkan sekarang sahabatku itu sedang hamil lagi.

Alhamdulillah, aku berhasil jadi mak comblang, semoga bisa membangun rumah di surga kelak. Amin

Ko jadi kaya cerita sinetron yah. Udah ah. Case closed ...

TAARUF KEDUA

Ini mungkin proses terkilat yang pernah kujalani. Ditawarin teman kerja di tangerang, dengan seorang ustadz di kampungnya, di akhir desember 2003, lalu kami bertemu di tempat teman kerjaku itu. Dan di tanggal 2 januari 2004, proses kami pun berakhir. Haha secepat itu yah ...

Friday, August 15, 2008

TAARUF KETIGA: TERLALU CEPAT

Sewaktu kuliah, saat teman-temanku membicarakan pernikahan dan saling berdoa untuk segera memasuki gerbang pernikahan di usia muda, entah kenapa aku tidak ingin menikah di usia muda. Aku punya banyak mimpi yang sepertinya akan sulit bila aku menikah muda. Jadilah ketika teman-temanku mendoakan supaya menikah cepat, aku tidak meng'amin'kan, malah aku selalu bilang "ntar aja, kalian duluan deh" (emang apaan duluan)

Selepas kuliah di Bandung, aku pun mencoba mencari kerja di Bandung. Tapi berbulan-bulan kucoba, tak banyak yang kudapat sementara aku tetap harus mengeluarkan biaya untuk kost dan makan. Setelah istikharah, kuputuskan untuk hijrah dari kota Bandung. Kebetulan orangtuaku punya wartel di daerah pinggiran ibukota yang belum ada petugasnya, akhirnya kuputuskan untuk membantu usaha orangtuaku sambil mencari kerja.

Menjaga wartel ternyata membosankan, tak menantang untukku yang biasa banyak beraktivitas. Akhirnya aku pun melamar pekerjaan di berbagai institusi. Berbagai interview kuikuti. Alhamdulillah 5 bulan kemudian, usahaku berbuah. Aku diterima menjadi guru di sebuah sekolah islam elite. Ku masih ingat saat itu pertengahan tahun 2001.

Karena ini impianku dari dulu, aku pun menikmati pekerjaan ini. Berangkat kerja mulai pukul 6 pagi, pulang jam 5 sore, setelah magrib disambung dengan mengajar TPA di tempat kontrakan ibuku. Bertahun-tahun, kujalani rutinitas ini dengan penuh sukacita. Hingga tak terasa usiaku terus bertambah. Aku pun mulai jenuh dalam rutinitas pekerjaan, setelah 3 tahun bekerja, aku mulai mencari-cari pekerjaan lain tanpa sepengetahuan teman-teman kerjaku. Beberapa teman dan saudara bahkan mengingatkanku untuk segera mencari pasangan.

Suatu hari, pita, tetangga kontrakanku meminta kartu namaku. Katanya dia mau menawarkan bazaar pada event pengajian besar yang akan digelarnya bersama teman2 pengajiannya. Memang sambil mengajar, aku pun mulai merintis bisnis di bidang garment, pakaian muslim dan muslimah. Kadang sambil sekolah, kutawarkan kepada teman-temanku dengan sistem kredit. Di hari libur, kulanjutkan dengan berkeliling ke rumah saudara-saudaraku. Memang saat itu gajiku sebagai guru hanya cukup untuk ongkos dan makan plus jajan. Padahal aku ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.

Pita memberitahukan rencananya dengan mengundangku mengikuti bazaar. Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Kutanyakan kepada pita tentang segala aturan mainnya tanpa curiga sedikit pun. Pita pernah menyebut-nyebut sang ketua panitia, tapi kupikir apa urusanku dengan si ketua panitia, toh lewat pita pun aku masih bisa daftar untuk menjadi peserta bazaar.

Ternyata, pita menyerahkan kartu namaku pada sang ketua panitia, tanpa sepengetahuanku. Aku tidak tahu kalo ternyata pita mempunyai rencana lain ketika meminta kartu namaku. Aku ingat saat itu di tahun 2004, aku sedang berusaha mewujudkan salah satu mimpiku yaitu mengabdi di sebuah pesantren di pedesaan atau pedalaman. Kebetulan aku membaca iklan, sebuah pesantren di daerah Kalimantan sedang membutuhkan seorang guru. Aku pun menghubungi cp nya. Kami pun "janjian" untuk ketemuan di daerah Jakarta di hari Sabtu.

Malam Sabtunya, pita menghubungiku, katanya kartu namaku sudah diberikan pada sang ketua panitia, sebut saja namanya Rahman. Aku kaget, setelah bazaar itu, aku sudah tidak ingat lagi tentang kartu nama, karena pita pindah tempat kontrakan. Kufikir, setelah bazaar selesai, urusan kartu namapun selesai, ternyata belum saudara-saudara. Pita memberitahu, bahwa besok hari Sabtu ikhwannya pengen ketemu. Lho ko jadi begini? Di saat aku sedang berusaha mewujudkan salah satu mimpiku, ko aku ditawarkan sebuah proses taaruf? Di hari yang bersamaan pula. Akhirnya kusampaikan pada pita bahwa aku sudah janji bertemu seseorang di Jakarta. Pita pun menawarkan sepulang dari jakarta, aku ke tempat kontrakannya yang baru. Aku agak kasian juga sama pita yang sudah semangat untuk memprosesku, lalu kubilang "diusahakan deh"

Bersama teman kerja, di hari Sabtu yang indah aku pun pergi ke Jakarta. Setelah bertemu dengan sang cp atau ust di pesantren tersebut, aku semakin yakin dengan kekuatan mimpi. Aku merasa kejenuhanku di tempat kerja bisa terobati dengan hijrahnya aku ke Kalimantan. Tapi kemudian aku teringat janji dengan pita untuk ketemu dengan Rahman. Saat itu aku sedang memfokuskan fikiranku untuk mewujudkan salah satu mimpiku, maka tawaran taaruf ini alih-alih membahagiakanku, malah kuanggap sebagai penghalang. Tapi janji adalah janji. Ya sudahlah kufikir apa salahnya ketemu, menambah teman dan menyambung tali silaturahmi.

Sepulang dari Jakarta, aku pun ke tempat kontrakan pita. Jam 4 sore kami pun bertemu. Disaksikan oleh pita dan teman-teman kontrakannya 2 orang, jadilah kami ber 5 ngobrol. Rahman ternyata sosok yang menyenangkan. Berusia 2 tahun lebih tua dariku, anak pertama dari 7 bersaudara, asli Tangerang dan aktif di kegiatan keislaman. Tampilannya yang berjenggot, ditambah wawasan keislamannya yang luas membuat diskusi kami bertambah hidup. Aku tak ingat mulai darimana, tapi diskusi kami berkembang ke masalah tarekat dan tasawuf. Pandangannya yang 'netral' dan tak menyudutkan, membuatku terpesona. Tapi aku tidak boleh melupakan impianku, kusampaikan pula pertemuanku tadi siang plus rencanaku ke kalimantan.

Obrolan yang seru ternyata membuat waktu semakin beranjak senja. Kami pun shalat magrib berjamaah. Rahman pun menjadi imam. Bacaan Al-quran nya yang fasih membuatku tertarik. Hingga ada debar-debar tak karuan yang tak kumengerti. Tapi kutepis setelah kuingat mimpiku yang sebentar lagi akan menjadi kenyataan.
Aku mengabaikan petunjuk apapun berkaitan dengan taaruf, karena aku sedang fokus istikharah untuk kepergianku ke Kalimantan.
Sama-sama tidak punya target yang muluk-muluk dengan proses perkenalan ini, membuat kami menjalani proses ini tanpa beban. Tapi jujur, aku sedang fokus untuk memikirkan kepergianku ke kalimantan, dibanding berfikir tentang pernikahan, padahal usiaku sudah 26 tahun saat itu.

Sebelum pulang, Rahman berjanji dalam waktu seminggu akan memberi jawaban tentang kelanjutan pertemuan ini. Bahkan berkali-kali dia menanyakan rencana kepergianku ke Kalimantan, letak Kalimantan nya dimana, kapan akan memberi keputusan pergi tidaknya ke Kalimantan. Dalam hati aku bergumam, kenapa Rahman seolah-olah khawatir dengan kepergianku, jangan-jangan ini petunjuk supaya aku lebih memikirkan proses ini dibanding rencana kepergianku ke Kalimantan.

