Pernahkah anak kita minta maaf saat
berbuat salah? Mudahkah kita memaafkannya? Bagaimana akibatnya saat seorang ibu
sulit memaafkan anaknya? Bagaimana perasaan sang bunda saat harus menerima balasan
yang datang secepat kilat karena tak mudah memaafkan anaknya yang setulus hati
meminta maaf padanya.
Minggu-minggu ini saat asisten rumah
tangga belum datang karena sedang menikmati bulan madu setelah pernikahannya
minggu lalu, saya banyak menghabiskan waktu bersama Eza. Sambil mengerjakan
pekerjaan rumah, saya mengamati Eza bermain. Kadang dia anteng bermain bersama
teman-temannya, kadang juga pengen bareng bundanya di rumah.
Kemarin, hari Selasa saya sampaikan
pada Eza bahwa siang setelah dhuhur, agenda kegiatan kami adalah pergi ke
bandara untuk mengantar teman dan siswa yang akan berangkat ke Jepang sekaligus
saya suntik meningitis di rumah sakit bandara. Eza tampak senang sekali saat
diberitahu akan ke bandara dan melihat pesawat. Sambil menunggu, saya kerjakan
sesuatu sementara Eza saya biarkan bermain balok di karpet, ternyata dia
tertidur. Pukul setengah 12 dia sudah bangun, tak lama setelah papanya datang
dari sekolah.
Saat adzan dhuhur berkumandang, saya
minta Eza ikut sholat dhuhur bareng kami secara berjamaah. Ternyata ia tak mau,
duduk saja di kursi. Saya “ancam” dia, kalau ga sholat maka tidak akan diajak
ke bandara, bisa ditebak ia pun menangis. Sepanjang saya dan suami sholat
dhuhur, ia tak henti menangis. Tidak mau ikut sholat, tapi juga tetap mau ikut
bundanya ke bandara. Usai sholat, dia pun tak mau lepas dari pangkuan saya, saat
saya membereskan mukena dan sajadah, ia tetap menangis.
Saya acuhkan dia, dia terus mengejar
saya untuk minta maaf. Eza peka sekali perasaannya, ia bisa merasakan kalau
saya marah. Biasanya kalau marah saya diam saja, dan dia tersiksa sekali kalau
saya diamkan. Eza masih menangis, saya bersiap-siap memakai kerudung, ia terus
meminta maaf dan minta salim dan baikan, saya pun menyambutnya, membiarkan dia
salim dan baikan dengan adu kelingking, tapi saya tetap diam. Ternyata dia tahu
dan bisa merasakannya. Hebat sekali ya jiwa anak itu, walaupun saya sudah
menyambut permintaannya untuk minta maaf dan baikan, ia tetap bisa merasakan
kalau saya masih marah.
Lalu, ia pun mendatangi papanya,
curhat dan lapor, kalau bahasa kita mah. Papanya menasehatinya dan memediasi
saya dan Eza, haha lebay banget. Kalau ingat sekarang, rasanya malu yah saya
sebagai seorang ibu tak bisa menahan emosi terhadap anak yang masih berusia 3,5
tahun. Sebenarnya diam saya itu dalam rangka menahan diri supaya tak keluar
kata-kata yang tak baik dari mulut saya. Saat papa Eza menghampiri saya dan
bilang, “Bunda, nih mas Eza mau minta maaf”, akhirnya saya pun luluh. Saya
memaafkannya dan kembali ngobrol baik-baik dengan Eza. Kami pun pergi ke
bandara dan menyelesaikan urusan suntik meningitis yang ternyata cepat sekali,
tak sampai setengah jam, urusan suntik meningitis pun beres.
Sepulang dari bandara, saya tiba
kembali di rumah pukul setengah 4 sore. Sambil beristirahat, tiba-tiba saya
ingat satu hal, bahwa saya lupa menyimpan passport dan buku kuning suntik
meningitis milik siswa saya yang sudah diberikan hari Senin kemarin. Saya cari
di rumah, di kantor, di kamar teman, dimana-mana, tak saya temukan. Saya pun
banyak beristigfar, hingga malam hari saya tak kunjung menemukannya.