Pada hari Jumat-Ahad, tanggal 17-19
Maret 2017, saya ditugaskan dinas ke Bali untuk seleksi siswa baru di sekolah
tempat saya bekerja. Bersama teman saya yang ditugaskan ke Yogyakarta, saya
naik taxi ke bandara dari rumah pukul 04.30. Ternyata jalanan sangat lancar,
kami tiba di bandara pukul 05.30. Saya sangat menikmati sekali perjalanan dinas
kali ini. Setelah menikah sampai Eza lahir hingga usia 3 tahun, rasanya baru
kali ini saya menginjakkan kaki di bandara lagi. Agak-agak kaget dengan suasana
bandara, masih bingung dengan terminal mana kami harus berhenti. Setelah tanya
tanya, akhirnya nyampe juga di gate, langsung deh sholat subuh.
Pesawat berangkat pukul 07.30 WIB,
nyampe di Bali pukul 10.30 WITA. Karena bingung alamat kantor kanwil dan
panitia daerah masih rapat, akhirnya saya makan dulu. Pilihan menu jatuh pada
gado-gado dan kopi Bali. Pengen nyoba aroma kopi Bali seperti apa. Ternyata
biasa saja hehe. Setelah itu, saya menuju lokasi tes dengan menggunakan ojeg
dengan mengeluarkan 70.000 rupiah saja. Ini karena saat ditawarkan taxi, saya
kaget juga dengan harganya, sekitar 200.000. Akhirnya saya memilih menggunakan
ojeg, alhamdulillah jalanan lancar dan sampai di lokasi pukul 12 siang.
Setelah bertemu pihak panitia, dan
menyiapkan perangkat tes untuk besok, saya pun check ini di Hotel Grand Shanti.
Saya akan bermalam disini selama 2 malam, dengan tarif 500.000 per malam.
Tak
lama kemudian, salah satu alumni IC pun datang. Mahasiswi fakultas kedokteran
ini asli Solo tapi memilih kuliah di Bali setelah beberapa tahun lalu,
menyaksikan ibunya sakit. Sore itu kami habiskan berjam jam untuk saling cerita
dan sharing berbagai hal.
Ia pun menceritakan berbagai
peristiwa yang dialaminya selama di Bali. Kuliah di fakultas kedokteran dimana
mayoritas teman teman kuliahnya non muslim, baik yang asli Bali maupun
keturunan Cina. Ia menyatakan bahwa pergaulan remaja dan mahasiswa disana
sangat bebas, bahkan Bali menjadi kota dengan pengidap virus HIV paling tinggi
diantara daerah lain. Konon katanya remaja dan mahasiswa yang pacaran disana,
sebagian besar sudah berhubungan intim layaknya suami istri. Jika sang wanita
hamil, baru dinikahin. Jika tidak hamil, ya mencoba lagi wanita lain. Menyeramkan
sekali ya...
Lalu, ia dan teman temannya yang
muslim sempat mengajukan permohonan diadakannya mushola di kampus. Mereka bermimpi
suasana kampus seperti UNS Solo, dimana berbagai jenis tempat ibadah, semuanya
berdiri dengan megah dan damai. Sementara di kampus Universitas Udayana, tak
satu pun ada masjid. Jika para lelaki akan melaksanakan sholat Jumat, mereka
harus jalan menuju masjid di kawasan komplek TNI yang untungnya berdekatan
lokasinya dengan kampus. Tapi permohonan pembangunan masjid itu ditolak pihak
kampus, padahal para aktivis mahasiswa muslim ini sudah mengantongi rekomendasi
dari lembaga nasional yang menangani hal tersebut. Serasa hidup di negara mana
gitu ya, seperti bukan di Indonesia.
Berikutnya, ia pun menceritakan
pengalaman kakaknya saat praktek di rumah sakit. Setelah peristiwa bom bali
yang menimbulkan efek islamophobia, para mahasiswa kedokteran yang akan
mendampingi dokter senior di ruang operasi, dilarang menggunakan jilbab dengan
alasan strelisasi. Beberapa mahasiswa muslim disana masih berjuang untuk
mendapatkan hak nya sebagai umat beragama. Semoga dimudahkan dan toleransi antar
umat beragama bisa terwujud seperti yang terjadi di daerah lain, dimana umat
Islam menjadi umat mayoritas. Isu isu terorisme yag mengkambing hitamkan umat
muslim, semoga tidak menjadi alasan untuk mengabaikan hak setiap umat beragama
untuk beribadah sesuai agama nya masing-masing.
Semoga Bermanfaat
Kamis, 230317.09.50
#odopfor99days#part2#day41
No comments:
Post a Comment