Tuesday, April 28, 2020

HARI 5 : RAHASIA BAHASA PADA SURAT AL KAFIRUN


Allah berfirman dalam surat alkafirun:

Katakanlah Hai orang-orang yang kafir,

aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.

Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.

Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.

Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.

Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku".

 

Ibnu Ishaq meriwayatkan terkait dengan sebab turunnya (asbab an nuzul) surah ini. Menurutnya, ketika Rasulullah Saw tawaf di Ka’bah, beliau menerima para pemimpin kabilah Arab, seperti Al Aswad bin Muthalib bi Asad bin Abd Al-Izzi, al Walid bin Al Mughirah, Umaiyah bin Khalaf, al-‘Ash bin Wa’il as-Sahami. Para pemimpin kabilah ini berkata kepada Nabi Muhammad, “Ya Muhammad, kemarilah. Kami akan menyembah apa yang engkau sembah. Dengan begitu kita bersatu dalam berbagai masalah. Jika yang engkau sembah adalah baik, maka kami juga mendapatkan kebaikan itu. Jika apa yang kami sembah baik, maka engkau juga mendapatkan kebaikannya. Engkau mendapat bagian dari kebaikannya.” Lalu turunlah surat al Kafirun seperti yang sudah disebutkan di awal tulisan ini.

Pada ayat pertama, Surah ini dibuka dengan perintah Tuhan yang tegas, “qul (katakanlah)”. Kata ini menunjukkan adanya bantuan setelah ucapan, yaitu permulaan pemberian wahyu bahwa perintah terhadap akidah ini adalah perintah Allah Swt satu-satunya, bukan karena keinginan Muhammad Saw. Allah lah tidak bisa ditolak perintah-Nya dan Hakim yang tidak bisa ditolak hukum-Nya. Karena itu Rasulullah tidak mengurangi sedikit pun dari wahyu yang beliau terima, walaupun dari segi lahiriah, kata tersebut sepertinya tidak berfungsi “Katakanlah. Wahai orang kafir”.

Lawan bicara dimulai dengan menggunakan kata panggilan ya ayyuha yang berarti panggilan untuk jiwa, hati dan roh. Karena, panggilan dengan kata panggilan ini menuntut yang dipanggil menghadap dengan jiwa, hati dan rohnya.


Al-kafirun adalah bentuk jamak dari kata kafir, yang merupakan derivasi kata kafara (كفر)-yakfuru (يكفر). Bentuk indefinitifnya berarti jenis, sehingga ditujukan untuk semua orang kafir. Kufr secara bahasa berarti “menutup sesuatu”. Malam hari disebut kafir karena menutupi orang. Petani juga disebut “kafir”  karena menutup benih di tanah. Kufur nimat berarti menyembunyikan nikmat dan tidak mensyukurinya.

Bentuk kekafiran yang paling buruk adalah menentang keesaan Allah, ketentuan hukum, atau kenabian. Penggunaan kata kafirun dalam hal mengingkari nikmat lebih banyak daripada menggunakan kata kufr. Penggunaan kata kufr dalam urusan agama lebih banyak dibandingkan kata kufran. Kata kufuur dipergunakan dalam dua hal tersebut. Allah berfirman dalam surat al Isra ayat 99

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يَخْلُقَ مِثْلَهُمْ وَجَعَلَ لَهُمْ أَجَلا لا رَيْبَ فِيهِ فَأَبَى الظَّالِمُونَ إِلا كُفُورًا

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah kuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan mereka, dan telah menetapkan waktu yang tertentu bagi mereka yang tidak ada keraguan padanya? Maka orang-orang lalim itu tidak menghendaki kecuali kekafiran.

Perintah pada ayat tersebut dibarengi dengan panggilan al-kafirun, “Katakanlah, “Hai orang-orang kafir (al kafirun).

Pada surah az Zumar ayat 64, mereka dipanggil dengan kata al jahilun, sebagai berikut:

قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ

Katakanlah: "Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?"

Dengan redaksi seperti itu, surah al kafirun diturunkan kepada kaum kafir secara keseluruhan. Ini tidak sama dengan surah az Zumar. Yang lebih menegaskan adalah kata alkafirun. Tidak ada kata yang lebih buruk dan jelek dari kata tersebut, karena itu adalah sifat yang sangat buruk menurut semua makhluk. Menurut Al Qurthubi, Abu Bakr bin Al Anbari berkata, “Sesungguhnya, makna kata katakanlah kepada mereka yang kafir “wahai orang kafir” , lantas mereka marah ketika disebut sebagai orang kafir.

Sebagai bukti bahwa kata ini adalah kata yang sangat buruk bagi semua makhluk yang mengandung makna penghinaan dan keburukan adalah bahwa kata ini tidak pernah dijadikan sebagai panggilan dalam Al-Qur’an kecuali pada dua tempat yaitu surah al Kafirun dan surah at Tahrim ayat 7 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.

Jawaban pertanyaan ini adalah karena waktu dilakukannya panggilan pada surah al Tahrim itu adalah pada hari kiamat. Pada hari itu tidak ada lagi Rasulullah yang diutus kepada mereka. Karena itulah, panggilan kepada mereka tidak diawali dengan kata qul. Kemudian pada waktu itu mereka menjadi taat, tidak kafir lagi. Oleh karena itu, Allah menyebutnya dengan kata al-ladzina kafaru (الَّذِينَ كَفَرُوا).

Lawan bicara pada surah al Kafirun adalah lawan bicara ketika mereka berada di dunia. Pada saat itu, mereka disifatkan dengan kekafiran. Pada saat itu, Rasulullah saw adalah Rasul yang diutus kepada mereka. Karena itulah, ajakan bicara dimulai dengan kata perintah qul. Ini menunjukkan bahwa kafir adalah sifat sejatinya yang tidak bisa dipisahkan. Sifat ini sama sekali menjauh dari Allah Swt. Begitupula sebaliknya, Allah Swt dan Rasul-Nya menjauh darinya.

Pada ayat kedua, la a’budu ma ta’budun (aku tidak menyembah apa yang kamu sembah) merupakan jawaban atas panggilan/nida sebagai bentuk peniadaan (pembatalan). Lawannya adalah ayat ketiga wa la antum ‘abiduna ma a’bud (kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah). Dua ayat ini berarti, sekarang aku tidak menyembah apa yang kalian sembah dan kalian juga tidak menyembah apa yang aku sembah.

Ayat keempat wa la ana a’bid ma ‘abadtum (aku tidak menjadi penyembah apa yang kalian sembah) berarti ‘peniadaan untuk masa depan’. Lawannya adalah wa la antum ‘abidun ma a’bud (dan kalian tidak menjadi penyembah apa yang aku sembah). Kedua ayat ini berarti bahwa aku tidak akan menyembah di masa depan apa yang kalian sembah di masa lalu. Begitu juga kalian tidak akan menyembah apa yang sekarang aku sembah sekarang dan di masa depan.


Menurut Imam al-Qurtubhi, walaupun menggunakan redaksi yang sama pada ayat ketiga dan kelima yaitu wa la antum ‘abiduna ma a’bud (kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah) tapi tetap mengandung makna yang berbeda, yaitu terkait huruf ma yang terdapat di akhir ayat. Pada ayat ketiga adalah ma maushulah yang artinya adalah “apa yang”, sedangkan pada ayat kelima adalah ma mashdariyah yang berfungsi mengubah kata sehingga maknanya terkait dengan cara beribadah. Jika ditafsirkan ayat ketiga menjadi “kamu tidak akan menjadi penyembah apa yang sedang dan akan aku sembah”, sedangkan ayat kelima (juga ayat keempat) menjadi “kalian tidak akan menjadi  penyembah dengan cara penyembahanku. Demikian pendapat Imam al Qurthubi.

Menurut Quraisy Shihab, memang ada tuntunan-tuntunan agama yang pada mulanya bersumber dari ajaran Nabi Ibrahim yang diamalkan oleh Nabi Muhammad Saw dan diamalkan pula oleh orang musyrik di Mekah, tetapi dengan melakukan perubahan dalam pelaksanaannya, salah satunya pelaksanaan ibadah haji. Orang-orang kafir melaksanakan ibadah haji, tetapi sebagian diantara mreka ada yang enggan mengenakan pakaian, ada juga yang enggan berkumpul di Padang Arafah, tetapi menyendiri di Muzalifah. Kelompok mereka dikenal dengan al-Hammas. Ini adalah salah satu contoh perbedaan cara ibadah, walaupun namanya bagi kita dan mereka adalah sama yaitu haji. Tetapi cara kaum muslimin menyembah adalah berdasarkan petunjuk Ilahi, sedang cara mereka adalah berdasarkan hawa nafsu mereka. Demikianlah perbedaan makna redaksi yang sekilas sama, tapi sesungguhnya maknanya berbeda.

Kata kerja bermakna waktu sekarang dan masa depan ketika Nabi Saw membicarakan dirinya diulang pada dua ayat yaitu pada ayat ketiga (laa a’budu)  dan kelima (maa a’budu), sementara redaksi yang digunakan untuk orang kafir menggunakan dua jenis kata kerja yaitu bermakna masa lalu (‘abadtum) pada ayat keempat dan berbentuk kata kerja masa kini (ta’buduun) pada ayat kedua.  

Menurut Quraisy Shihab dalam tafsir al Mishbah, rahasia di balik ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw konsisten dalam objek pengabdian dan ketaatan, dalam arti yang beliau sembah, tidak berubah-ubah dan tidak pernah setuju untuk mengganti. Kondisi ini berbeda dengan kaum kafir yang menyembah hawa nafsu dan tujuanya dalam beragama. Mereka pada hari ini bisa jadi menyembah suatu sembahan, bisa jadi besok mereka menyembah sembahan yang lain.

Ayat wa la antum ‘abiduna ma a’bud (kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah) menggunakan yang disembah dengan huruf ma/apa, bukan man/siapa. Karena yang dimaksud adalah mengutarakan sembahan Nabi Saw secara umum. Penolakan kaum kafir untuk menyembah Allah bukan karena dzat Nya tapi karena mereka tidak mengerti tentang Allah, maka lafadz yang digunakan adalah ma sebagai bentuk kebingungan dan keumuman jenis. Menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah, makna yang lebih tepat adalah menyebutkan sembahan yang siap disembah, yang layak baginya, maka lafadz yang digunakan adalah ma bukan man, karena jika menggunakan man, itu hanya terkait Dzat semata.

Jika memperhatikan redaksi nafi/peniadaan, ada perbedaan yang terlihat, yaitu bentuk nafi untuk orang kafir, semuanya menggunakan fa’il/pelaku yaitu kata ‘aabidun/yang menyembah, sedangkan redaksi nafi untuk Rasulullah menggunakan fa’il/kata kerja yaitu kata laa a’budu/tidak menyembah. Rahasia bahasa pada redaksi tersebut adalah terlindungnya Rasulullah untuk menyembah sesembahan mereka dengan segala bentuk dan waktunya.

Bentuk peniadaan yang menggunakan fiil/kata kerja menunjukkan arti kejadian dan pembaruan/berulang-ulang. Kemudian menggunakan redaksi fa’il/pelaku yang berarti sifat dan ketetapan. Redaksi pertama yang digunakan untuk Rasulullah, mengandung arti bahwa penyembahan itu tidak pernah terjadi dan yang kedua, berbentuk fa’il/pelaku berarti sembahan itu bukan yang sebenarnya, seolah-olah Rasulullah berkata, “Menyembah selain Allah bukanlah perbuatanku dan bukanlah pula jati diri sebenarnya.” Sementara redaksi untuk orang kafir menggunakan fa’il/pelaku yang berarti sifat dan ketetapan, bukan perbuatan. Ini berarti sifat yang tetap dan pasti.


Rahasia bahasa yang lain pada surat ini adalah didahulukannya redaksi lakum dinukum dari kalimat wa liya diin merupakan susunan yang indah dan sempurna, seolah-olah dikatakan kepada mereka,”ini adalah bagianmu yang kalian inginkan yang kalian anggap paling baik untuk didahulukan. Didahulukannya dhamir lakum dan liya dari kata din juga mengandung makna mendala yaitu berfungsi sebagai pengkhususan yaitu bahwa masing-masing agama biarlah berdiri sendiri dan tidak perlu dicampur baurkan. Tidak perlu mengajak untuk menyembah sembahan pihak agama lain.

Demikian kehebatan rahasia bahasa pada surat al Kafirun dari berbagai sumber.

Semoga Bermanfaat

Wassalam

Referensi

·         Ensiklopedia Mujizat Al Qur’an dan Hadits, Kemujizatan Sastra dan Bahasa Al Qur’an, Hisham Thalbah dkk.

·         Tafsir al Mishbah, Quraisy Shihab, jilid 15

 

Serpong, Selasa 28 April 2020/5 Ramadhan 1441 H, 07.15

#KolaborasiZaiNovi

#ProyekRamadhanAlZayyan1441H

#AlZayyanHari5

#Karya7TahunPernikahan

#SerunyaBelajarBahasaArab

No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit