Thursday, May 31, 2018

AL ZAYYAN HARI 15 : RAMADHAN DAN AL-QUR’AN : PERBEDAAN ANZALA (أنزل) DAN NAZZALA (نزل)



Al-Qur’an adalah kitab suci yang memiliki banyak fungsi. Selain sebagai petunjuk, obat, ia juga adalah sumber ilmu, terutama terkait kehebatan dan kekayaan bahasa Arab yang tak pernah habis  dan usang untuk dikaji dan dipelajari. Kata-kata yang digunakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an sangat detail dan teliti. Setiap jenis kata, walaupun artinya sama, tapi pasti mengandung makna yang berbeda. Tidak mungkin dua jenis kata digunakan jika memiliki makna sama. Inilah yang membuat Al-Qur’an menjadi mujizat hingga akhir zaman, karena selalu ada temuan baru dalam setiap ayatnya.

Seperti saat membicarakan turunnya Al-Qur’an, ada 3 kata yang biasanya digunakan yaitu nazzala (نزل) / menurunkan, anzala (أنزل) / menurunkan dan unzila (أٌنزل) / diturunkan. Anzala dan unzila memiliki bentuk yang sama, hanya yang satu aktif (menurunkan), dan yang lainnya pasif / diturunkan. Mari kita cermati penggunaan ketiga kata tersebut dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

Dalam kitab Mu’jam Mufahras Li Alfazh Al Qur’an, kata nazzala disebutkan sebanyak 12 kali yaitu dalam surat al Baqarah ayat 176, Ali Imran ayat 3, an-Nisa ayat 136 dan 140, al-A’raf ayat 71 dan 196, al-Furqan ayat 1, al-‘ankabut ayat 63, az-Zumar ayat 23, az-Zukhruf ayat 11, Muhammad ayat 26 dan al-Mulk ayat 9.

Sementara kata anzala disebutkan sebanyak 63 kali, belum termasuk yang digabung dengan dhamir atau kata gantinya, seperti anzalnaa (أنزلنا) yang disebutkan sebanyak 40 kali dan anzalnaahu sebanyak 14 kali, sedangkan kata unzila disebutkan sebanyak 49 kali, belum termasuk yang digabung dengan kata gantinya.

Kita akan membahas sedikit saja ayat-ayat tersebut, untuk melihat perbedaannya.

Dalam surat Ali Imran ayat 3 yang berbunyi :

نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ

Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.  

Kata yang digunakan dalam ayat tersebut ada 2 yaitu nazzala saat menjelaskan turunnya Al-Qur’an, dan anzala saat berbicara turunnya kitab Taurat dan Injil. Jika diterjemahkan, artinya sama-sama “menurunkan”, tapi sebenarnya maknanya agak berbeda.

Menurut kaidah ilmu sharf (morfologi), kata dasarnya adalah nazala artinya adalah turun, kata ini tak membutuhkan objek, lalu turunannya adalah nazzala yang mengisyaratkan litaktsir yaitu menunjukkan peristiwa yang terjadi secara berulang ulang.

Beberapa ulama berpendapat, bahwa kata nazzala biasanya digunakan untuk menjelaskan proses turunnya Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur. Sementara kata anzala digunakan untuk menjelaskan diturunkannya secara sekaligus. Dalam ayat tersebut, terlihat perbedaannya bahwa kitab Taurat dan Injil diturunkan secara sekaligus, isyaratnya adalah dengan menggunakan kata anzala, sementara Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur yang terlihat dari penggunaan kata nazzala.

Tetapi kata anzala ternyata digunakan juga saat menjelaskan tentang diturunkannya Al-Qur’an seperti yang terdapat dalam surat al-Qadr ayat 1 berikut :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.
Ada juga yang mengungkapkan bahwa kata anzala digunakan jika terkait dengan waktu dan tempat tertentu, sedangkan kata nazzala tidak dikaitkan dengan waktu. Ayat lain yang menjelaskan hal tersebut, salah satunya adalah pada surat al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Pada ayat tersebut, kata kerja yang menunjukkan diturunkannya Al-Qur’an menggunakan kata kerja pasif unzila (أنزل) yang dikaitkan dengan waktu turunnya Al-Qur’an pada bulan Ramadhan.  Sebagaimana yang dijelaskan diatas, kata anzala digunakan saat menjelaskan kitab yang diturunkan secara sekaligus. Jadi, Al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan ini secara sekaligus. Hal ini berkaitan dengan tahapan diturunkannya Al-Qur’an.

Ada 3 tahap turunnya Al-Qur’an yaitu:
1.             Tahap pertama yaitu Al-Qur’an ditempatkan atau diturunkan di lauh mahfuzh yaitu suatu tempat gaib yang tak bisa diketahui secara pasti. Hal ini dijelaskan dalam surat al-Buruuj ayat 21-22
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ   فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ
Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauhmahfuz.

Ayat tersebut menggunakan kata anzala yang berarti bahwa proses pertama ini diturunkan secara sekaligus.
2.             Tahap kedua yaitu Al-Qur’an turun dari lauh mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia. Hal ini dijelaskan dalam surat ad-Dukhan ayat 3, al Qadr ayat 1 dan al-Baqarah ayat 185.

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (ad-Dukhan ayat 3)

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.
(al-Qadr ayat 1)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an (al-Baqarah ayat 185)

Ketiga ayat tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus pada satu malam di bulan Ramadhan yaitu pada lailatul Qadar yang disifati dengan lailah mubarakah (malam yang diberkahi).
3.             Tahap ketiga yaitu Al-Qur’an turun dari baitul izzah di langit dunia, langsung kepada Nabi Muhammad Saw secara berangsur-angsur. Hal ini dijelaskan oleh hadits berikut:

انزل القران جملة واحدة إلى سماء الدنيا في ليلة القدر ثم أنزل بعد ذلك في عشرين سنة وقرأ (وقرأنا فرقناه لتقرأه على الناس على مكث)

“Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada lailatul qadar, kemudian setelah itu diturunkan kepada Rasul selama 20 tahun, dan ia membaca surat al-Isra ayat 106”
(HR an-Nasai, as-Sunan al-Kubra, VI: 421 no hadits 11.372)

Proses turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, dilakukan secara bertahap selama di Mekah (12 tahun 5 bulan 13 hari) dan Madinah (9 tahun 9 bulan 9 hari).

Demikianlah perbedaan penggunaan kata nazzala dan anzala terkait dengan proses turunnya Al-Qur’an, dimana kata nazzala biasanya digunakan saat menjelaskan tentang diturunkannya Al-Qur’an pada tahap ketiga yaitu secara berangsur angsur kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara kata anzala digunakan saat menjelaskan proses turunnya Al-Qur’an pada tahap pertama (lauh mahfuzh) dan kedua (baitul izzah).

Wallahu’alam
Dari berbagai sumber

Semoga bermanfaat

Wassalam
Serpong, Kamis, 31 Mei 2018 / 15 Ramadhan 1439 H, 19.00

#KolaborasiZaiNovi
#ProyekRamadhanAlZayyan
#AlZayyanHari15
#Karya5TahunPernikahan
#SerunyaBelajarBahasaArab

Wednesday, May 30, 2018

Al Zayyan Hari 14 : Mengkritisi Lafadz Niat Puasa : Ramadhani, atau Ramadhana?



Tulisan ini tidak akan membahas hukum membaca niat itu apakah boleh diucapkan atau cukup dalam hati. Biarlah itu menjadi kajian di bidang fiqh saja, yang menjadi khazanah kekayaan keilmuan Islam. Perbedaan fiqh itu tak usah diperdebatkan, silakan laksanakan sesuai yang diyakini. Para ulama zaman dahulu, sudah berjuang untuk berijtihad melalui kajian fiqh empat madzhab, ada juga yang berkembang menjadi 5 madzhab, kita yang masih dangkal ilmunya ini masih harus banyak belajar dibanding berdebat satu sama lain.

Tulisan ini hanya akan membahas lafadz niat puasa dari sisi tekstual atau kajian bahasa nya. Selama ini lafadz niat yang sering kita dengar adalah :

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى

“Sengaja aku berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhu puasa pada bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Taala”

Yang akan menjadi fokus pembahasan adalah kata Ramadhan, yang sering dibaca dengan harakat fathah di akhir yaitu Ramadhana. Sejak kecil, masyhur sekali kata Ramadhan ini dibaca Ramadhana, padahal ternyata secara kaidah bahasa, itu keliru. Memang tidak akan mempengaruhi hukum puasa kita, puasa kita tetap sah, walaupun kita baca dengan kekeliruan tata bahasa. Tapi tentu jika kita sudah mengetahui cara membaca yang benar, itu akan lebih baik.

Tuesday, May 29, 2018

Al Zayyan Hari 13 : ILTIFAT (PENGALIHAN) DALAM AL QUR'AN



Gaya bahasa al-Qur’an selalu menarik untuk dikaji karena keindahan struktur dan maknanya, termasuk iltifat. Gaya bahasa iltifat secara umum sudah digunakan dalam bahasa diluar bahasa Arab, tetapi secara teoritis baru ada dalam bahasa Arab. Bahkan menurut Ibn al-Atsir dalam bukunya Kanz al-Balaghah, gaya bahasa iltifat merupakan keberanian bahasa Arab yang menyebabkan bahasa Arab ini maju. Gaya bahasa iltifat ini memiliki nilai sastra yang tinggi dan banyak digemari oleh para pujangga Arab klasik seperti Jarir dan Umru al-Qais.

Menurut Al-Hasyimi, Iltifat adalah perpindahan dari semua dhamir (kata ganti) kepada dhamir lain, karena tuntutan dan keserasian yang lahir melalui pertimbangan dalam menggubah perpindahan itu, untuk menghiasi percakapan dan mewarnai seruan agar tidak jemu dengan satu keadaan dan sebagai dorongan untuk lebih memperhatikan, karena dalam setiap yang baru itu ada kenyamanan, sedangkan sebagian iltifat memiliki kelembutan, pemiliknya adalah yang memiliki rasa bahasa yang baik.

Sedangkan menurut Al-Zamakhsayri, iltifat sesungguhnya menyalahi realita dalam mengungkapkan sesuatu dengan jalan menyimpang dari salah satu yang tiga kepada yang lainnya.

Ada juga yang berpendapat lain bahwa iltifat itu bukan hanya perpindahan dhamir tapi juga perpindahan gaya bahasa seperti yang diungkapkan oleh Abdurrahman Al-Akhdari yang menyatakan bahwa iltifat adalah perpindahan dari sebagian gaya bahasa kepada gaya bahasa lain untuk mendapat perhatian.

Monday, May 28, 2018

AL ZAYYAN HARI 12 : AL-‘UDUUL ("PENYIMPANGAN") BAHASA ARAB DALAM AL-QUR’AN



Susunan ayat-ayat al-Qur’an selalu menarik untuk dikaji dan digali maknanya. Bahasa Arab yang digunakan dalam al-Qur’an sebenarnya sederhana, tapi saat turun di jazirah Arab sana, yang saat itu sedang marak dengan para ahli bahasa Arab serta penyair, ternyata kemunculan al-Qur’an mengundang decak kagum, karena walaupun sederhana kata-katanya, tapi ternyata makna dan nilai sastranya sangat tinggi. Terbukti para ahli bahasa Arab, termasuk para penyair saat itu, tak sanggup memenuhi tantangan al-Qur’an, bahkan hanya untuk membuat satu ayat saja, mereka tak sanggup.

Hal inilah yang menarik untuk dikaji, ada apa dengan bahasa Arab yang digunakan dalam al-Qur’an? Sebenarnya ada beberapa struktur dalam ayat al-Qur’an, yang keluar dari tata bahasa Arab yang berlaku saat itu, alih-alih itu bersifat menyimpang, ternyata saat dikaji, mengandung mujizat sastrawi yang tinggi.

Struktur bahasa Arab al-Qur’an yang keluar dari tata bahasa Arab yang berlaku saat itu, disebut deviasi. Istilah Arabnya adalah ‘uduul (penyimpangan). Disebut menyimpang karena kalimat yang digunakan berbeda dengan tata bahasa Arab yang berlaku dan dikenal saat itu. Beberapa contoh ‘uduul diantaranya adalah iltifat (yang sudah dibahas di notes saya sebelum2nya) dan penyimpangan penggunaan kata kerja. Kali ini kita akan membahas tentang penyimpangan dalam penggunaan kata kerja (fi’il).

Sunday, May 27, 2018

Al Zayyan Hari 11 : Puasa dan Harapan (Hikmah Rangkaian Kata la’alla dalam Ayat-ayat Puasa)



Ayat-ayat yang membicarakan puasa dalam surat al-Baqarah, menjadi “primadona” dan banyak diperbincangkan di bulan Ramadhan ini, yaitu mulai ayat 183 hingga 187. Ada 2 fenomena menarik jika kita amati akhir ayat dari 5 ayat tersebut yaitu pertama, diakhiri kata la’allakum (kecuali ayat 184), kedua, setelah kata la’alla diakhiri dengan kata kerja benttuk masa kini /mendatang atau fi’il mudhari. Mari kita buktikan dengan membacanya...

Surat al Baqarah ayat 183

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu senantiasa bertakwa (QS al-Baqarah: 183)

Surat al Baqarah ayat 184

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Surat al Baqarah ayat 185

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Surat al Baqarah ayat 186

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.


Surat al Baqarah ayat 187

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah Allah tetapkan untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka senantiasa bertakwa.

Saturday, May 26, 2018

Al Zayyan Hari 10 : KEHEBATAN MAKNA LA’ALLAKUM TATTAQUN (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ)



Untuk memahami makna La’allakum Tattaqun, kita harus mengamati penggunaan kata tersebut dalam Al-Qur’an. Kata la’alla dipergunakan dalam berbagai bentuk dengan intensitas kemunculan berbeda-beda, yaitu :
1.      La’alla (لَعَلَّ) sebanyak 3 kali
2.      La’allii (لَعَلَّي) sebanyak 6 kali
3.      La’allanaa (لَعَلَناّ) sebanyak 1 kali
4.      La’allaka (لَعَلَّك) sebanyak 2 kali
5.      La’allakum (لَعَلَّكم) sebanyak 59 kali
6.      La’allahu (لَعَلَّه) sebanyak 3 kali
7.      La’allahum (لَعَلَّهم) sebanyak 40 kali

Total berjumlah 114 kali

Secara bahasa, makna la’alla menurt Ibnu Manzhur dalam kamus Lisanul Arab adalah Menurut al-jauhari, la’alla adalah kata yang menunjukkan keraguan (syakk). Aslinya adalah ‘alla, sementara huruf lam pada awalnya adalah tambahan. Dalam Al-Qur’an kata itu bermakna kay (semoga). Menurut Ibnul Atsir, Kata la’alla jika berasal dari Allah, maka ia adalah jaminan kepastian (tahqiq).

Friday, May 25, 2018

Al Zayyan Hari 9 : Kehebatan Makna dibalik Kata “kamaa kutiba ‘alalladziina min qablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ)



Butuh waktu agak lama bagi saya untuk memahami kalimat “kamaa kutiba ‘alalladziina min wablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) ini dari segi struktur bahasanya, karena ternyata pembahasan menjadi melebar pada kajian balaghah terutama tentang tasybih dalam ilmu Bayan, salah satu bidang kajian ilmu Balaghah. Mata kuliah yang sudah lama tersimpan rapi di lemari, tampaknya minta disegarkan kembali saat saya mencoba memahami kalimat ini.

Dan sejak saya menulis untuk proyek ini, menjadi berkah tersendiri karena saya akhirnya menemukan beberapa artikel dan tulisan berisi analisis bahasa dari ayat tentang puasa, yang sebelumnya luput dari pemahaman. Setelah membacanya pun, saya harus berfikir memutar otak berkali-kali untuk memahami struktur kalimat ini. Betapa susunan kalimat Al-Qur’an itu hebat dan mempesona sekali. Satu ayat saja bisa menjadi ribuan buku dan jurnal. Tak butuh banyak referensi luar, Al-Qur’an saja kita kupas, tak akan habis umur kita untuk memahami seluruh ayat-ayatnya. Mari kita bahas penggalan kalimat dalam ayat tentang puasa ini.

Kalimat ini “kamaa kutiba ‘alalladziina min wablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) sesungguhnya adalah bagian yang paling banyak ditafsirkan para mufassir, karena ternyata harus mencari sumber referensi tentang sejarah puasa sejak zaman dahulu kala, yang tercakup dari kata min qablikum.  Terbukti bahwa Al Qur’an ini bukan karangan Nabi Muhammad karena bisa mengungkapkan isyarat wajibnya puasa pada umat terdahulu, tentu jauh sebelum Nabi Muhammad lahir.

Penggalan kalimat dalam ayat ini layak kita pertanyakan, mengapa Allah harus mencantumkan kalimat ini dalam ayat 183 tentang perintah puasa. Tanpa kalimat itupun, perintah puasa sudah cukup, dengan kalimat “Wahai Orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, agar kamu bertakwa” itu saja, sudah cukup sebagai indikator wajibnya puasa. Tapi Allah selipkan kalimat “kamaa kutiba ‘alalladziina min wablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) tersebut, tentu bukan sebagai penghias atau faktor kebetulan semata. Tampaknya ada tujuan, maksud dan hikmah yang besar, penting dan hebat dibalik kalimat ini.

Thursday, May 24, 2018

Al Zayyan Hari 8: Perbandingan Kata Kutiba (كتب) dan Faradha (فرض)



Saya senang sekali bahasa Arab dari dulu, terutama senang mengamati dan mendalami penggunaan bahasa Arab dalam Al-Qur’an. Skripsi dan tesis saya, tak jauh dari bahasa Arab dalam Al-Qur’an. Semakin dikaji, bahasa Al-Qur’an ini semakin menarik dan semakin dalam makna nya. Satu ayat bisa dikaji dari berbagai sisi. Bagi yang tertarik dengan bahasanya, bisa menganalisa dari aspek bahasanya. Bagi yang senang dengan isyarat ilmiahnya, silakan kaji dari sisi sains nya. Yang senang berkecimpung dengan hukum, ada tafsir ayat ahkam yang khusus membahas Al-Qur’an dari sisi hukumnya. Berapa banyak buku dan jurnal ditulis, yang mengungkapkan kehebatan Al-Qur’an sebagai mujizat akhir zaman.

Proyek Ramadhan Al Zayyan ini, salah satunya ingin membahas aspek bahasa dalam ayat 183 surat Al-Baqarah yang menjadi primadona dalam kajian dan ceramah seputar Ramadhan. Dan ternyata satu ayat ini, belum selesai dibahas hingga hari ke-8 ini. Bagaimana dengan 113 ayat lainnya, tentu menakjubkan sekali jika masing-masing bidang, membahas kehebatan Al-Qur;an sesuai bidang keilmuan yang dimiliki.

Kali ini, kita akan membahas penggunaan kata kutiba, yang akan kita bandingkan dengan kata faradha  dalam Al-Qur’an. Naluri “kebahasa Araban” saya, hanya fokus pada jenis pasifnya kata tersebut, sementara suami, lebih jeli lagi. Ia menantang saya untuk membandingkan kata kutiba, dengan faradha  bahkan dengan kata wajaba. Tapi sejak beberapa hari yang lalu, mencari dan mendalami referensi tentang kata kutiba dan faradha saja sudah membuat kepala pening dihantui rasa penasaran. Sepertinya kata wajaba tidak akan sempat dibahas pada tulisan ini, karena dua kata ini saja, sepertinya akan menjadi panjang.

Membandingkan penggunakan dua kata ini dalam Al-Qur;an, saya harus mencari secara detail ayat mana saja yang menggunakan kata kutiba dan faradha dan turunannya. Penggunaan kata kutiba dalam Al-Qur’an, sudah dibahas pada tulisan sebelumnya, ada disini. Maka kali ini, kita akan amati penggunaan kata faradha dan derivasi/turunannya dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

Wednesday, May 23, 2018

Al Zayyan Hari 7: Kesalahan Kecil Berakibat Fatal dalam menerjemahkan ayat terakhir surat Al-Fatihah.



Saat saya menempuh pendidikan SMP di pesantren, saya belajar banyak tentang bahasa Arab. dari mulai nol tidak tau sama sekali, hingga sedikit demi sedikit bisa mengerti bahasa Arab, walaupun tidak mendalam. karena pesantren yang seharusnya ditempuh selama 6 tahun, saya tinggalkan dengan memilih pendidikan umum di tingkat SMU.

Dulu, saya tidak mengerti mengapa saya harus menghafal nahwu dan sharf yang bejibun rumusnya. sekarang saya harus berterima kasih pada pesantren karena disitulah secara kognitif, saya mendapatkan banyak ilmu. setelah kuliah, barulah sedikit demi sedikit bisa mengaplikasikan apa yang sudah dipelajari dulu, dalam kajian al-Quran. Terutama setelah membaca tafsir al-Misbah karya Quraisy Shihab yang banyak menjelaskan tafsir dari aspek bahasa.

Salah satu pembahasan yang menarik dalam surat al-fatihah adalah kajian dhamir (pronoun/kata ganti) dalam ayat terakhir surat al-fatihah


صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ

pada kata "an'amta" أَنْعَمْتَ yang artinya Telah Engkau beri ni'mat, disini memakai past tense yang subjeknya adalah Engkau atau Allah. sedangkan pada kata "al-magdhubi" الْمَغْضُوبِ yang artinya "yang dimurkai" dan "adh-dhallin" الضَّالِّينَ yang artinya "orang-orang yang sesat" menggunakan isim yang tidak jelas siapa subjeknya.

Tuesday, May 22, 2018

Al Zayyan Hari 6 : Persamaan dan Perbedaan kata shaum ( صَوْم) dan shiyam (صِيَام)


Selama ini, kebanyakan dari kita menganggap tak ada perbedaan antara shaum ( صَوْم) dan shiyam (صِيَام), toh terjemahannya pun diartikan sama yaitu puasa. Tapi jika kita analisis lebih lanjut, apalagi nanti jika dikombinasi dengan hadits terkait, ternyata ada perbedaan mendasar antara shaum ( صَوْم) dan shiyam (صِيَام). Hal ini baru bisa kita fahami, jika kita telusuri akar kata dan bentuk katanya. Sementara, saat diterjemahkan, keduanya diberi arti, Puasa. Begitulah terbatasnya bahasa penerjemahan, tak bisa mewakili makna yang mendalam dari bahasa aslinya.

Kata shaum ( صَوْم) dan shiyam (صِيَام) adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata shaama-yashuumu (صام - يصوم). Keduanya sama-sama disebut dalam Al-Qur’an.

Kata shaum disebutkan sekali yaitu dalam surat Maryam ayat 26 yang berbunyi:
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
“Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seseorang, katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar shaum untuk Tuhan Yang Maha Pemurah; aku tidak akan berbicara dengan seorang pun pada hari ini.”
Kata shaum dalam ayat tersebut menurut Jumhur mufasir bermakna shamt (perihal diam, perihal tidak berkata-kata—menahan diri dari berkata-kata). Arti itu dipertegas dengan kalimat berikutnya: fa lan ukallima al-yauma insiyya. Aku tidak akan berbicara dengan seorang pun pada hari ini.
Sedangkan kata“shiyam” dalam Al-Quran disebutkan 9 kali dal

Monday, May 21, 2018

Al Zayyan Hari 5 : MENGAPA AL-QURAN BERBAHASA ARAB? (STUDI KASUS PADA AYAT TENTANG PESAN LUQMAN)




كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui  (QS. AL-FUSHSHILAT, 41: 3)

Mengapa al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab?? Mengapa tidak menggunakan bahasa lain? Ada apa sich dengan bahasa Arab? Sebegitu istimewanya kah bahasa ini hingga dipilih Allah utk menyampaikan ajaranIslam?

Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati, mengungkapkan “Kalau anda ingin menyampaikan pesan ke seluruh penjuru, sebaiknya anda berdiri di tengah dan di jalur yang memudahkan pesan itu tersebar. Hindari tempat dimana ada suatu kekuatan yang dapat menghalangi dan atau merasa dirugikan dengan penyebarannya, kemudian pilih penyampai pesan yang simpatik,berwibawa dan berkemampuan sehingga menjadi daya tarik tersendiri. Timur tengah adalah penghubung Timur dan Barat. Wajarlah jika kawasan ini menjadi tempat menyampaikan pesan Ilahi yang terakhir dan yang ditujukan kepada seluruh manusia di seluruh penjuru dunia.”




Dan bahasa yang digunakan di Timur Tengah adalah bahasa Arab. Ada banyak bahasa di dunia ini yang sudah punah bersamaan dengan menghilangnya para penutur aslinya atau bahasa-bahasa tersebut akan melemah bersamaan dengan lemahnya para pengguna bahasa tersebut, seperti bahasa Yunani, Mesir, bahasa Phoenisia dan lain-lain. Tapi bahasa Arab, hingga saat ini masih ada dan terus terpelihara pada setiap struktur bahasanya, baik aspek fonetik, morfologi, sintaksis dan semantiknya. Apa yang membuat bahasa Arab ini memiliki keistimewaan konsistensi seperti itu? Ternyata jawabannya karena  al-Qur’an. Dengan diturunkannya al-Qur’an, banyak manusia berbondong-bondong ingin mempelajari bahasa Arab, baik dari kalangan orang Arab maupun non-Arab. Hal inilah yang menjadikan bahasa Arab akan tetap menjadi bahasa yang tidak akan punah dan tetap terpelihara seiring dengan terpeliharanya al-Qur’an.

Lalu mengapa al-Qur’an yang berbahasa Arab ini lah yang dipilih Allah sebagai mujizat Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir hingga akhir zaman? Mengapa bukan hal lain seperti mujizat Nabi Musa dan Nabi Isa yang bersifat inderawi? Sebelum kesana, mari kita perhatikan definisi mujzat menurut para ahli.

Mujizat adalah sesuatu yang luar biasa yang dihadirkan oleh seorang nabi untuk menantang siapa yang tidak mempercayainya sebagai nabi dan tantangannya itu tidak dapat dihadapi oleh banyak yang ditantang. Mujizat juga bisa bermakna hal yang tidak wajar, keluar dari hukum kausalitas yang telah dipahami. Begitulah definisi mujizat menurut para pakar.

Setiap nabi yang diberi mu’jizat oleh Allah untuk suatu kaum, maka mujizatnya akan disesuaikan dengan kondisi keahlian kaumnya. Sesuatu yang luar biasa pada saat nabi diutus pada suatu kaum, maka mujizatnya pun menyesuaikan. Seperti pada zaman kaum Fir’aun, pada saat itu yang menjadi trend nya adalah sihir, maka Nabi Musa pun diutus dengan mujizat berupa tongkat yang bisa menjadi ular.
Lalu pada saat Nabi Isa diutus pada kaumnya, saat itu ilmu kedokteran sedang mencapai puncak kejayaannya, maka datanglah Nabi Isa dengan membawa mujizat yaitu bisa menyembuhkan orang sakit dan bisa menghidupkan orang mati, sesuatu yang tidak bisa dilakukan ilmu kedokteran saat itu. Jika mujizat kedua nabi itu ditukar, tentu tidak akan cocok dengan kondisi kaumnya.

Begitupula saat Nabi Muhammad diutus, pada masa itu sastra dan penyair sangat dielu-elukan dan mencapai puncak kejayaannya, bahkan beberapa karya sastra sampai dipajang di Ka’bah sebagai bentuk penghormatan bagi sesuatu yang dianggap luar biasa saat itu. Ketika al-Qur’an turun dengan bahasa yang sederhana tapi mendalam maknanya, gemparlah masyarakat Arab saat itu. Bagi kita yang kurang mendalami bahasa Arab, mungkin tidak akan terlalu terasa kemujizatan bahasa Arab dalam al-Qur’an. Tapi bagi para penyair saat itu, bahasa al-Qur’an itu membuat mereka kagum. Banyak aspek yang membuat bahasa Arab yang ada dalam al-Qur’an ini sangat mengagumkan, diantaranya permulaan kata-kata dalam setiap surahnya sangat rapi, keserasian antar ayat serta keterikatan hubungan antara yang satu dengan yang lain sehingga dalam satu kalimat terdapat kesatuan makna yang serasi dann struktur yang tersusun rapi, gaya bahasa yang digunakan, dan yang terpenting adalah isi kandungannya yang mencakup berbagai aspek dalam kehidupan. Faktor bahasa dan isi kandungan nya lah yang membuat Al-Quran menjadi mujizat hingga saat ini. Dari satu surat al-Fatihah saja, sudah lahir ribuan bahkan jutaan buku yang menjelaskan kedua aspek tersebut, yaitu aspek bahasa dan makna nya.

Sebagai contoh terkait dengan bahasa dan makna nya, kita akan membahas wasiat Luqman pada anaknya. Wasiat Luqman ini terdapat pada surat Luqman dari ayat 13 sampai ayat 20.
Pada ayat 14:

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”

Pada ayat ini, redaksi awal yang dipakai adalah “Kami Perintahkan”. Subjek pada ayat  ini bukanlah Luqman yang berbicara, tapi Allah langsung yang memerintahkan. Berbeda dengan ayat sebelumnya pada ayat 13:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberii pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar".

Pada ayat 13, jelas sekali bahwa Luqman lah yang berperan sebagai subjek yaitu yang memberi nasehat secara langsung pada anaknya, hal ini diperjelas dengan adanya kata “Hai anakku”. Tapi pada ayat 14 tentang perintah untuk berbakti pada orang tua, ternyata redaksi yang digunakan adalah “Kami perintahkan” dalam hal ini Allah langsung yang memerintahkan. Adakah rahasia di balik penggunaan subjek yang berbeda pada kedua ayat tersebut? Ternyata, alasannya ada 2 yaitu:

Pertama, perintah orang tua adalah perintah yang besar, begitu pula nasehatnya, maka Allah tidak membiarkan Luqman untuk menasehati anaknya. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kedudukan orang tua disisi Allah itu adalah sangat tinggi, bahkan perintah berbakti kepada orang tua diletakkan di tempat tertinggi kedua setelah perintah untuk tidak menyekutukan Allah. Karena itulah, redaksi yang digunakan bukan redaksi manusia lagi seperti di ayat 13, tapi Allah langsung yang memerintahkan.

Kedua, seandainya Allah membiarkan Luqman berkata, “Anakku, taatilah kedua orang tuamu” maka berarti hal ini termasuk hal yang dibuat-buat. Karena, ketika memberi nasehat, biasanya kita melihat orang yang menasehatinya, apakah orang yang memberi nasehat itu telah sesuai dengan nasehat yang diberikannya? Apakah nasehat ini akan memberi keuntungan pada sang pemberi nasehat? Maka seandainya Allah membiarkan Luqman memberi nasehat pada anaknya, maka kemungkinan sang anak akan mengira bahwa ayahnya (Luqman) akan memperoleh keuntungan dari dirinya. Akan tetapi, saat redaksi yang digunakan adalah Allah sendiri yang memberi nasehat, maka tidak ada manfaat yang kembali kepada Luqman dan Allah pun tidak akan mendapatkan keuntungan apapun.

Di ayat berikutnya, redaksi nya kembali menggunakan Luqman sebagai subjek, dengan kembali menggunakan “hai anakku” yaitu nasehat tentang balasan dari setiap perbuatan di ayat 16, tentang shalat dan amar ma’ruf nahi munkar di ayat 17, tentang larangan untuk bersikap angkuh di ayat 18 dan tentang menyerdehanakan berjalan dan melembutkan suara di ayat 19.
Hal ini juga mengandung hikmah bahwa saat orang tua menasehati anaknya, dalam hal apapun boleh menasehati secara langsung, tapi terkait dengan menasehati untuk berbakti pada orang tua, maka redaksi yang dicontohkan al-Qur’an adalah secara tidak langsung, sehingga seolah-olah tidak seperti “hai anakku, hormatilah dan berbaktilah pada kami”. Demikian hikmah dari pesan Luqman pada anaknya.

Lalu, hal menarik lainnya adalah penggunaan kata بِوَالِدَيْهِ di ayat 14. Kata “Walidain” dalam bahasa Arab adalah bermakna orang tua. Kata lain yang bermakna orang tua adalah “abawain”. Penggunaan kata “walidain” di ayat ini (dan bukan menggunakan kata “abawain”) tentu bukan hal yang kebetulan, tapi ada maksudnya dan adanya saling keterhubungan antara redaksi dan makna (munasabah). Pada ayat 14 ini yang disinggung lebih banyak adalah peran ibu seperti mengandung dan menyapih, yang diantara keduanya ada proses melahirkan (wiladah). Kata “Walidain” yang berarti orang tua sangat berhubungan dengan wiladah yang dalam hal ini dialami para ibu. Maka dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa berbuat baik kepada ibu, harus lebih banyak dibanding kepada ayah. Karena peran ibu lebih berat dibanding peran ayah (dengan tidak mengurangi rasa hormat pada peran ayah). Ada banyak ibu yang bisa berperan sebagai ayah yaitu sebagai pencari nafkah, tapi ada beberapa peran ibu yang tidak bisa dilakukan para ayah seperti mengandung dan melahirkan. Ini diperkuat dengan sebuah hadits yang menyuruh berbakti pada ibu 3 kali, baru setelah itu berbakti pada ayah.

Sementara kata “abawain” menunjukkan makna maskulin lebih dominan (dari kata “abun” atau ayah), dan kata ini hanya digunakan satu kali yaitu pada ayat tentang waris. Hal ini disebabkan bahwa bagian bapak lebih besar daripada bagian ibu. Akan tetapi ayat yang menyebutkan tentang kebaikan, pesan atau doa, pasti menggunakan kata “walidain” seperti doa yang sering kita abaca (Rabbigfirli waliwalidayya) … ini jugalah yang turut memperkuat bahwa berbakti dan mendoakan ibu harus lebih banyak. Tentu saja mendoakan keduanya harus tetap kita lakukan.

Demikianlah hikmah dari penggunaan bahasa Arab dalam al-Qur’an, yang ternyata mengandung makna yang sangat dalam. Dan Allah lah Pemilik segala ilmu. Segala puji hanya bagi Allah.

Wallahu’alam bish-shawwab
Referensi:
   1.     Ensiklopedia Mujizat al-Qur’an dan Hadits, Hisyam Thalbah dkk
   2.    Quraish Shihab, Lentera Hati
   3.    Al-Quran yang Menakjubkan, Prof. Issa J. Boullata

Wassalam
Serpong, Senin, 21 Mei 2018, repost dari Rabu, 28 November 2012
Ayo belajar bahasa Arab … karena bahasa Arab itu menyenangkan …

Serpong, Senin, 21 Mei 2018 / 5 Ramadhan 1439 H, 10.00

#KolaborasiZaiNovi
#ProyekRamadhanAlZayyan
#AlZayyanHari5
#Karya5TahunPernikahan
#SerunyaBelajarBahasaArab

Postingan Favorit