Setelah itu, aku beristikharah, meminta petunjuk pada Sang Maha Tahu tentang keputusan apa yang harus kuambil. Melanjutkan rencanaku pergi ke Kalimantan dengan mengabaikan proses dengan Rahman, atau memilih untuk berproses dengan Rahman dan melupakan mimpi masa depanku.

Aku bingung, seminggu yang kulalui terasa bagaikan sebulan. Aku penasaran dengan keputusan Rahman. Tak kuceritakan proses dengan Rahman ini pada orangtuaku, dengan harapan orangtua akan mendukungku untuk mengejar mimpi ke Kalimantan. Karena kalau kuceritakan 2 peristiwa besar yang kualami ini, aku yakin orangtua pasti lebih memilih pernikahanku dibanding harus melepas anaknya ke pulau antah berantah diluar Jawa sana yang belum jelas rimbanya.

Akhirnya tibalah hari Sabtu itu, Rahman janji akan menguhubungiku sore ini. Dia pengen memberi jawaban dengan bertemu langsung denganku, tidak melalui hp atau orang ketiga. Lalu, kami pun "janjian" untuk ketemu jam 4 sore di sebuah tempat dekat pusat keramaian. Jam 4 kurang, Rahman sms, memberitahu bahwa dia terjebak hujan, dan mungkin datang telat. Jam 4 itu saat aku akan berangkat, hujan memang turun dengan lebat. Aku, yang sudah bersiap akan berangkat, akhirnya menunggu terhentinya hujan. Lantas aku menawarkan solusi, jawaban tetap diberikan tanpa harus dengan ketemu. Via sms pun aku terima dan tidak mempermasalahkannya. Tapi Rahman bersikeras harus dengan ketemu dan meminta waktu agar diundur minggu depan pertemuannya, karena jam 5 sore udah ditunggu janji berikutnya. Saat itu tak kujawab.

Aku sangat berharap Rahman saat itu bisa memberikan keputusan, sehingga dari situ aku bisa merencakan hidupku berikutnya. Andai Rahman memutuskan untuk tidak meneruskan proses ini, maka aku akan melanjutkan rencanaku pergi ke Kalimantan dengan meminta ijin orangtua terlebih dahulu. Andai Rahman memutuskan untuk meneruskan proses ini, maka akan kulupakan mimpi masa depanku.

Tapi, menunggu seminggu lagi dalam ketidakjelasan? Sementara deadline dari kalimantan semakin dekat, malam harinya aku berfikir dengan keras, haruskah aku yang mengambil keputusan? Tapi bagaimana jika keputusan yang kuambil ternyata salah? Ah aku bingung ... mana sedang tidak shalat, masa yang tidak nyaman untuk seorang wanita karena tidak bisa bercengkerama dengan Tuhan via shalat, kurang afdhal rasanya berdoa dalam kondisi haid. Tidak dilarang memang, tapi juga tidak meng enakkan.
Esok harinya tepat pukul 04.35, entah dalam kondisi labil atau normal, aku pun memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Kukirim sms sbg berikut kepada Rahman:
" Kalo antum ga bisa cepat memutuskan, saya putuskan hari ini untuk tidak melanjutkan proses taaruf kita, maaf atas segala kekurangan saya. Saya tidak ingin berlarut-larut dalam masalah ini. Kalo memang mau, nanti saya perkenalkan dengan teman saya yang juga sedang menanti pasangan hidup. Semoga ini adalah keputusan terbaik, kalo memang jodoh insya Allah ketemu ko. Saya sedang fokus memikirkan rencana kepergian saya ke Kalimantan,saya harap silaturahmi diantara kita tidak terputus".

Aku berharap mendapat sms balasan dari Rahman, sekedar ingin tahu responnya. Sehari dua hari tidak ada respon. Ya sudahlah, mudah2n keputusan yang kuambil tidak salah.

Setelah itu, aku pun mulai fokus pada rencana kepergian ke Kalimantan. Aku pun mudik, meminta ijin pada orangtua. Sudah coba kujelaskan berbagai argumen dan mimpi-mimpiku, tapi tetap saja orangtuaku keberatan. Alasannya? Hanya ingin tidak jauh dari anaknya. Aku marah, aku sedih, hanya dengan alasan emosional aku kehilangan salah satu impianku. Tapi aku juga tak mungkin pergi tanpa restu orangtua. Aku pun kembali ke ibukota dengan membawa sejuta kekecewaan. Rab, salahkah dengan mimpiku? Aku hanya ingin mengembangkan diri.

Setelah itu, aku mengalami depresi berat, terutama juga karena mengambil keputusan untuk tidak meneruskan taaruf dengan Rahman hanya dalam waktu seminggu. Semakin merasa bersalah lah aku. Aku memutuskan tidak melanjutkan taaruf dengan orang yang shalih dengan alasan yang tidak jelas. Aku merasa bersalah. Bahkan aku pergi ke rumah pita dengan berjalan berkilo-kilo sambil puasa pula, karena tidak mau makan.

Seminggu setelah aku memutuskan taaruf dengan Rahman, kami bertemu dalam suatu forum pengajian. Kami bertanya kabar dan aku merasa semakin bersalah. Ingin kutanyakan banyak hal padanya, tapi kutahu aku yang salah. Jadi hanya diam dan beku.

Setelah itu kami tak saling berkirim kabar. Aku pun sibuk dengan tempat kerjaku yang baru. Hingga tak terasa, setelah menabung selama 3 tahun aku pun berencana menunaikan ibadah haji di akhir tahun 2005.

Saat aku sedang menyiapkan walimatussafar, aku teringat Rahman. Aku harus meminta maaf padanya karena entah kenapa aku merasa bersalah sekali padanya, hanya memutuskan taaruf via sms, sangat tidak sopan. Apalagi berdasarkan informasi dari pita sejak putus taaruf denganku, dia belum mau lagi untuk taaruf dalam jangka waktu yang sangat lama. Aku merasa semakin bersalah. Aku sendiri baru berproses lagi setahun kemudian.

Beberapa kali no telp nya kucari, tapi tak bisa kuhubungi, selalu tidak aktif, sepertinya dia sudah ganti nomor. Dari maret 2004 hingga akhir tahun 2005 aku tak tahu kabarnya lagi, berarti hampir dua tahun kami sudah tidak saling kontak.

Akhirnya kuhubungi no hp temannya. Alhamdulillah aku dapat no baru nya. Ketika kutelp, dia agak kaget juga ditelp, tapi setelah berbasa basi akhirnya ku undang dia ke acara walimatussafar ku, sambil tak henti-hentinya ku minta maaf atas segala kesalahan.

Saat walimatussafar, dia datang bersama adiknya. Memberi kado buku tentang persaudaraan iman, memberiku isyarat bahwa sepertinya jalan kami sudah berbeda. Dia semakin intens dengan kelompok pengajiannya, sementara saya semakin lama semakin memisahkan diri dari kelompok pengajian tersebut.

Tahun 2007, di bulan April Rahman pun mengundangku ke walimahannya. Tapi aku tidak bisa datang karena sedang ada tugas pekerjaan. Syukurlah dia mendapat isteri yang memang sejalan dengan idealismenya dan sekelompok pengajian.

Wassalam
Taaruf ketiga yang berkesan
(220204 – 070304)

TAARUF PERDANA: TIDAK SEKUFU

"Nge, tolong siapkan biodata lengkap, ada yang mau taaruf"
Begitulah Roz, teman kerjaku suatu saat mengagetkanku.

Roz, adalah seorang wanita cantik, keturunan Padang. Kami berkenalan di tempat kerja kami di sebuah sekolah di Tangerang. Waktu itu kami menjalani tes tertulis bersama-sama dan alhamdulillah dinyatakan lulus. Setelah bekerja, kami menjadi bertambah dekat sehingga kami sering berbagi cerita sampai hal-hal yang rahasia sekalipun. Puncaknya kalimat itulah yang menandakan kedekatan kami, dia bermaksud mencarikanku seorang (calon) suami, padahal dia sendiri belum menikah.

Postingan Favorit