Sunday, April 26, 2020

HARI 3 : SEJARAH ILMU BALAGHAH


Pembahasan tentang sejarah balaghah menurut Amin al-Khuli mencakup 3 aspek yaitu (1) sejarah tentang materi balaghah dan ketentuan-ketentuannya, meliputi masalah awal kemunculan, tahapan perkembangan, dan bagaimana ilmu ini pada akhirnya; (2) Kajian tentang tokoh-tokoh ilmu balaghah; (3) Kajian tentang khazanah tulisan atau karangan dalam ilmu balghah. Ketiga hal diatas saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.

Menurut Prof Hidayat dalam bukunya “Balaghah untuk Semua”, sejarah mencatat bahwa perkembangan balaghah sebagai satu bidang kajian bahasa Arab, tidak dapat dipisahkan dari kajian kemujizatan Al-Qur’an (الإعجاز القراني ), yang dimulai dengan lahirnya kitab bernama Majaz Al-Qur’an (مجاز القران ) karya Abu Ubaidah Mu’ammar bin al-Mutsanna. Ialah yang pertama kali secara khusus mengkaji balaghah, yang kemudian diikuti oleh yang lainnya. Kitab ini mengkaji Ilmu Bayan yang merupakan bagian dari ilmu balaghah.

Sementara penyusun kitab tentang ilmu badi’  pada masa awal, yang dianggap sebagai pelopor adalah Abdullah bin al-Mu’taz dan Qudamah bin Jafar dengan Naqd asy-Syi’r  dan Naqd an-Natsr. Untuk ilmu ma’ani, tidak diketahui pasti orang pertama kali yang menyusun tentang ilmu tersebut namun yang sering menjadi pembicaraan adalah al Jahizh dalam Ijaz Al-Qur’an (الإعجاز القراني ),

Setelah kemunculannya di masa awal, para ulama berikutnya saling melengkapi dan menambahi khazanah ilmu ini hingga hadirlah seorang pakar balaghah yaitu Abu Bakar Abdul Qahir Al-Jurjuniy yang mengarang kitab tentang ilmu Ma’ani dengan judul Dalail al-Ijaz (دلائل الإعجاز) dan tentang ilmu bayan dengan judul Asrarul Balaghah (أسرار البلاغة). Kemudian setelahnya, hadirlah Abu Yaqub Sirajuddin Yusuf As Sakakiy al-Khawarizmi dengan kitabnya yang membahas tentang ilmu balaghah lebih lengkap daripada yang lainnya yang berjudul Miftah al Ulum (مفتاح العلوم). As Sakakiy mendapat sambutan luar biasa, tidak sedikit ulama yang membuat ringkasan atau syarh dari kitab al Miftah seperti Ibnu Malik dalam al-Mishbah (المصباج) & Khatib al-Khizwini dalam 2 karyanya yaitu Talkhish al-Miftah (تلخيص المفتاح) dan Syarh al-Idhah (شرح الإيضاح).

Namun menurut para ahli balaghah kontemporer, buku-buku balaghah ala As-Sakaki yang sarat dengan qawaid , definisi dan klasifikasi itu telah membuat balaghah menjadi kering, kehilangan rasa seni dan keindahannya sehingga penghayatan akan balaghah yang seharusnya menjadi tujuan utama pembelajaran, umumnya tidak tersentuh, karena perhatian terfokus pada hafalan, tanpa disertai amtsilah & tamrinat (latihan) yang memadai. Hal inilah yang mendorong timbulnya pembaharuan dalam pembelajaran balaghah pada paruh pertama abad XX di Mesir.


Dalam karya tulisnya, Imam Matin menulis Perkembangan Ilmu Balaghah ada 4 fase yaitu    

      1. Balaghah pada masa Pra-kodifikasi

Secara historis ilmu balaghah muncul beberapa abad terakhir ini. Sebelum ilmu ini muncul, sebenarnya orang-orang Arab memang tabiatnya ahli dalam berbahasa, menyusun prosa, syair. Puncak kehebatan mereka adalah kelihaian berbahasa, maka ilmu yang membahas tentang ketepatan dan keindahan berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah bermunculan menghiasi perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Qur’an turun.

Setelah Al-Qur’an turun, para pakar bahasa pun mulai mengkaji bahasa Al-Qur’an. Mereka menghadapkan Al-Qur’an dengan pengetahuan mereka tentang keindahan berbahasa. Dari sinilah benih-benih ilmu balaghah mulai berkembang. Pada perkembangan selanjutnya, interaksi orang Arab dengan non Arab memandang perlu menyusun sebuah ilmu pengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Hal ini karena orang-orang non Arab tidak dapat mengetahui keindahan bahasa Arab kecuali jika terdapat kaidah atau pembanding.

 

      2.      Fase Kritik Sastra

Sebelum balaghah dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu yang kita kenal, balaghah telah melalui sejaran yang cukup panjang. Menurut Tamam Hasan, Balaghah telah melalui dua fase yaitu fase pertama, balaghah bisa dikatakan lebih mirip dengan kritik sastra. Sedang pada fase kedua, balaghah menjadi lebih mirip dengan uslubiyat atau stilistik. Atau bisa juga disebut dengan madrasah adabiyah (madzhab sastra) dan madrasah kalamiyah (madzhab ilmu kalam). Sedangkan Imam Suyuthi menamakannya dengan thariqatul ‘arab al-bulagha’ dan ‘thariqatul ‘ajam wa ahlu al-falsafah’.

Pembahasan balaghah untuk pertama kalinya lahir, bukan di tangan para ulama Nahwu, akan tetapi di tangan para ulama bahasa. Pada awalnya, pembahasan balaghah ini hanya bermuaran pada penelitian untuk mengidentifikasi mana komunitas atau kabilah yang fushaha atau ahli fashahah dan mana yang bukan. Kemudian setelah mereka dapat memilah antara komunitas yang fushaha dan kelompok yang tidak dianggap fushaha, mereka mulai mencatat atau meriwayatkan warisan sastra dari selain mereka. Fase ini ditandai dengan lahirnya karya Abu Ubaidah yaitu kitab Majaz Al-Quran dan karya al-Jahidz yaitu al Bayan wa at Tabyin dan Ijaz Al Qur’an. Al-Jahidz dalam kitab al Bayan wa at Tabyin telah memakai istilah balaghah dan bayan. Akan tetapi kedua istilah yang digunakan oleh Jahidz tersebut belum mempunyai definisi yang jelas dan detail. Jahidz hanya memaknai balaghah sebagaimana dimaknai oleh al-Ataby bahwa balaghah adalah kemampuan untuk memahamkan seseorang apa yang kita inginkan tanpa menggunakan alat lain selain bahasa. Istilah bayan juga belum dijelaskan secara detail.


Kemudian Abdul Qahir al Jurjani muncul pada abad ke 5 H dengan dua karyanya yang fenomenal yaitu al asrar al balaghah dan dalail al-ijaz. Abdul Qadir menemukan teori tentang kalam nafsy (perkataan di dalam hati/akal yang tidak atau belum diucapkan) yang akhirnya berkembang menjadi 4 unsur teori yaitu an nadzam (susunan), al bina (bangunan), at tartib (urutan) dan at ta’liq (kaitan).

Dalam dalail al-i’jaz, al-Jurjany berpendapat bahwa kata tidaklah diciptakan untuk memberikan makna dengan sendirinya akan tetapi antara kata-kata itu harus bersambung dan tersusun sehingga dapat memberikan sebuah arti atau informasi yang dapat dimengerti. Dan dalam asrar al balaghah, ia mengungkapkan bahwa yang terpenting bagi seorang penutur bahasa, adalah ungkapan yang jelas, isyarat yang benar, pembagian yang tepat, susunan struktur yang bagus, cara tasybih dan tamtsil yang inovatif dan kreatif, ungkapan yang umum lalu berpindah pada yang lebih detail, menyambung dan memisahkan pada tempatnya yang benar, dan menggunakan hadzf, ta;kid, taqdim, takhir dengan memenuhi syarat-syaratnya.

Jenis balaghah inilah yang kita sebut dengan balaghah sebagai ilmu pengetahuan, bukan disipilin ilmu, balaghah yang lebih mengfokuskan pada eksplorasi dan praktik ketimbang berkutat seputar teori dan kaidah-kaidah.

 

      3.  Fase Uslubiyyat (stilistika)

Pada masa yang sama, dimana balaghah sebagai ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang, muncul juga pembahasan balaghah dikalangan ulama yang lain dengan orientasi yang berbeda yaitu pada abad 5 H, Qudamah bin Ja’far mengeluarkan sebuah karya dalam kritik sastra yaitu Naqd Qudamah. Dalam kitabnya, ia melengkapi jenis-jenis badi’ yang digagas oleh Ibnu Mu’taz menjadi 30 jenis. Pembagian yang dilakukan masih bersifat formal lalu kemudian orang-orang yang datang setelahnya menyempurnakan pembagian itu dengan membuatkan kaidah dan aturan.

Setelahnya, datanglah Abu Hilal al-askary yang menyusun kitab ash-shina’atain. Ia membahas seputar fashahah dan balaghah dan mengumpulkan 35 jenis badi’. Setelah itu, muncullah Fakhruddin ar Razy, yang menyusun kitab Nihayatul Ijaz fi dirayatil ijaz. Ia memberikan sumbangsih besar dalam perkembangan balaghah sebagai madrasah kalamiyyah (aliran ilmu kalam’filsafat). Karya abu Hilal dan ar Razy lah yang mengilhami as Sakaky yang hidup pada awal abah 7 H membahas sharf, nahwu & balaghah yang terdiri dari ma’any, bayan & badi’ dalam kitab miftah al ‘ulum. As-Sakaky tampak berlebihan dalam merancang definisi-definisi dan kaidah-kaidah dalam balaghah yang akhirnya membuat balaghah menjadi sangat jauh dari makna penghayatan cita rasa dan kritik teks.

 

       4.      Fase kejumudan ilmu balaghah

Fase ini ditandai dengan munculnya berbagai ringkasan seputar kitab as-Sakaky. Para penulis ilmu balaghah setelahnya tidak memberikan sumbangsih hal yang baru dalam ilmu balaghah, semuanya hanya mengikuti metode dan pembagian as-Sakaky saja, penambahan dan pengurangan hanya pada contoh-cpktoh, penjelasan dan penyederhanaan.

Akhirnya pada fase ini, para pembelajar balaghah asyik tenggelam dalam kaidah-kaidah, dan balaghah tidak lagi menjadi sebuah sarana untuk mengapresiasi keindahan sastra, walapun balaghah tetaplah menjadi unsur pembahasan yang penting dalam ilu linguistik modern.

Demikianlah sejarah ilmu balaghah yang dirangkum dari berbagai sumber.

Referensi:

1.      Balaghah untuk Semua, Prof. Hidayat

2.      Sejarah Balaghah, Imam Matin, UIN Jakarta

3.      www.taufiq.net

 

Semoga Bermanfaat

Wassalam

Serpong, Ahad 26 April 2020/3 Ramadhan 1441 H, 14.00

#KolaborasiZaiNovi

#ProyekRamadhanAlZayyan1441H

#AlZayyanHari3

#Karya7TahunPernikahan

#SerunyaBelajarBahasaArab

No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit