Friday, May 25, 2018

Al Zayyan Hari 9 : Kehebatan Makna dibalik Kata “kamaa kutiba ‘alalladziina min qablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ)



Butuh waktu agak lama bagi saya untuk memahami kalimat “kamaa kutiba ‘alalladziina min wablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) ini dari segi struktur bahasanya, karena ternyata pembahasan menjadi melebar pada kajian balaghah terutama tentang tasybih dalam ilmu Bayan, salah satu bidang kajian ilmu Balaghah. Mata kuliah yang sudah lama tersimpan rapi di lemari, tampaknya minta disegarkan kembali saat saya mencoba memahami kalimat ini.

Dan sejak saya menulis untuk proyek ini, menjadi berkah tersendiri karena saya akhirnya menemukan beberapa artikel dan tulisan berisi analisis bahasa dari ayat tentang puasa, yang sebelumnya luput dari pemahaman. Setelah membacanya pun, saya harus berfikir memutar otak berkali-kali untuk memahami struktur kalimat ini. Betapa susunan kalimat Al-Qur’an itu hebat dan mempesona sekali. Satu ayat saja bisa menjadi ribuan buku dan jurnal. Tak butuh banyak referensi luar, Al-Qur’an saja kita kupas, tak akan habis umur kita untuk memahami seluruh ayat-ayatnya. Mari kita bahas penggalan kalimat dalam ayat tentang puasa ini.

Kalimat ini “kamaa kutiba ‘alalladziina min wablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) sesungguhnya adalah bagian yang paling banyak ditafsirkan para mufassir, karena ternyata harus mencari sumber referensi tentang sejarah puasa sejak zaman dahulu kala, yang tercakup dari kata min qablikum.  Terbukti bahwa Al Qur’an ini bukan karangan Nabi Muhammad karena bisa mengungkapkan isyarat wajibnya puasa pada umat terdahulu, tentu jauh sebelum Nabi Muhammad lahir.

Penggalan kalimat dalam ayat ini layak kita pertanyakan, mengapa Allah harus mencantumkan kalimat ini dalam ayat 183 tentang perintah puasa. Tanpa kalimat itupun, perintah puasa sudah cukup, dengan kalimat “Wahai Orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, agar kamu bertakwa” itu saja, sudah cukup sebagai indikator wajibnya puasa. Tapi Allah selipkan kalimat “kamaa kutiba ‘alalladziina min wablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) tersebut, tentu bukan sebagai penghias atau faktor kebetulan semata. Tampaknya ada tujuan, maksud dan hikmah yang besar, penting dan hebat dibalik kalimat ini.


Mari kita mulai dengan huruf Kaf (كَ) pada kata kamaa. Menurut beberapa mufassir, kaf disini adalah huruf jar yang mengandung arti tasybih atau menyerupakan. Al-Qurthubi mengemukakan bahwa kedudukan gramatikal dari kaf dan kata sesudahnya yaitu ma (مَا) adalah nashab (berharakat fathah di akhir, yang tidak tampak dalam ayat ini). Kedudukan nashabnya disebabkan posisinya sebagai na’t (keterangan sifat) atau bisa juga sebagai hal (keterangan keadaan).

Setiap hurf jar (huruf yang mengkasrahkan kata sesudahnya, biasanya sebagai preposisi) harus selalu berhubungan dengan kata tertentu sebagai sandaran maknanya. Dalam bahasa Indonesia, biasanya ditandai kata “yang”. Yang dijelaskan dengan makna na’t atau hal pada kaf disini, bisa kewajiban puasanya, sebagai penguat dari kutiba alaikum, atau bisa juga puasanya saja sebagai penguat dari kata shiyam yang telah disebutkan sebelumnya, sehingga tafsirannya menjadi, “diwajibkan kepadamu berpuasa yang sifat atau keadaan kewajiban atau puasa tersebut, seperti....”

Huruf kaf, sebagai hurf jar, tidak bisa langsung digabungkan dengan kata kerja kutiba, karena hurf jar secara kaidah harus digabung dengan ism yaitu kata benda, kata kerja yang dibendakan atau kata kerja yang tak mengenal dimensi waktu (mashdar). Maka perlu perantara untuk membuat huruf kaf bisa masuk pada kata kutiba, sehingga peran huruf maa (مَا) dalam kamaa menjadi penting. Dalam terjemah Kementerian Agama, huruf maa dianggap sebagai maa mashdariyah yang fungsinya sebagai media perantara masuknya huruf kaf sebagai huruf jar pada kata kerja kutiba. Disebut ma mashdariyah karena menyebabkan kutiba yang merupakan verb atau kata kerja, bisa diberi pengertian mashdar atau kata kerja yang tak mengenal dimensi waktu. Dengan peran mashdar ini, secara tersirat menjadi jelas bahwa kewajiban puasa bagi umat terdahulu adalah bersifat final, pasti dan tak berubah.

Kata kama yang diterjemahkan “sebagaimana” dalam terjemah Kementerian Agama, mengandung tasybih atau menyerupakan. Ada beberapa pendapat terkait kata kamaa kutiba yang diartikan sebagaimana diwajibkan, yaitu apakah kesamaan berpuasa yang diwajibkan atas kaum “sebelum kamu” adalah puasa di Bulan Ramadhan atau kesamaan itu hanya meliputi syariat berpuasa saja, bukan waktunya.

Pendapat pertama, dimotori Sa’id bin Jabir (wafat tahun 95 H) yang cenderung memaknai hukum tasybih atau penyerupaan ini hanya pada kewajiban berpuasanya saja, dan tidak meliputi berapa lama dan pada bulan apa berpuasa nya. Dasar pendapat ini adalah realitas sejarah dimana masyarakat jahiliah masih mengenali syariat tersebut, walapun telah menjadi  “sejarah” dan tidak dilakukan di bulan Ramadhan.

Pendapat kedua berfokus pada lama hari berpuasa dan bulan diwajibkannya berpuasa. Pendapat kedua ini mengaitkan kata ini dengan awal ayat selanjutnya “beberapa hari tertentu (ayyaman ma’dudat)“. Pendapat ini menganggap bahwa puasa Ramadhan seperti yang dilakukan umat Islam sekarang, telah diwajibkan pula pada umat-umat terdahulu. Dasar pendapat ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, sebagaimana yang tedapat dalam tafsir Ibnu Katsir, bahwa Nabi Saw bersabda, “Puasa bulan Ramadhan telah diwajibkan oleh Allah atas umat sebelum kamu.”

Demikian penjelasan tentang kata kama kutiba. Berikutnya yang lebih seru lagi adalah pembahasan kata min qablikum yang berarti sebelum kalian. Kata inilah yang menjadikan penafsiran ayat 183 surat Al Baqarah ini menjadi panjang kali lebar, karena akhirnya mengupas tuntas sejarah puasa dari masa ke masa. Siapakah yang dimaksud min qablikum disini, apakah nashrani, yahudi, ahlul kitab atau umat nabi terdahulu?? Bagaimana cara puasa umat terdahulu, berapa jam, puasanya seperti apa, dan lain-lain yang tidak akan dibahas disini, karena sudah banyak tulisan dan analisa yang menjelaskan pembahasan tentang sejarah puasa itu.

Yang akan diulas sedikit disini adalah hikmah disisipkannya kalimat “kamaa kutiba ‘alalladziina min wablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) dalam ayat tersebut. Ibadah puasa adalah ibadah yang sangat dicintai Allah, karena itu syariat puasa ini sudah ada sejak dulu kala. Kewajiban puasa yang tidak hanya dibebankan pada umat Islam saat ini tapi juga umat sebelumnya, mengandung hikmah bahwa beban yang kita tanggung bersifat universal dan dipikulkan kepada semua pundak orang Beriman di setiap zaman dan generasi.  

Kalimat tersebut juga menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat agar umat Islam merasa ringan saat mengerjakan puasa. Karena kewajiban ini tidak hanya khusus bagi mereka tapi juga bagi umat sebelumnya, sehingga umat Nabi Muhammad tidak akan merasa, hanya mereka yang dibebani kewajiban puasa. Ini akan melegakan hati mereka karena jika sudah menjadi hal yang umum dan dilakukan banyak orang, maka itu akan menjadi hal yang biasa saja, tidak terlalu berat. Dan kewajiban puasa pada umat Nabi Muhammad adalah yang terakhir kali, sebagai penyempurna terhadap syariat-syariat sebelumnya.

Demikianlah pembahasan kalimat yang disisipkan pada ayat 183 surat Al Baqarah ini. Semoga menambah keyakinan kita bahwa Al Qur’an adalah kitab petunjuk bagi kita, umat islam. Al Qur’an juga bisa juga menjadi referensi sejarah, yang banyak menceritakan kisah umat terdahulu, untuk kita ambil pelajarannya, agar kita mengambil aspek baiknya dan tidak mengulangi kesalahan atau aspek buruknya dari perilaku umat terdahulu. Terbukti dari kata min qablikum dalam ayat tersebut, lahirlah ribuan bahkan jutaan karya yang mengungkapkan sejarah puasa dari masa ke masa...  

Mari kembali mentadabburi Al-Qur’an...

Semoga bermanfaat  
Wassalam
Serpong, Jumat, 25 Mei 2018 / 9 Ramadhan 1439 H, 12.00

#KolaborasiZaiNovi
#ProyekRamadhanAlZayyan
#AlZayyanHari9
#Karya5TahunPernikahan
#SerunyaBelajarBahasaArab

No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit