Friday, June 23, 2017

Itikaf di Dapur



Seringkali saya merasa iri pada sahabat yang bisa melakukan itikaf dalam 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Saya sudah pernah mengajukan proposal itikaf pada suami di masjid masjid sekitar BSD, tapi seringkali ditolak, karena menurutnya ibadah di rumah sebagai seorang istri dan ibu, sama baiknya dengan itikaf di masjid.

Sejak saya kuliah, saya jarang sekali bisa itikaf di masjid, kecuali jika masih ada jadwal kuliah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Jika sudah libur, saya lebih memilih pulang ke rumah di Tasik dan membantu orang tua. Ayah saya jualan kue di Pasar Ciawi, dan pada 10 hari terakhir biasanya adalah masa laris dan rame, sehingga pasti butuh bantuan. Ini berlangsung sejak saya kuliah di tahun 1996 hingga saya kerja dan menjelang menikah di tahun 2011. Pada tahun 2012, ayah saya diminta berhenti jualan oleh ibu dan kakak saya untuk kemudian fokus menjadi guru ngaji di mushola Tangerang.

Saat masih jualan di pasar, saya biasanya berangkat bareng ayah saya (abah) setelah shalat shubuh dan baru pulang ke rumah menjelang magrib. Biasanya badan terasa remuk redam, dan tak kuasa untuk itikaf di masjid. Dan masjid di Tasik tak banyak yang mengadakan itikaf seperti masjid-masjid di Bandung atau Jakarta.

Setelah abah berhenti jualan, sepertinya saya baru merasa leluasa untuk memikirkan jodoh. Saya sering berfikir kalau saya menikah dan abah belum berhenti jualan di pasar, siapa yang akan bantuin sementara kakak saya pada sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Alhamdulillah kesempatan itu datang di tahun 2013, jodoh datang dan abah sudah berhenti jualan sejak tahun 2012.

Setelah menikah dan memiliki anak, saya dan suami mengatur jadwal lebaran di Tasik dan Kudus secara bergantian. Jika lebaran di Tasik, saya bisa membantu ibu saya mempersiapkan segala hal tetek bengetk menjelang lebaran, mulai dari membuah kue, memasak untuk buka puasa, belanja ke pasar, hingga mengantarkan mamah untuk mengirim bingkisan pada tetangga dan saudara. Tapi jika lebaran di Kudus, apa boleh buat, saya paling hanya bisa membantu sebisanya beberapa hari, karena harus menjalani prosesi mudik ke Kudus.


Ramadhan tahun ini, saya habiskan 20 hari pertama di Serpong, dan sejak libur hari Sabtu 17 Juni 2017, saya mudik bersama kedua orang tua saya menuju Tasik, alhamdulillah lancar. Berangkat pukul 11 malam, transit untuk sahur dan shalat shubuh dan tiba di Tasik pukul 7 pagi. Setelah beristirahat sebentar, langsung membuat rencana jadwal membuat kue dan masak untuk persiapan lebaran.

Saat melihat facebook dan banyak teman-teman yang menjalani itikaf di masjid sambil membawa anak, saya pun iri dan menyimpan dalam hati keinginan untuk itikaf di masjid. Saya memilih untuk membantu orang tua masak di dapur. Kemarin pagi, antar mamah ke pasar untuk belanja, dan setelah subuh dilanjutkan dengan membuat kue. Setiap hari seperti itu, shalat magrib dan isya berjamaah di rumah bareng mamah dan setelah itu tertidur pulas saking cape nya. Boro-boro memikirkan itikaf, bisa tarawih berjamaah di rumah saja, saya bersyukur banget.

Saya tak tahu dari sisi hukum dan keutamaan pahalnya seperti apa, saya tak peduli. Yang membuat saya tak tega adalah saat melihat mamah kecapean karena mempersiapkan hidangan lebaran untuk anak dan keluargaya. Jadi bukan tak mau itikaf, tapi saya memilih untuk lebih peka dengan ibadah sosial dari lingkungan terdekat dibanding itikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Jadilah beberapa hari terakhir ini saya “itikaf di dapur untuk membantu mamah.  Semoga suatu saat mendapat kesempatan untuk menjalani itikaf di masjid pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan berikutnya,

Keterangan foto adalah barang-barang yang dibeli di pasar Ciawi, saat saya antar mamah belanja di pasar Ciawi kemarin.

Semoga Bermanfaat

Jumat, 230617.20.00
#odopfor99days#semester2#day36


No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit