Jika
di hari pertama dan kedua, pergi sama mertua dibarengin suami, maka pada hari
Senin tanggal 11 Januari 2016 saya kencan sama mertua dan bule (tante) nya,
tanpa suami karena suami sedang ngajar..Dengan menggunakan kereta dari stasiun
Rawa Buntu, kami pergi jam 8 lebih, sampai di stasiun Tanah Abang jam 9, kami
langsung berburu baju yang sudah direncanakan. Naik turun lift ke lantai 1 dan
lantai 2, nyari bahan, nyari gamis dll. Alhamdulillah tak butuh waktu lama, jam
10.30 sudah selesai. Jam 11 naik kereta lagi, pulang menuju stasiun Rawa Buntu
Serpong lagi, suami sudah siap menjemput.
Melihat
hiruk pikuk suasana Tanah Abang di hari Senin, yang katanya tambah rame karena
ada pasar Tasik, sebenarnya mencerminkan iklim usaha di Indonesia sudah sangat
kondusif. Produk Indonesia sangat beragam dan sangat layak bersaing dengan
produk impor. Belum lagi produk budaya khas daerah, semakin unik maka semakin
tinggi lah harga jual nya. Tapi saya masih saja berperan sebagai konsumen,
belum berani menjadi seorang pelaku usaha. Beberapa kali pernah usaha, belum
ketemu yang pas dan cocok banget. Jadi masih harus puas dengan hanya menjadi
konsumen atau pembeli saja saat jalan ke Tanah Abang bareng mertua dan bule.
Berjalan
bersama mertua menyusuri Tanah Abang ternyata memang seru dan menantang. Saya memang
belum bisa Bahasa Jawa sepenunhya dan mertua pun belum lancar berbahasa
Indonesia. Tapi alhamdulillah sejauh ini tak ada masalah yang mengganggu
hubungan menantu dan mertua. Hanya dengan pemahaman sederhana saja bahwa dia
adalah orangtua yang melahirkan pasangan saya. Dia berhak atas separuh dari
kehidupan anaknya yang kini menjadi suami saya. Maka saya memberi ruang mereka
tumbuh dalam hubungan indah antara ibu dan anak.
Saya mengamati
dalam beberapa kehidupan rumah tangga, yang hubungan menantu dan mertuanya
bermasalah, biasanya ada kecemburuan antara mertua perempuan dan menantu
perempuan. Biasanya sang ibu merasa menantunya telah “merebut” hati anaknya dan
menantunya “menuntut” agar ibu suaminya mengerti bahwa anaknya kini sudah punya
kesibukan tersendiri sebagai suami dan ayah, yang tak bisa lagi berperan
sebagai anak “kecil” yang selalu bisa dihubungi dan menemani ibunya seperti
sebelum menikah. Penyebab lainnya biasanya masalah finansial. Seorang anak
laki-laki, memang masih bertanggung jawab terhadap kehidupan ibunya atau
orangtuanya. Maka tak salah jika suami masih harus menyisihkan sebagian dananya
untuk orangtua. Tak semua istri mau dan legowo menerima ini, karena ini adalah
isu sensitif. Tapi intinya jika suami kita bahagia karena ibunya bahagia, maka
itu akan berdampak pada cara dia memperlakukan kita sebagai istrinya. Dampaknya
pasti kita juga akan bahagia.
Saya memang
belum berpengalaman dalam kehidupan rumah tangga, usia pernikahan saya baru
akan menginjak 3 tahun, tapi saya bersyukur punya suami dan mertua yang baik. Walau
saya tak bisa memasak, mertua saya dan suami saya juga tak protes banyak. Walau
saya punya banyak kekurangan, mereka keluarga Kudus sangat mau memahami dan
menerima apa adanya. Ini sungguh anugerah yang saya syukuri, terutama saat saya
melihat saudara dan teman yang punya hubungan yang kurang harmonis dengan
mertuanya. Bukan ngerasanin mereka, tapi lebih pada merenung dan mengambil
hikmah betapa kita sering kurang bersyukur dengan apa yang sudah kita miliki. Kita
lebih sering mempermasalahkan sesuatu yang belum kita miliki dibanding mensyukuri
apa yang sudah kita miliki.
Maka saat
ada kesempatan mertua datang ke rumah, saya pergunakan sebaik baiknya
kesempatan itu untuk memperlakukan mertua sama dengan saat saya memperlakukan
orang tua. Salah satunya dengan kencan ke Tanah Abang ini. Banyak media yang bisa
dipakai untuk merekatkan hubungan menantu dan mertua. Bisa masak bareng, tidur
bareng, jalan bareng, dll. Semoga kita tak menyia nyiakan kesempatan saat umur
orang tua dan umur mertua masih ada, dapat kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk
membahagian mereka.
No comments:
Post a Comment