Wednesday, December 3, 2008

TAARUF KEENAM: TERNODANYA PERSAHABATAN

Tidak mudah menceritakan ini, sepertinya ini proses yang paling menyita fikiran dan hati, melelahkan sekali ...

Kami bersahabat di Bandung sejak tahun 2006, sebut saja namanya Didi. Tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami. Karena aku berprinsip selama koridornya persahabatan, aku tidak akan pernah menodai indahnya sebuah persahabatan dengan adanya relasi yang lebih. Aku bahkan pernah menawarkan teman kerjaku kepada Didi, dan mereka pun sempat bertaaruf, bahkan mereka bertemu pertama kalinya di tempat kakaku di tangerang. Didi pun pernah bersilaturahmi ke rumah teman kerjaku itu. Entah apa sebabnya proses mereka tidak berlanjut.

Hingga, setelah aku menunaikan ibadah haji, tak terasa teman-teman dan sahabatku satu persatu meninggalkan masa lajangnya. Aku dan Didi, entah kenapa belum diamanahi pasangan. Kami pun berkomunikasi lagi setelah sekian lama kehilangan kabar. Dan di bulan maret 2006, tepatnya tanggal 22 maret 2006, entah gimana awalnya, tiba-tiba kami ”terjerumus” jadi membicarakan masalah pernikahan. Aku minta dicarikan temannya, dia malah menyatakan dia juga lagi nyari, ya sudahlah akhirnya kami berisitikharah selama seminggu untuk memutuskan taaruf ga yah?? Khawatir kalau ini hanya tipudaya setan saja.

Dan di akhir maret 2006 kami memutuskan untuk saling kirim data kembali, karena walaupun kami sudah bersahabat selama 10 tahun, kami tetap saja tidak saling mengenal pribadi masing-masing.

Tapi, kabar duka itu pun datang juga. Setelah sepakat untuk saling berkirim data kembali via email, dengan berbagai alasan Didi pun menunda-nunda, alasannya cukup bisa diterima sich, sibuk kerja ... hingga di bulan april 2006, saat kukirim sms menanyakan kabar, tak ada balasan.



Di sela-sela proses ini, di tanggal 17 april 2006, teman kerja ku di serpong menawarkan saudaranya, wah rasanya penat sekali, aku merasa proses dengan sahabatku ini ga jelas, belum dimulai memang, tapi juga sepertinya belum berakhir. Maka aku pun dengan halus menolak tawaran dari teman kerjaku. Aku pengen menyelesaikan satu persatu.

Akhirnya aku pun menulis sebuah tulisan di sebuah milis, yg juga diikuti Didi. BERHASIL. Dia pun merespon dengan mengirim sms, meminta maaf atas semua yang terjadi. Aku pun menyimpulkan bahwa memang itulah cara laki-laki menyelesaikan masalahnya, yaitu dengan menghindar. Mungkin takut menyakiti, tapi sebenarnya lebih tersakiti jika diberi ketidakjelasan. Belakangan kemudian aku tahu bahwa sebenarnya dia sedang berproses dengan yang lain. Mungkin memang bukan yang terbaik, tapi ternyata berproses dengan sahabat itu lebih menyakitkan, karena relasi sebelumnya yang sudah terjalin indah sebagai seorang sahabat, ternyata tidak bisa dikembalikan seperti sediakala. Ada yang sudah ternoda dan susah dibersihkan ...

Di bulan juni 2006, kami bertemu, dia datang ke tempatku untuk meminjam handycam. Di bulan juli 2006, terungkap juga dari Didi alasan dia menghilang di bulan april, katanya dia tidak cukup pede untuk berproses denganku, tapi sepertinya itu alasan sekunder. Alasan primernya ternyata adalah karena dia sedang dalam proses pending dengan akhwat tarbiyah. Bulan agustus 2006, bersama seorang teman, kami melakukan sebuah perjalanan untuk merencanakan bisnis bersama. Sepulang dari perjalanan bersama, dia memberiku sebuah harapan. Harapan untuk kembali bersama, tapi ternyata itu pun dia ungkapkan saat dia berproses dengan akhwat lain, yang sudah direstui ibunya.

Didi bimbang. Satu sisi, dia lebih mengenalku dibanding akhwat itu, sisi lain proses dengan akhwat itu sudah melangkah terlalu jauh. Aku memang kecewa saat tahu bahwa ketika dia berniat berproses denganku dan tiba-tiba menghilang di bulan april 2006, sebenarnya itu dalam tahap pending proses dengan sang akhwat tarbiyah. Kenapa yah laki-laki yang seperti Didi ini tidak kuasa memberikan ketegasan? Jika memang sedang berproses dengan seorang wanita, berhentilah untuk memberikan perhatian dan harapan pada wanita lain. Jika takut menyakiti, sebenarnya lebih tersakiti lagi jika berpura-pura memberikan perhatian untuk menutupi keadaan yang sesungguhnya.

Untuk menjaga berbagai hal, rencana berbisnis bareng pun kuhentikan. Ada satu aib Didi yang tidak perlu kuungkap disini, yang belakangan kusadari inilah hikmahnya aku tidak jadi menikah dengan Didi. Tidak jadi menikah dengan Didi, karena beberapa bulan kemudian, Didi menikah dengan sang akhwat tarbiyah. Di hari pernikahannya dia meminta maaf dan sengaja tidak mengundangku. Entah apa sebab nya ...

Dan life must go on, tidak mudah memang melanjutkan hidup setelah persahabatan ternodai, setelah merasa berkali-kali dikhianati, tapi terus akan kucoba dan kucoba. Sepertinya aku merasa lelah sekali ...

No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit