Friday, August 15, 2008

TAARUF PERDANA: TIDAK SEKUFU

"Nge, tolong siapkan biodata lengkap, ada yang mau taaruf"
Begitulah Roz, teman kerjaku suatu saat mengagetkanku.

Roz, adalah seorang wanita cantik, keturunan Padang. Kami berkenalan di tempat kerja kami di sebuah sekolah di Tangerang. Waktu itu kami menjalani tes tertulis bersama-sama dan alhamdulillah dinyatakan lulus. Setelah bekerja, kami menjadi bertambah dekat sehingga kami sering berbagi cerita sampai hal-hal yang rahasia sekalipun. Puncaknya kalimat itulah yang menandakan kedekatan kami, dia bermaksud mencarikanku seorang (calon) suami, padahal dia sendiri belum menikah.


"Roz, kenapa sih ngga kamu aja yang duluan taaruf?"
"Inge, setiap orang akan menjalani proses yang berbeda. Kebetulan sekarang aku lagi sibuk banget, jadi ketika temanku Fauzi menawarkan temannya, aku langsung inget kamu"
Akhirnya setelah lelah bertengkar, aku menyerah. Segera kukarang biodata dan segala hal tentangku, karena ini adalah taaruf pertamaku. Ternyata mengarang tentang diri sendiri lebih sulit dari yang kubayangkan, karena selain tentang riwayat pendidikan, kuungkap juga tentang pengalaman spiritual dari berbagai kelompok pengajian, tentang kekurangan dan kelebihanku, juga tentang visi hidupku ke depan. Setelah selesai, kumasukkan ke dalam amplop "bismillah, ya Allah andai ini adalah proses darimu untuk mendapatkan pasanganku, biarkan aku menjalaninya dengan ikhlas".

Pagi-pagi sekali aku menyerahkan amplop itu kepada Roz. Aku tidak tahu dengan siapa aku akan bertaaruf, bahkan aku tak tahu sosok seperti apa Fauzi itu. Biarkan Roz yang mengurusnya, ujarku dalam hati.

Dua hari kemudian Roz menyerahkan biodata sang ikhwan, dengan foto tentunya. Namanya Fakhri, lulusan sebuah SMA di Jakarta, bekerja di sebuah bank Islam, suku asli Betawi, usianya terpaut 3 tahun diatasku dan sekarang berdomisili di Depok. Pengalaman spiritualnya dalam mencari kebenaran berliku-liku juga, diantaranya pernah ikut NII hingga akhirnya sekarang ikut sebuah kelompok pengajian yang menurutnya sesuai dengan hati nuraninya. Visi hidupnya tidak terlalu jelas, tapi beliau mempunyai keinginan kuat untuk melanjutkan kuliah di bidang ekonomi Islam.

Lama sekali aku terpaku pada biodata itu, inikah orangnya Rab yang Engkau janjikan akan mendampingiku selama sisa hidupku? Kadang ada keraguan dalam hatiku berkaitan dengan perbedaan tingkat pendidikan, bisakah kami menyatukan pola pemikiran kami? Tapi segera kutepis bisikan setan tersebut, mencoba berpikiran positif bahwa Allah pasti memiliki tujuan dengan taaruf ini, tidak pernah Allah melakukan sesuatu secara kebetulan.

Setelah kupelajari biodata sang ikhwan, ternyata banyak hal yang belum terungkap. Akhirnya kuhubungi Fauzi, mengusulkan agar kami diizinkan untuk berdisukusi tentang segala hal, kukatakan bahwa aku ingin mengetahui pola pemikirannya.

Esoknya Fauzi mengatakan, "Nge, ikhwannya bilang agar lebih terjaga, tulis aja pertanyaannya nanti dibalas via fax".

"tapi zi, aku kan pengen tau respon dia ketika menjawab pertanyaanku, spontanitasnya tentang segala hal yang perlu dibicarakan" bantahku.

"Inge, hargailah keinginannya untuk menjaga kebersihan proses ini, bantulah dia" jelas Fauzi.
"oke bos, I try".ujarku menyerah

Sebenarnya aku sendiri mempertanyakan konsep hijab dalam taaruf, benarkah untuk sebuah proses taaruf, diskusi via telfon dilarang dengan alasan menjaga kebersihan hati? Lantas darimana kita tahu pola fikir dan sistematika pemikirannya? Tapi segera kutepis keraguan itu. Mungkin inilah taaruf yang "bersih", fikirku.

Akhirnya kukirimkan daftar pertanyaanku, tentang kelompok-kelompok dalam Islam , tentang relasi pria wanita, konsep rumah tangga ideal juga tentang visi hidupnya 10 tahun ke depan.
Aku ingat kami melakukan diskusi via tulisan itu pada hari ketujuh taarufku. Aku memang rajin menuliskan perkembangan segala hal dalam buku harianku, apalagi ini tentang salah satu proses terpenting dalam hidupku.
Pada hari itu juga, Fauzi mengirimkan sms bahwa sang ikhwan sudah siap dengan jawaban atas segala pertanyaanku, dan Fauzi menanyakan nomor faxku agar aku bisa mempelajarinya dengan cepat.
Setelah kuterima, kami terus melakukan diskusi hingga hari ke-9 taaruf kami, tentu saja melalui Fauzi, karena sang ikhwan tidak ingin berinteraksi secara langsung dengan akhwat dengan alasan ingin menjaga hati.
Terus terang pola komunikasi seperti ini sebenarnya kurang sreg buatku, aku jadi tidak tahu responnya langsung ketika menjawab pertanyaan, spontanitasnya dll. Tapi aku juga sangat menghargai prinsip sang ikhwan. perbedaan-perbedaan ini sudah mulai kurasakan sebagai kendala. Tapi aku tetap menyerahkan keputusan pada sang ikhwan.
Tiba saatnya untuk memutuskan, sang ikhwan menitipkan jawabannya dengan sepucuk surat yang diberikan kepada Fauzi. Saat bertemu Fauzi, dia menyuruhku untuk membaca surat dari sang ikhwan, di depannya dan aku harus memberikan respon langsung atas keputusan sang ikhwan. Intinya, ikhwan tersebut tidak melanjutkan proses kami dengan alas an tidak sekufu. Versi sang ikhwan, kami tidak sekufu dalam segalanya, dari pendidikan, pemahaman agama, strata sosial, bahkan beliau juga mengungkit2 masalah fisik saya yang tidak sesuai dengan kriteria idealnya.

Saya yakin inilah keputusan terbaik. Sejuta alasan bisa dibuat, intinya Allah sedang mempersiapkan orang terbaik untuk saya. Amin

Memory 2003, first taaruf (210803-070903)

1 comment:

Postingan Favorit