Wednesday, July 19, 2017

Ketika Eza Minta Maaf dan Hukuman untuk Bundanya



Pernahkah anak kita minta maaf saat berbuat salah? Mudahkah kita memaafkannya? Bagaimana akibatnya saat seorang ibu sulit memaafkan anaknya? Bagaimana perasaan sang bunda saat harus menerima balasan yang datang secepat kilat karena tak mudah memaafkan anaknya yang setulus hati meminta maaf padanya.

Minggu-minggu ini saat asisten rumah tangga belum datang karena sedang menikmati bulan madu setelah pernikahannya minggu lalu, saya banyak menghabiskan waktu bersama Eza. Sambil mengerjakan pekerjaan rumah, saya mengamati Eza bermain. Kadang dia anteng bermain bersama teman-temannya, kadang juga pengen bareng bundanya di rumah.

Kemarin, hari Selasa saya sampaikan pada Eza bahwa siang setelah dhuhur, agenda kegiatan kami adalah pergi ke bandara untuk mengantar teman dan siswa yang akan berangkat ke Jepang sekaligus saya suntik meningitis di rumah sakit bandara. Eza tampak senang sekali saat diberitahu akan ke bandara dan melihat pesawat. Sambil menunggu, saya kerjakan sesuatu sementara Eza saya biarkan bermain balok di karpet, ternyata dia tertidur. Pukul setengah 12 dia sudah bangun, tak lama setelah papanya datang dari sekolah.

Saat adzan dhuhur berkumandang, saya minta Eza ikut sholat dhuhur bareng kami secara berjamaah. Ternyata ia tak mau, duduk saja di kursi. Saya “ancam” dia, kalau ga sholat maka tidak akan diajak ke bandara, bisa ditebak ia pun menangis. Sepanjang saya dan suami sholat dhuhur, ia tak henti menangis. Tidak mau ikut sholat, tapi juga tetap mau ikut bundanya ke bandara. Usai sholat, dia pun tak mau lepas dari pangkuan saya, saat saya membereskan mukena dan sajadah, ia tetap menangis.

Saya acuhkan dia, dia terus mengejar saya untuk minta maaf. Eza peka sekali perasaannya, ia bisa merasakan kalau saya marah. Biasanya kalau marah saya diam saja, dan dia tersiksa sekali kalau saya diamkan. Eza masih menangis, saya bersiap-siap memakai kerudung, ia terus meminta maaf dan minta salim dan baikan, saya pun menyambutnya, membiarkan dia salim dan baikan dengan adu kelingking, tapi saya tetap diam. Ternyata dia tahu dan bisa merasakannya. Hebat sekali ya jiwa anak itu, walaupun saya sudah menyambut permintaannya untuk minta maaf dan baikan, ia tetap bisa merasakan kalau saya masih marah.

Lalu, ia pun mendatangi papanya, curhat dan lapor, kalau bahasa kita mah. Papanya menasehatinya dan memediasi saya dan Eza, haha lebay banget. Kalau ingat sekarang, rasanya malu yah saya sebagai seorang ibu tak bisa menahan emosi terhadap anak yang masih berusia 3,5 tahun. Sebenarnya diam saya itu dalam rangka menahan diri supaya tak keluar kata-kata yang tak baik dari mulut saya. Saat papa Eza menghampiri saya dan bilang, “Bunda, nih mas Eza mau minta maaf”, akhirnya saya pun luluh. Saya memaafkannya dan kembali ngobrol baik-baik dengan Eza. Kami pun pergi ke bandara dan menyelesaikan urusan suntik meningitis yang ternyata cepat sekali, tak sampai setengah jam, urusan suntik meningitis pun beres.

Sepulang dari bandara, saya tiba kembali di rumah pukul setengah 4 sore. Sambil beristirahat, tiba-tiba saya ingat satu hal, bahwa saya lupa menyimpan passport dan buku kuning suntik meningitis milik siswa saya yang sudah diberikan hari Senin kemarin. Saya cari di rumah, di kantor, di kamar teman, dimana-mana, tak saya temukan. Saya pun banyak beristigfar, hingga malam hari saya tak kunjung menemukannya.


Saya lalu mengevaluasi diri kesalahan apa saja yang saya perbuat. Saya pun menemukannya, ibadah saya minggu ini memang sangat berantakan, banyak kesiangan, tak sempat tahajud, tadarus sesempatnya, saya merasa banyak lalai dan tentu saja kesalahan saya sebagai seorang ibu yang tak mudah memaafkan Eza saat sudah meminta maaf, itu kesalahan terbesar saya hingga harus menerima musibah ini. Saat shalat shubuh, saya pun beristigfar dan berdoa semoga Allah membantu saya menemukan dokumen penting milik siswa tersebut.

Setelah shubuh, saya ingat bahwa semalam saya mencuci, saya pun membuka mesin cuci yang semalam sudah diproses, saya mau mengeluarkan pakaian yang sudah dicuci untuk dijemur. Ternyata oh ternyata, dokumen penting itu tercuci dengan manisnya di mesin, antara sedih dan gembira, saya memandang dokumen yang sudah tak jelas bentuknya dan mencoba merapikannya. Sedih karena saya tau harus mengurus masalah ini dan berurusan dengan siswa dan orang tuanya, bahagia karena akhirnya dokumen penting itu ketemu juga.

Tadi pagi, saya menyiapkan mental untuk berbicara dengan siswinya, meminta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi. Saya membayangkan siswanya akan marah, ternyata setelah dijelaskan panjang lebar, ia hanya oh oh dan bilang ga papa bu. Ya ampyun ternyata bahagia sekali saat orang lain langsung memaafkan setelah kita minta maaf, saya langsung merasa bersalah pada Eza. Setelah itu, saya siapkan diri untuk menelpon orang tuanya di Batam dengan berbekal shalat dhuha dan shalat hajat. Ajaib, orang tuanya juga tidak marah dan memaklumi kesalahan saya serta menerima maaf saya. Subhanallah pertolongan Allah selalu ada kapanpun saat kita minta. Kami langsung mencari solusinya. Disepakati bahwa dokumen itu akan saya paketkan ke Batam dan ibunya akan mengurus di Batam.

Pengalaman saya hari ini dan kemarin, mengajarkan saya banyak hal. Bahwa antara satu kejadian dan kejadian berikutnya ternyata saling berkaitan, kadang merupakan akibat dari perbuatan sebelumnya. Saya merasa saya bukan jadi ibu yang baik ketika tak langsung memaafkan setelah Eza minta maaf. Sombong sekali saat saya merasa arogan, berperilaku jahat terhadap anak saya sendiri yang baru berusia 3,5 tahun. Dan kesombongan saya langsung berbalas spontan, saya dihukum akibat kesalahan saya sendiri. Ternyata saat saya mengalami kejadian ini, saya harus meminta maaf pada kedua orang, siswa dan ibunya, betapa saya baru merasakan betapa berharapnya saya bahwa mereka akan cepat memaafkan saya setelah saya ceritakan panjang lebar. Terima kasih Allah atas pembelajaran luar biasa hari ini.

Semoga Bermanfaat

Rabu, 190717.12.00

#odopfor99days#semester2#day43

No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit