Thursday, April 30, 2020

HARI 7 : MA’ANI BAGIAN 2: ITHNAB (اطناب)



Definisi ithnab adalah

تأدية المعنى بعبارة زائدة عن متعارف الأوساط لفائدة

Yaitu mengungkapkan suatu makna dengan ungkapan panjang lebar untuk tujuan tertentu.

Ada beberapa jenis ithnab dan tujuannya yaitu

  ü  Menyebutkan lafadz yang khusus setelah umum

Contohnya adalah dalam surat al Qadr ayat 4

تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.

 

Pada ayat tersebut, Malaikat Jibril disebutkan setelah kata Malaikat yang sifatnya umum untuk menyebutkan keistimewaan Malaikat Jibril.

 

  ü  Menyebutkan lafadz yang umum setelah khusus

Contohnya adalah dalam surat Nuh ayat 28

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلا تَبَارًا

Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang lalim itu selain kebinasaan".

 

Pada ayat tersebut, kata muminin dan muminat disebutkan setelah lafadz mumin yang merupakan bagian dari kata setelahnya. Tujuannya adalah menegaskan keumuman dan menyeluruh, serta memberikan perhatian pada yang khusus.

 

  ü  Menjelaskan setelah hal yang samar

Contohnya adalah dalam surat al Ghasyiyah ayat 1 dan 2

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ

Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan?

Banyak muka pada hari itu tunduk terhina,

 

Pada ayat tersebut, ayat kedua menjelaskan ayat pertama. Tujuannya adalah memperkuat maknanya.

 

  ü  Pengulangan lafadz karena adanya alasan, seperti panjangnya pemisah

Contohnya adalah dalam surat at-Takatsur ayat 3 dan 4

كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ  ثُمَّ كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ

Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),

dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.

 

Pada ayat ketiga, lafadz سَوْفَ تَعْلَمُونَ diulang pada ayat keempat. Tujuannya adalah untuk menegaskan makna dan mengetuk jiwa pembaca/pendengarnya terhadap makna yang dimaksud, untuk menghindari kesalahpahaman.

 

  ü  I’tiradh yaitu menyisipkan lafadz antara bagian-bagian satu kalimat atau antara dua kalimat yang masih berkaitan maknanya karena adanya sebuah tujuan.

Contohnya adalah dalam surat an Nahl ayat 57

وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ مَا يَشْتَهُونَ

Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki).

 

Pada ayat tersebut, kata سُبْحَانَهُ /Mahasuci Allah” digunakan sebagai bantahan bagi klaim orang kafir yang menyatakan bahwa Allah memiliki anak perempuan.

 

  ü  Tadzyil adalah mengiringi suatu kalimat dengan kalimat yang lain yang mengandung makna tertentu dengan tujuan menguatkannya

Contohnya adalah dalam surat al Isra ayat 81

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.

 

Pada ayat tersebut, kalimat  إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا mengikuti kalimat lain untuk menguatkan. Andai kalimat ini tidak adapun, sudah cukup karena maknanya sudah tercakup dari kalimat sebelumnya.

 

  ü  Ighal adalah mengakhiri pembicaraan dengan lafadz yang memiliki faidah yang seandainya tanpa lafadz itu pembicaraan sudah sempurna, seperti makna mubalaghah.

Contohnya dalam surat al-Baqarah ayat 212

زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.

 

Pada ayat tersebut, kata بِغَيْرِ حِسَابٍ termasuk ighal untuk menguatkan makna.

 

  ü  Ihtiras yaitu mendatangkan ungkapan yang memberi persepsi berbeda dari tujuan, dengan ungkapan lain yang menolak kasalahpahaman itu

Contohnya adalah dalam surat al Insan ayat 8

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.

 

Pada ayat tersebut, lafadz عَلَى حُبِّهِ digunakan untuk memperjelas makna. Biasanya mayoritas kita menganggap bahwa memberi itu jika harta kita berlebih atau jika sudah kaya, tapi lafadz ini menunjukkan bahwa dalam keadaan bagaimanapun tetap harus berbagi misal dengan memberikan makan bagi yang membutuhkan.

 

Ada beberapa ayat yang mengandung iijaz dan ithnab sekaligus, contohnya dalam surat an-naml ayat 18 berikut ini:

حَتَّى إِذَا أَتَوْا عَلَى وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لا يَشْعُرُونَ

Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari";

Dalam buku Ensiklopedia Al-Quran hadits, dijelaskan bahwa ithnab dalam ayat tersebut terdapat pada lafadz يَا أَيُّهَا dan  وَهُمْ لا يَشْعُرُونَ. terkait dengan ya ayyuha, Sibawaih berkomentar bahwa huruf alif dan ha masuk pada kata ayyun. Fungsi kedua huruf tersebut adalah sebagai ta’kid (penguat). Jadi seakan-akan kata ya disebut dua kali. Dengan demikian, nomina vokatif (ya ayyuha) tersebut menjadi tanbih (peringatan).

Hal senada juga diungkapkan oleh Zamakhsayri. Menurutnya nida (nomina vokatif) dalam Al-Qur’an hanya disebut secara berulang-ulang dengan perangkat nida ya ayyuga, bukan lainnya. Sebab, dalam perangkat nida ini terdapat sisi penegas, selain juga sebagai hiperbola. Diantaranya, makna yang terkandung dalam partikel ya adalah penegas dan pengingat, sedangkan makna yang terkandung dalam partikel ha hanya pengingat. Dengan demikian, segala sesuatu yang asalnya belum jelas (ayyun) menjadi jelas. Sehingga kedudukannya menjadi sangat tegas dan kuat.

Sementara itu kalimat wa hum la yasy’urun sebagai penyempurna pernyataan sebelumnya dengan tujuan untuk menghilangkan pemahaman yang jelas. Dalam istilah balaghah, gaya bahasa seperti ini disebut ihtiras. Sebab, ayat tersebut menisbahkan kezaliman kepada Nabi Sulaiman as. Dalam ayat ini, seakan-akan semut tersebut mengetahui bahwa para nabi itu terpelihara dari perbuatan dosa. Mereka tidak pernah salah, kecuali sekadar lupa. Dalam hal ini, Al-Razi juga berpendapat, “Ini merupakan peringatan besar untuk menetapkan bahwa para nabi itu terhindar dari perbuatan dosa.”

Demikianlah penjelasan tentang penggunaan ithnab dan tujuannya.

 

Semoga Bermanfaat

Referensi :

      ·         Balaghah untuk semua, Prof. Hidayat

      ·         Ensiklopedia Mujizat Al Qur’an dan Hadits, Kemujizatan Sastra dan Bahasa Al Qur’an, Hisham Thalbah dkk.

      ·         Al Balaghah al’Arabiyyah, Haniah,Lc,MA

      ·         Ilmu Ma’aniy, Basyuni Abdul fattah fayud, Kairo: Maktabah Wahbah.

Wassalam

Serpong, Kamis 30 April 2020/7 Ramadhan 1441 H, 06.55

#KolaborasiZaiNovi

#ProyekRamadhanAlZayyan1441H

#AlZayyanHari7

#Karya7TahunPernikahan

#SerunyaBelajarBahasaArab

Wednesday, April 29, 2020

HARI 6 : MA’ANI BAGIAN 1: IIJAZ (ايجاز)


Balaghah mencakup 3 tema besar, yaitu pertama, ilmu ma’ani (معاني), yang mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukkan maknanya dan mempelajari cara menyusun kalimat agar sesuai dengan konteks. Kedua, ilmu bayan (بيان), yang mempelajari cara-cara penggambaran imajinatif. Ketiga, ilmu badi’ (بديع), yang mempelajari karakter lafazh dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian makna.

Ilmu ma’ani secara umum membahas 8 hal yaitu isnad Khabari, Musnad Ilaih, Musnad, muta’alliqatul fi;l, qashr, insya, fashl dan washl, serta Iijaz Ithnab dan Musawat. Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah terkait Iijaz (ايجاز).

Dalam terminologi ilmu balaghah, iijaz adalah

الايجاز هو جمع المعاني المتكاثرة تحت اللفظ القليل الوافي بالغرض مع الإبانة والإفصاح

Mengumpulkan makna yang yang banyak dengan lafazh yang sedikit akan tetapi tetap jelas dan sesuai dengan maksud pengungkapannya atau ungkapan untuk menyatakan maksud tanpa ada penambahan kalimat.

Pembahasan iijaz terbagi dua yaitu iijaz dengan hadzf (elipsis) atau menghapus dan iijaz dengan qashr atau meringkas.

Contoh iijaz qashr terdapat dalam surat al-A’raf ayat 199 berikut ini

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.

Tuesday, April 28, 2020

HARI 5 : RAHASIA BAHASA PADA SURAT AL KAFIRUN


Allah berfirman dalam surat alkafirun:

Katakanlah Hai orang-orang yang kafir,

aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.

Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.

Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.

Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.

Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku".

 

Ibnu Ishaq meriwayatkan terkait dengan sebab turunnya (asbab an nuzul) surah ini. Menurutnya, ketika Rasulullah Saw tawaf di Ka’bah, beliau menerima para pemimpin kabilah Arab, seperti Al Aswad bin Muthalib bi Asad bin Abd Al-Izzi, al Walid bin Al Mughirah, Umaiyah bin Khalaf, al-‘Ash bin Wa’il as-Sahami. Para pemimpin kabilah ini berkata kepada Nabi Muhammad, “Ya Muhammad, kemarilah. Kami akan menyembah apa yang engkau sembah. Dengan begitu kita bersatu dalam berbagai masalah. Jika yang engkau sembah adalah baik, maka kami juga mendapatkan kebaikan itu. Jika apa yang kami sembah baik, maka engkau juga mendapatkan kebaikannya. Engkau mendapat bagian dari kebaikannya.” Lalu turunlah surat al Kafirun seperti yang sudah disebutkan di awal tulisan ini.

Pada ayat pertama, Surah ini dibuka dengan perintah Tuhan yang tegas, “qul (katakanlah)”. Kata ini menunjukkan adanya bantuan setelah ucapan, yaitu permulaan pemberian wahyu bahwa perintah terhadap akidah ini adalah perintah Allah Swt satu-satunya, bukan karena keinginan Muhammad Saw. Allah lah tidak bisa ditolak perintah-Nya dan Hakim yang tidak bisa ditolak hukum-Nya. Karena itu Rasulullah tidak mengurangi sedikit pun dari wahyu yang beliau terima, walaupun dari segi lahiriah, kata tersebut sepertinya tidak berfungsi “Katakanlah. Wahai orang kafir”.

Lawan bicara dimulai dengan menggunakan kata panggilan ya ayyuha yang berarti panggilan untuk jiwa, hati dan roh. Karena, panggilan dengan kata panggilan ini menuntut yang dipanggil menghadap dengan jiwa, hati dan rohnya.

Monday, April 27, 2020

HARI 4 : KEMUJIZATAN USLUB AL-QUR’AN


Secara bahasa, kata uslub digunakan untuk jalan yang memanjang. Barisan kurma dikatakan juga sebagai usulub. Jadi uslub adalah cara, jalan, madzhab. Uslub juga berarti fann (seni). Ada ungkapan dalam Bahasa Arab bahwa seseorang mengambil uslub dari suatu kalimat, berarti orang itu mengambil seni dari kalimat tersebut.

Dalam terminologi ahli balaghah, uslub adalah sebuah metode dalam memilih redaksi dan menyusunnya, untuk mengungkapkan sejumlah makna, agar sesuai dengan tujuan dan pengaruh yang jelas. Pengertian lainnya, uslub adalah berbagai ungkapan redaksi yang selaras untuk menimbulkan beragam makna yang dikehendaki.

Karenanya, uslub Al-Qur’an berarti gaya bahasa Al-Qur’an yang tidak tertandingi dalam menyusun redaksi penuturannya. Para ulama, baik dulu maupun sekarang, telah membahas bahwa Al-Qur’an memiliki uslub tersendiri yang berbeda dengan uslub-uslub Arab lainnya, dari segi penulisan, retorika dan susunan kalimatnya.

Para ulama telah merilis karakteristik uslub Al-Qur’an yang khas dan istimewa diantara penuturan bahasa-bahasa lainnya. Karakteristik itu antara lain adalah sebagai berikut:

      1.      Penafsirannya bersifat elastis

Dalam uslub Al-Qur’an, kita temukan adanya elastis dalam penafsiran dan lentur dalam penggubahan. Hal ini tidak dimiliki oleh satu uslub pun selainnya. Uslub Al-Qur’an mampu mengobati kegundahan hati manusia pada umumnya, dan dirasakan cukup bagi kalangan tertentu untuk memenuhi semuanya. Bagian luar (ekplisit) dari uslub tersebut dapat dijangkau dengan mudah dan memberi petunjuk bagi kalangan manusia biasa. Ia dapat memenuhi kehampaan jiwa mereka dengan menyusupkan motivasi berupa kabar gembira (targhib) dan peringatan berupa adzab dan siksa (tarhib), serta keindahan dan keagungan dalam ungkapan dan penuturannya. Adapun bagian yang paling dalam (implisit) dari uslub Al-Qur’an akan diserap oleh kalangan filosof terkemuka untuk menambah ilmu pengetahuan dan pemikiran.

Unsur elastisitasnya termasuk salah satu faktor yang menyebabkan kekalnya Al-Qur’an. Bermacam uslub bahasa Arab selama 4 abad lamanya telah mengalami banyak perubahan dan perombakan dari sisi redaksi maupun maknanya. Namun, eksistensi Al-Qur’an masih tetap konsisten dengan uslub nya yang khas dengan ciri-ciri khusus yang tidak ada duanya. Ia selali up to date mengiringi perkembangan zaman. Keindahannya berbekas di lubuk hati dari satu generasi ke generasi berikutnya sampai sekarang ini, bahkan sampai Allah menghancurkan bumi dan segala isinya.

Pesatnya perkembangan sains akan membuktikan elastisinya penafsiran Al-Qur’an, misalnya tentang penciptaan langit dan bumi, perkembangan janin dalam rahim, tentang ruang angkasa, dan lain-lain, yang bisa jadi, saat diturunkannya Al Qur’an, belum seluas sekarang kondisi perkembangan sains dan teknologinya.

 

      2.      Uslub Al-Qur’an menggunakan metode penyampaian deskriptif

Salah satu tanda yang kentara dalam uslub Al Qur’an adalah penggunaan metode deskriptif dalam mengungkapkan beragam makna dan ide yang ingin dijelaskannya, baik makna yang murni membutuhkan daya pikir untuk memahaminya, kisah masa lalu, atau fenomena yang akan terjadi pada hari kiamat, maupun berbagai isu penting lainnya.

Contohnya adalah sebagai berikut:

a.       Makna “sangat enggan menjawab ajakan untuk beriman”

Apabila ingin mendeskripsikan makna ini hanya dengan mengandalkan daya nalar, kita bisa saja mengatakan, “Sesungguhnya mereka sangat enggan dan benci menjawab ajakan untuk beriman”. Tapi mari kita perhatikan ungkapan yang digunakan Al-Qur’an dalam surat al-Muddatsir ayat 49-51

فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِينَ  كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُسْتَنْفِرَةٌ

فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ 

Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?",

seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut,

lari daripada singa.

 

Saat membaca ayat diatas, kita bisa membayangkan ada seekor keledai yang lari sekencang-kencangnya dari kejaran singa. Ungkapan tersebut membangkitkan perasaan seorang pembaca, sehingga emosi jiwanya terpengaruh.

b.      Makna “lemahnya berhala-berhala sesembahan kaum muysrikin selain Allah”.

Makna tersebut bisa saja dengan ungkapan “Apa-apa yang kalian sembah selain Allah adalah lemah, tidak bisa menciptakan makhluk yang paling hina sekalipun.” Tapi mari kita lihat redaksi yang digunakan Al-Qur’an:

 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ

 

Ada unsur personifikasi dalam makna tersebut. Hal ini terlihat dalam deskripsi-deskripsi yang “hidup” berikut ini secara berurutan:

Pertama, “mereka (berhala-berhala yang disembah) sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun; Kedua, “walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya”; Ketiga “jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu”; Keempat, penggabungan antara yang menyembah dan yang disembah, melalui firman-Nya, “Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pula) yang disembah”.

Ilustrasi keindahan dalam deskripsi ini terlihat pada hubungan antara kesucian berhala-berhala yang ditaati dan disimpan dalam bentuk yang paling suci di hati para pengikutnya, yang dihubungkan dengan makhluk yang hina. Tidak cukup dengan korelasi seperti ini, bahkan seandainya sekumpulan orang beramai-ramai membuat makhluk ini, tentu mereka tidak akan mampu menciptakannya.

c.       Makna “berakhirnya alam semesta kemudian amal umat manusia diperhitungkan, orang-orang yang berbuat kebaikan akan masuk surga. Orang-orang yang berbuat dosa akan masuk neraka, kelezatan nikmat yang dialami penduduk surga dan prosesi penyambutan terhadap mereka, dan kepedihan adzab yang dialami penduduk neraka dan cemoohan terhadap mereka.”

Redaksi diatas adalah redaksi biasa, mari kita lihat redaksi yang digunakan Al-Qur’an tentang hari kiamat dalam surat Az Zumar ayat 67-75 berikut ini:

 

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.

وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ إِلا مَنْ شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنْظُرُونَ

Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).

وَأَشْرَقَتِ الأرْضُ بِنُورِ رَبِّهَا وَوُضِعَ الْكِتَابُ وَجِيءَ بِالنَّبِيِّينَ وَالشُّهَدَاءِ وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ

Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan.

وَوُفِّيَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا يَفْعَلُونَ

Dan disempurnakan bagi tiap-tiap jiwa (balasan) apa yang telah dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan.

وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِ رَبِّكُمْ وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا بَلَى وَلَكِنْ حَقَّتْ كَلِمَةُ الْعَذَابِ عَلَى الْكَافِرِينَ

Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahanam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?" Mereka menjawab: "Benar (telah datang)". Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir.

قِيلَ ادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ

Dkatakan (kepada mereka): "Masukilah pintu-pintu neraka Jahanam itu, sedang kamu kekal di dalamnya". Maka neraka Jahanam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ

Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya".

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي صَدَقَنَا وَعْدَهُ وَأَوْرَثَنَا الأرْضَ نَتَبَوَّأُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَاءُ فَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ

وَتَرَى الْمَلائِكَةَ حَافِّينَ مِنْ حَوْلِ الْعَرْشِ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ وَقِيلَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki." Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.

Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling Arasy bertasbih sambil memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam".

 

Demikianlah indahnya ungkapan yang digunakan Al-Qur’an dalam menggambarkan peristiwa kiamat. Dimulai dengan ungkapan yang bergelora dan hidup, kemudian alur cerita berjalan datar, hingga setiap gerakan menjadi terdiam. Segala sesuatu pun menjadi tenang dan menyelusup masuk ke ruangan, diam, dan khusyuk, karena keagungan-Nya dan takut kepada-Nya.

Hari kiamat dimulai pada hamparan bumi yang seluruhnya berada dalam genggaman Tuhan yang Maha Kuasa. Demikian pula langit-langit yang ada diatasnya.seluruhnya digulung dan dihancurkan dengan tangan kanan (kekuasaan) Nya. Sebuah ilustrasi yang membuat perasaan menggigil takut dalam menghadapinya. Daya imajinasi tidak mampu untuk menggambarkan kedahsyatannya.  Saat sangkakala ditiup untuk yang pertama kalinya, maka semua makhluk hidup yang masih ada di muka bumi akan terpelanting jatuh dan mati seketika. Kita tidak tahu persis berapa lama jeda antara tiupan tersebut hingga tiba saatnya tiupan sangkakala yang kedua.

Ketika itu suasana berubah menjadi gaduh yang dipenuhi dengan teriakan dan keributan disana-sini. Semua makhluk dikumpulkan. Tuhan pun muncul. Malaikat mengitari disekelilingnya, suasana pun menjadi hening. Pada saat keheningan seperti itu, tidak dibutuhkan satu kata pun untuk diucapkan, maka perhitungan amal pun terjadilah. Setelah perhitungan amal selesai dan diketahui hasilnya, setiap rombongan diarahkan menuju tempatnya masing-masing. Orang-orang kafir digiring ke neraka dan orang yang bertakwa diarahkan menuju surga. Selanjutnya alur cerita bergambar ini ditutup dengan perasaan yang tertancap dalam relung jiwa yang paling dalam, berupa kekhawatiran, ketakutan dan kehinaan di hadapan keagungan Tuhan. Segala rasa bercampur aduk saat menyaksikan setiap adegan demi adegan.

 

       3.      Metode uslub Al-Qur’an yang istimewa dalam berdebat dan menarik kesimpulan

Mari kita perhatikan surat Al Anfal ayat 67-69

 

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الآخِرَةَ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ 

لَوْلا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلالا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.

Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Dua ayat ini turun setelah pembebasan tawanan perang Badar dan penerimaan tebusan dari mereka. Dua ayat tersebut pertama kali menyalahkan dan memprotes kebijakan ini. Kemudian dua ayat ini tidak membiarkan ditutup dengan ketetapan dan keinginan untuk meluluskan protes tersebut. Bahkan, ayat-ayat sebelumnya yang mencela kebijakan tersebut menjadi kaidah yang berlaku untuk ayat setelahnya (tentang kebolehan mengambil harta rampasan perang).

Diantara hal-hal yang membuat keistimewaan uslub Al-Qur’an adalah caranya dalam menarik kesimpulan dengan mengeksplorasi berbagai hal dan peristiwa yang kecil-kecil, tetapi sebenarnya memiliki hakekat kebenaran yang luar biasa besar dan sesuai dengan inti permasalahan yang ingin disampaikan.

Seorang bangsa Arab yang memiliki cita rasa yang tinggi akan keindahan bahasa menemukan bahwa uslub Al-Qur’an memang istimewa. Ia mengetahui bahwa faktor yang menyebabkan keistimewaan Al-Qur’an ini tidak berasal dari ungkapan manusia atau makhluk apapun. Gaya bahasa yang digunakan tidak sama dengan ungkapan orang Arab, bahkan yang paling ahli sekalipun dalam bidang bahasa. Bahkan jika semua makhluk berkumpul dan membuat satu ayat saja seperti ayat Al-Qur’an, tidak akan sanggup karena memang itulah mujizat dari Allah, Sang penguasa segalanya. Maka perbedaan antara Al-Qur’an dengan ungkapan manusia bagaikan perbedaan Dzat Pencipta yaitu Allah Swt dengan makhluk Nya.

Maka tugas kita adalah membuktikan keindahan mujizat-Nya dengan cara mempelajari dari ahlinya, atau cukup dengan mengimaninya dan mengamalkan isinya, yang tentu saja itupun bukan hal yang mudah dilakukan, butuh perjuangan kuat untuk mewujudkannya, di tengah banyak godaan untuk melakukan hal lain yang lebih menarik. Semoga kita semua mampu meluangkan waktu (bukan menggunakan waktu luang), untuk mempelajari keindahan mujizat Al-Qur’an ini.

Semoga Bermanfaat

Wassalam

Referensi

·         Ensiklopedia Mujizat Al Qur’an dan Hadits, Kemujizatan Sastra dan Bahasa Al Qur’an, Hisham Thalbah dkk.

 

Serpong, Senin 27 April 2020/4 Ramadhan 1441 H, 14.00

#KolaborasiZaiNovi

#ProyekRamadhanAlZayyan1441H

#AlZayyanHari4

#Karya7TahunPernikahan

#SerunyaBelajarBahasaArab

Sunday, April 26, 2020

HARI 3 : SEJARAH ILMU BALAGHAH


Pembahasan tentang sejarah balaghah menurut Amin al-Khuli mencakup 3 aspek yaitu (1) sejarah tentang materi balaghah dan ketentuan-ketentuannya, meliputi masalah awal kemunculan, tahapan perkembangan, dan bagaimana ilmu ini pada akhirnya; (2) Kajian tentang tokoh-tokoh ilmu balaghah; (3) Kajian tentang khazanah tulisan atau karangan dalam ilmu balghah. Ketiga hal diatas saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.

Menurut Prof Hidayat dalam bukunya “Balaghah untuk Semua”, sejarah mencatat bahwa perkembangan balaghah sebagai satu bidang kajian bahasa Arab, tidak dapat dipisahkan dari kajian kemujizatan Al-Qur’an (الإعجاز القراني ), yang dimulai dengan lahirnya kitab bernama Majaz Al-Qur’an (مجاز القران ) karya Abu Ubaidah Mu’ammar bin al-Mutsanna. Ialah yang pertama kali secara khusus mengkaji balaghah, yang kemudian diikuti oleh yang lainnya. Kitab ini mengkaji Ilmu Bayan yang merupakan bagian dari ilmu balaghah.

Sementara penyusun kitab tentang ilmu badi’  pada masa awal, yang dianggap sebagai pelopor adalah Abdullah bin al-Mu’taz dan Qudamah bin Jafar dengan Naqd asy-Syi’r  dan Naqd an-Natsr. Untuk ilmu ma’ani, tidak diketahui pasti orang pertama kali yang menyusun tentang ilmu tersebut namun yang sering menjadi pembicaraan adalah al Jahizh dalam Ijaz Al-Qur’an (الإعجاز القراني ),

Setelah kemunculannya di masa awal, para ulama berikutnya saling melengkapi dan menambahi khazanah ilmu ini hingga hadirlah seorang pakar balaghah yaitu Abu Bakar Abdul Qahir Al-Jurjuniy yang mengarang kitab tentang ilmu Ma’ani dengan judul Dalail al-Ijaz (دلائل الإعجاز) dan tentang ilmu bayan dengan judul Asrarul Balaghah (أسرار البلاغة). Kemudian setelahnya, hadirlah Abu Yaqub Sirajuddin Yusuf As Sakakiy al-Khawarizmi dengan kitabnya yang membahas tentang ilmu balaghah lebih lengkap daripada yang lainnya yang berjudul Miftah al Ulum (مفتاح العلوم). As Sakakiy mendapat sambutan luar biasa, tidak sedikit ulama yang membuat ringkasan atau syarh dari kitab al Miftah seperti Ibnu Malik dalam al-Mishbah (المصباج) & Khatib al-Khizwini dalam 2 karyanya yaitu Talkhish al-Miftah (تلخيص المفتاح) dan Syarh al-Idhah (شرح الإيضاح).

Namun menurut para ahli balaghah kontemporer, buku-buku balaghah ala As-Sakaki yang sarat dengan qawaid , definisi dan klasifikasi itu telah membuat balaghah menjadi kering, kehilangan rasa seni dan keindahannya sehingga penghayatan akan balaghah yang seharusnya menjadi tujuan utama pembelajaran, umumnya tidak tersentuh, karena perhatian terfokus pada hafalan, tanpa disertai amtsilah & tamrinat (latihan) yang memadai. Hal inilah yang mendorong timbulnya pembaharuan dalam pembelajaran balaghah pada paruh pertama abad XX di Mesir.

Postingan Favorit