Tuesday, June 13, 2017

Pohon Literasi Day 6 : Bunda Jangan Marah



Pada hari Sabtu kemarin tanggal 10 juni 2017, mamah datang berkunjung ke Serpong karena mba nya mudik di hari Jumat untuk mempersiapkan pernikahan. Hiks akhirnya hari itu datang juga, saat mba ART di rumah akan melangsungkan pernikahan, itu berarti saya harus siap-siap tak bergantung pada si mba, (bergantung harusnya pada Allah saja ya). Walaupun mba nya masih pengen tetap bekerja setelah menikah.

Mamah pun harus mengungsi dari Tasik ke Tangerang karena saya dan suami masih kerja sampai hari Sabtu besok. Hari Sabtu kemarin juga sekalian buka puasa bersama bareng keluarga besar di tempat saya di Serpong karena mamah sedang ada bersama saya. Setelah rempong dengan urusan buka bersama, hari Ahad nya saya ajak mamah jalan-jalan ke Lotte Mart untuk persiapan mudik ke Kudus, ke Parade Fo untuk membeli baju Eza dan ke ITC untuk membeli baju Eza dan membeli kerudung mamah.

Saat di lotte mart, Eza sudah mulai beraksi, pengen beli es krim, tidak saya ijinkan trus dia merayu mamah dan berhasil, mamah langsung membelikan es krim. Saya tahan tahan untuk tidak marah, saya sebenarnya pengen membuat Eza belajar menahan diri, tak langsung memenuhi semua keinginannya karena khawatir berdampak panjang hingga besar nanti. Di lotte mart saya tak berhasil, padahal saya sudah berikan pemahaman pada Eza yang masih berusia 3,4 tahun.

Di tempat berikutnya saat mencari baju di sebuah factory outlet, papanya memperlihatkan topeng, Eza pengen. Saya sudah jelaskan tujuan awal datang kesini adalah untuk membeli baju, bukan membeli topeng. Mulailah Eza beraksi lagi, merayu mamah dan suami agar mengabulkan keinginannya. Saya sudah berusaha melarang suami dan mamah untuk tak mengabulkan keinginannya, tapi mamah luluh juga, tak tega untuk membelikan topeng yang harganya “hanya” 60.000. Sebenarnya saya tak masalah dengan harganya, tapi saya tak suka dengan cara Eza yang meminta terus dan selalu pengen langsung dipenuhi keinginannya. Saat akhirnya topeng itu dibeli, saya MARAH, marah sekali. Entah marah pada Eza, pada suami atau pada mamah, saya kesal. 

Semua usaha saya untuk memberikan pemahaman pada Eza, merasa tak didukung dan harus berjuang sendiri. Anehnya Eza bisa tau dan merasakan bahwa saya marah, dia tak berani menatap saya, apalagi saat perjalanan dari factory outlet itu, saya bungkam, aksi tutup mulut saya jalankan, saya khawatir mengeluarkan kata-kata yang kasar dan tak bisa mengendalikan diri.


Tempat terakhir yang didatangi adalah ITC, saya sudah tak mood untuk berbelanja. Tapi demi anak, saya pilih pilih juga baju untuk Eza. Dengan suasana masih memendam kemarahan, Eza mencoba mendekati, dia sedih melihat saya marah,

trus bilang, “Bunda Jangan Marah, minta maaf”

Biasanya saya luluh dengan kata maaf dari anak kecil lucu yang belum genap berusia 4 tahun, dulu saat saya usia segitu sepertinya belum mengenal kata maaf. Tapi entah kenapa saya tak menggubris permohonan maafnya, dia menuju papanya, saat dia mendekati saya, saya jauhi dengan tak menguccapkan sepatah katapun. Saya tau ini tak benar, tapi hati saya tak bisa diajak kompromi. Akhirnya pecah juga tangis Eza, dia dekati papanya, sambil menangis terisak isa. Setelah mendengar tangisnya, barulah saya gendong dia, saya peluk dan saya jelaskan kenapa saya marah.

Setelah itu, suasana mencair, dia ingin bermain, saya kabulkan. Tapi saat dia minta jajan (lagi) jagung, saya langsung gendong dia, saya jelaskan bahwa dia sudah beli apa saja hari ini, maka sudah cukup tak ada lagi jatah buat jajan. Sambil saya peluk, saya jelaskan bahwa tak semua keinginannya harus langsung dipenuhi. Entah apakah dia mengerti atau dia, saya perlakukan dia seperti orang dewasa, dan tebak apa yang dia lakukan? Dia langsung memeluk dan mencium saya trus bilang “Mas sayang Bunda”... uh termehek mehek ga sih digituin sama anak. Dan episode marah yang melelahkan pun berakhir bahagia dengan saling memeluk dan mencium.

Sesampainya di rumah, saya langsung cari buku tentang marah, saya ingat saya pernah beli bukunya Irawati Istadi yang berjudul Ayo Marah. Saya pengen tau sebenarnya manajemen marah itu seperti apa. Dan benar saja, bukunya masih disampul rapi, belum dibuka. Rasanya senang banget menemukan buku yang tepat, sesuai kebutuhan dan momennya tepat. Saya baru buka pengantarnya sudah membuat saya jatuh cinta. Gimana marah menurut buku tersebut?

(bersambung)

Semoga Bermanfaat

Selasa, 130617.23.50
#GameLevel5
#Tantangan10Hari
#Day6
#KuliahBunsayIIP
#ForThingstoChangeIMustChangeFirst

#odopfor99days#semester2#day31

No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit