Apa rasanya jika jika tak dianggap oleh
teman-teman kita? Bagaimana perasaan kita jika kita merasa terbuang dalam
keluarga, hingga akhirnya terdampar dalam sebuah sekolah berasrama? Bagaimana
pendapatmu jika saat ulangan dan teman kita memanggil untuk menanyakan jawaban,
kita diam saja, dan mereka mengatakan bahwa kita “pelit’? Apakah kita akan
diterima dengan baik oleh teman-teman kita??
Saya menghabiskan masa remaja SMP dan SMA
di dua sekolah yang sangat kontras. SMP saya habiskan di sebuah pesantren di
kawasan Balaraja Tangerang, dan SMA saya habiskan di sebuah SMA swasta di
Tasikmalaya. Pesantren yang mayoritas santrinya sangat religius, sementara SMA
swasta, mayoritas siswanya gaul, kadang shalat juga jarang, bahkan setiap pagi
saat masuk sekolah, ada saja yang matanya merah abis ngedugem atau sekedar
merokok.
Dari kedua situasi yang kontras ini, apa
yang saya takutkan? Takut akan sebuah penolakan. Takut ditolak berteman, takut
ditolak bergabung dalam sebuah “geng” dan di keluarga pun, akibat pola asuh
yang tidak sehat, saya jadi takut tidak diterima sebagai anak yang baik. Saya tumbuh
menjadi remaja yang introvert, tidak kreatif dan serba takut dalam melakukan
sesuatu.
Saat SMP, saya merasa dibuang oleh kedua
orangtua saya karena mereka memasukkan saya ke pesantren. Apalagi, saya pertama
kali mendapat haid juga di pesantren ini, tak ada orangtua, tak ada guru, yang ada
hanya teman-teman yang bisa saya tanya gimana menghadapi haid pertama. Rasanya merasa
sedih dan tersisih sekali sendirian mengatasi masa balig saya. Tak mudah juga
untuk adaptasi karena baru lulus SD, tiba-tiba masuk pesantren dan orangtua
jauh di Tasik sana, tapi kelak saya bersyukur pernah sekolah di pesantren
karena ini banyak membentuk karakter positif saya di masa depan.
Awalnya saya takut untuk mendekati teman,
karena takut ditolak, takut teman-teman ga suka dengan karakter saya dan
lain-lain. Saya berusaha untuk berprestasi di pesantren ini, dan alhamdulillah
peringkat paralel pun didapat. Selain itu, saya juga berusaha aktiff mendekati
dan bergaul dengan teman-teman saya. Seiring berlalunya waktu, saya pun
diterima dengan baik oleh teman-teman SMP saya. Bahkan kami sempat jalan-jalan
saat liburan, bareng-bareng ke luar kota saat usia kami baru 15 tahun. Menyenangkan sekali...
Menginjak SMA, saya kaget sekali dengan
pergaulan di SMA ini. Antar teman begitu bebas, laki-laki perempuan tak ada
batas, berteman tapi boleh bersentuhan, apalagi di kelas saya, ada beberapa
pasang yang pacaran, makin lah saya merasa takut ditolak oleh teman-teman saya.
Saat itu, saya masih sendiri yang memakai jilbab. Saat itu, jilbab belum
seheboh sekarang. Dulu jilbab adalah simbol keberagamaan, bukan trend. Saya harus
berjuang keras menjaga diri saya dari pergaulan bebas sekitar teman SMA saya,
dengan ketakutan akan ditolak oleh lingkungan sekitar.
Remaja adalah saat mencari eksistensi diri,
konon begitulah buku-buku psikologi berujar. Satu sisi ada benarnya, karena saat
itu saya suka bingung memilih, antara mengikuti teman yang mengajak bolos
ataukah taat pada aturan sekolah untuk tetap belajar di kelas. Memang serunya
itu jika kompak dengan teman-teman, baik dalam hal yang salah maupun hal yang
benar. Itulah yang saya rasakan saat remaja. Bahkan saat ujian, saya berusaha
untuk jujur, tidak mencontek dan tidak memberikan contekan, itu saja sudah
dicap “pelit” sama teman-teman saya. Tapi saya tidak mentolerir sebuah
kebohongan, termasuk mencontek. Maka untuk hal yang satu ini, saya berani
berbeda dengan teman-teman yang hobi sekali bekerja sama saat ulangan.
Tapi lama lama, teman-teman memahami
prinsip saya dan menghormatinya. Dalam keseharian, saya tetap berbuat baik,
berbagi ilmu saat belajar, tapi mereka tau saat ujian, jangan pernah
mengharapkan saya akan menoleh jika mereka panggil untuk minta bocoran jawaban.
Ternyata, kunci untuk sebuah penerimaan
adalah prestasi dan kebaikan. Saya mencoba membanggakan nama kelas, nama
angkatan, dengan sebuah prestasi. Saya ingat saat itu, ada lomba cerdas cermat
keagamaan, saya bisa menang telak mengalahkan kelas lain, karena ilmu dari
pesantren sangat bermanfaat. Karena saya sadari diri tak bisa membanggakan
kelas di bidang seni dan olahraga seperti teman-teman lain, saya berusaha
mengisinya di bidang yang saya bisa dan kuasai. Alhamdulillah perlahan-lahan,
saya diterima dengan baik. Teman-teman mau bergaul dengan saya, bahkan beberapa
laki-laki ada yang menjadi sahabat saya dan saling curhat tentang berbagai
masalah.
Hal lainnya yang coba saya lakukan adalah
berbuat baik. Akhlak atau perilaku memang selalu mengagumkan bagi siapapun. Orang
selalu senang pada yang perilakunya baik, karena itu fithrah manusia. Tentu saya
juga belum sempurna perilakunya saat itu, tapi saat ada teman yang membutuhkan
bantuan, sebisa mungkin saya yang mengulurkan tangan untuk menolong. Selama bukan
untuk kejahatan, sah sah saja kita membantu teman, bahkan harus kan??
Ternyata dua hal itulah, setelah saya
renungkan, menjadi obat bagi ketakutan saya. Takut ditolak itu memang hal yang
menyakitkan. Saya tumbuh menjadi pribadi yang minder, tidak percaya diri, tidak
aktif di OSIS karena ketakutan-ketakutan akan sebuah penolakan. Tapi saya bisa
mengatasi ini dengan dua hal tadi yaitu prestasi dan perilaku. Efeknya apa? Ternyata
di akhir kelas 3 SMA, banyak teman-teman perempuan saya yang memutuskan
berjilbab, uh rasanya seneng banget. Dan ga nyangka, di sebuah SMA swasta,
istilahnya buangan bagi yang tidak lulus negeri, ternyata saat meninggalkan
bangku SMA, malah berjilbab. Tak mudah lho untuk berjilbab saat itu, tantangan
dari keluarga, masyarakat dan teman-teman sendiri, kadang bisa menggoyahkan
niat untuk berjilbab. Saya salut juga pada teman-teman yang berhasil mengatasi
itu dan bersama-sama berjuang menaklukkan rasa takut akan sebuah penolakan. Ternyata
bisa ko, yeahh...
Kamis, 18 Mei 2017, 14.20
#30DayWritingChallenge
#day1
No comments:
Post a Comment