Monday, July 17, 2017

Anak Laki-Laki Kok Menyapu?



Saya dibesarkan dalam lingkungan keluarga sunda, sementara suami dibesarkan dalam budaya Jawa. Ada persamaan dan perbedaan pola asuh dalam lingkungan keluarga kami, khususnya terkait pendidikan anak laki-laki. Saya seringkali merefleksikan diri tentang pola asuh orang tua saya dan suami, dan dampaknya terhadap pola asuh saya terhadap anak.

Diantara yang menjadi pengamatan saya adalah terkait persepsi tentang gender. Dalam budaya sunda, khususnya di keluarga saya, anak laki-laki dipersiapkan untuk sosok pencari nafkah, dan tidak banyak berkecimpung dalam pekerjaan domestik rumah tangga. Saat saya kuliah dan lebaran tiba, biasanya saya harus menyiapkan energi ekstra karena pasti akan cape banget membantu pekerjaan orang tua, sementara kakak saya yang laki-laki biasanya hanya duduk manis menunggu masakan matang, menonton TV, bermain hp dan tidak banyak terlibat membantu pekerjaan rumah tangga, walau sepadat dan sesibuk apapun, kecuali jika disuruh orang tua.

Saya protes dalam hati, beginikah pola asuh yang benar? Benarkah tugas wanita menyiapkan semuanya, mulai dari memasak, membersihkan rumah, mencuci dan mengepel serta tetek benget lainnya? Lalu saya amati keluarga suami, ternyata tak jauh beda. Mertua saya memang sedikit membantu istrinya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tapi juga tak menyiapkan anaknya atau suami saya untuk memiliki life skill terkait pekerjaan rumah tangga. Ada memang beberapa suami yang membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti adik ipar saya, tapi itu tak lazim terjadi dalam seluruh keluarga.

Itu salah satu persamaan pola asuh keluarga saya dan suami. Perbedaannya? Ikatan kekeluargaan dalam keluarga besar suami saya masih bagus, tak seperti di keluarga saya yang semakin lama semakin luntur, antar sepupu saling tak peduli kabar, masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Tapi di keluarga suami, itu tingkat kepeduliannya masih tinggi, saling kirim kabar, saling curhat itu masih terasa. Hal inilah yang saya ambil sisi positifnya.


Nah peer besarnya memang mengajarkan life skill pada anak laki-laki saya. Saya tak ingin Eza yang sekarang berusia 3,5 tahun dibesarkan dengan pola asuh bahwa anak laki-laki tak terampil dalam pekerjaan rumah tangga. Saya tak ingin Eza menjadi pribadi yang tak peka dengan pekerjaan istrinya kelak (haha jauh amat mikirnya). Tentu ini harus dilatih. Maka saya juga melibatkan Asisten Rumah Tangga dalam prosesnya.

Ada beberapa hal yang mulai saya minta ke ART agar Eza dilibatkan dalam pekerjaan rumah tangga, walau itu sederhana, seperti membantu menjemur pakaian, menyapu lantai, dan lain-lain. Apakah berhasil? Tentu saja tidak. Lebih berantakan, bisa jadi hehe, tapi saya bersyukur Eza sekarang senang menawarkan diri untuk membantu. Saya sudah merasa senang, setiap kali melihat saya melakukan sesuatu, Eza bilang, “Bunda, aku mau bantu”. Ini sudah bikin meleleh hati. Rasanya dulu saya seusia Eza belum memiliki kesadaran begitu.

Yang bikin kaget adalah saat saya mudik ke Tasik, saya biarkan Eza main dengan sepupu-sepupunya. Ternyata saat melihat sapu dan serok, Eza gatal, malah diambil dan disapu lah itu teras depan rumah haha. 



Terharu bin bangga lah pokoknya. Rasanya kebahagiaan seorang ibu itu bukan hanya saat anaknya bisa jalan, bisa ngomong saja tapi saat anaknya berinisiatif untuk melakukan pekerjaan yang tak terduga. Tentu masih banyak peer saya terkait mendidik anak laki-laki ini, semoga diberi kesempatan dan kekuatan untuk mendidik dan membesarkan Eza hingga menikah nanti (haha dah berasa makin tua aja).

Semoga Bermanfaat

Senin, 170717.17.00

#odopfor99days#semester2#day42

No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit