Thursday, March 23, 2017

Bali, Ketika Islam Menjadi Minoritas


Pada hari Jumat-Ahad, tanggal 17-19 Maret 2017, saya ditugaskan dinas ke Bali untuk seleksi siswa baru di sekolah tempat saya bekerja. Bersama teman saya yang ditugaskan ke Yogyakarta, saya naik taxi ke bandara dari rumah pukul 04.30. Ternyata jalanan sangat lancar, kami tiba di bandara pukul 05.30. Saya sangat menikmati sekali perjalanan dinas kali ini. Setelah menikah sampai Eza lahir hingga usia 3 tahun, rasanya baru kali ini saya menginjakkan kaki di bandara lagi. Agak-agak kaget dengan suasana bandara, masih bingung dengan terminal mana kami harus berhenti. Setelah tanya tanya, akhirnya nyampe juga di gate, langsung deh sholat subuh.

Pesawat berangkat pukul 07.30 WIB, nyampe di Bali pukul 10.30 WITA. Karena bingung alamat kantor kanwil dan panitia daerah masih rapat, akhirnya saya makan dulu. Pilihan menu jatuh pada gado-gado dan kopi Bali. Pengen nyoba aroma kopi Bali seperti apa. Ternyata biasa saja hehe. Setelah itu, saya menuju lokasi tes dengan menggunakan ojeg dengan mengeluarkan 70.000 rupiah saja. Ini karena saat ditawarkan taxi, saya kaget juga dengan harganya, sekitar 200.000. Akhirnya saya memilih menggunakan ojeg, alhamdulillah jalanan lancar dan sampai di lokasi pukul 12 siang.
Setelah bertemu pihak panitia, dan menyiapkan perangkat tes untuk besok, saya pun check ini di Hotel Grand Shanti. Saya akan bermalam disini selama 2 malam, dengan tarif 500.000 per malam. 

Tak lama kemudian, salah satu alumni IC pun datang. Mahasiswi fakultas kedokteran ini asli Solo tapi memilih kuliah di Bali setelah beberapa tahun lalu, menyaksikan ibunya sakit. Sore itu kami habiskan berjam jam untuk saling cerita dan sharing berbagai hal.


Ia pun menceritakan berbagai peristiwa yang dialaminya selama di Bali. Kuliah di fakultas kedokteran dimana mayoritas teman teman kuliahnya non muslim, baik yang asli Bali maupun keturunan Cina. Ia menyatakan bahwa pergaulan remaja dan mahasiswa disana sangat bebas, bahkan Bali menjadi kota dengan pengidap virus HIV paling tinggi diantara daerah lain. Konon katanya remaja dan mahasiswa yang pacaran disana, sebagian besar sudah berhubungan intim layaknya suami istri. Jika sang wanita hamil, baru dinikahin. Jika tidak hamil, ya mencoba lagi wanita lain. Menyeramkan sekali ya...

Lalu, ia dan teman temannya yang muslim sempat mengajukan permohonan diadakannya mushola di kampus. Mereka bermimpi suasana kampus seperti UNS Solo, dimana berbagai jenis tempat ibadah, semuanya berdiri dengan megah dan damai. Sementara di kampus Universitas Udayana, tak satu pun ada masjid. Jika para lelaki akan melaksanakan sholat Jumat, mereka harus jalan menuju masjid di kawasan komplek TNI yang untungnya berdekatan lokasinya dengan kampus. Tapi permohonan pembangunan masjid itu ditolak pihak kampus, padahal para aktivis mahasiswa muslim ini sudah mengantongi rekomendasi dari lembaga nasional yang menangani hal tersebut. Serasa hidup di negara mana gitu ya, seperti bukan di Indonesia.

Berikutnya, ia pun menceritakan pengalaman kakaknya saat praktek di rumah sakit. Setelah peristiwa bom bali yang menimbulkan efek islamophobia, para mahasiswa kedokteran yang akan mendampingi dokter senior di ruang operasi, dilarang menggunakan jilbab dengan alasan strelisasi. Beberapa mahasiswa muslim disana masih berjuang untuk mendapatkan hak nya sebagai umat beragama. Semoga dimudahkan dan toleransi antar umat beragama bisa terwujud seperti yang terjadi di daerah lain, dimana umat Islam menjadi umat mayoritas. Isu isu terorisme yag mengkambing hitamkan umat muslim, semoga tidak menjadi alasan untuk mengabaikan hak setiap umat beragama untuk beribadah sesuai agama nya masing-masing.

Semoga Bermanfaat

Kamis, 230317.09.50

#odopfor99days#part2#day41

No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit