Wednesday, June 14, 2017

Pohon Literasi Day 7 : Ayo Marah



Setelah peristiwa kemarin yang memancing kemarahan si bunda pada Eza dan papanya juga neneknya, si bunda merasa bersalah. Ia pun langsung melalap habis buku berjudul “Ayo Marah, Buku Komplit Manajemen Marah” karya Irawati Istadi yang diterbitkan tahun 2010. Seingat saya, sudah lama sekali buku ini dibeli tapi belum tergerak untuk membacanya, maka buku ini pun masih bersampul rapih, tersimpan utuh di lemari perpustakaan mini keluarga kami.

Buku ini bukan mengajarkan untuk marah, tapi untuk memahami penyebab kemarahan dan cara mengendalikan kemarahan itu seperti apa. Buku ini juga membolehkan kita marah jika penyebab dan caranya serta tujuannya jelas. Buku ini terbit dilatar belakangi pengalaman penulisnya yang trauma dengan anak sulungnya saat berusia 5 tahun yang menduplikasi cara ibunya marah. Sejak saat itulah, sang penulis bertekad untuk belajar cara mengatasi kemarahan dengan tepat.

Buku ini terdiri dari 7 bagian yaitu

Bagian 1          : Marah dan Kemarahan di Sekitar Kita
Bagian 2          : Munculnya Kebiasaan Marah
Bagian 3          : Cara Marah yang Benar dan Efektif
Bagian 4          : Meredakan Kemarahan Suami Istri
Bagian 5          : Mengatasi Kemarahan Orangtua kepada Anak
Bagian 6          : Lebih Positif di Tempat Kerja
Bagian 7          : Meminimalkan Kemarahan di Sekolah

Setelah minum kopi dan tak bisa tidur lagi, saya memanfaatkan waktu dengan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sempat terbengkalai seperti membereskan pembukuan keuangan koperasi, menyelesaikan tugas bunda sayang sebagai fasilitator dan menyelesaikan buku yang biasanya agak sulit jika dilakukan siang hari yang padat aktivitas.

Alhamdulillah tak sampai satu jam, buku ini sudah saya lahap habis, saking besarnya keinginan saya untuk memperbaiki cara saya marah. Selain marah yang negatif, ternyata sang penulis melihat sisi lain diperbolehkannya marah yaitu saat marah menjadi satu-satunya cara untuk membuat seseorang menyadari kesalahannya. Sementara marah yang destruktif dengan membanting atau melibatkan aktivitas fisik, itu bukan cara yang baik untuk mengatasi kemarahan.

Pada bab satu dibahas tentang mengapa harus marah, efek negatif marah dan bahkan ternyata marah ini seperti “penyakit menular” yang bisa membuat anak meniru cara orangtuanya marah. Sementara pada bagian 2, dipaparkan tentang munculnya kebiasaan marah, bahwa ternyata marah itu bukan bersifat genetis, tapi merupakan dampak dari pola asuh. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua adalah pemeran utama yang patut disalahkan atas tumbuhnya kebiasaan marah pada anak (hal. 37) dan itu bermula dari 5 tahun pertama kehidupan sang anak yang dikenal dengan “Golden Age”. 

Kemauan dan kemampuan otak anak dalam menerima informasi di usianya yang masih balita ini ternyata jauh lebih hebat dari apa yang seringkali dibayangkan dan dipahami orang tuanya (hal. 39). Dan beberapa faktor pemicu kemarahan masa golden age yang harus difahami orang tua adalah Egosentrisme dan meniru orang lain.


Cara mengatasinya diuraikan di bagian 3 yang bertajuk Cara marah yang benar dan efektif.  Ada beberapa pilihan yang bisa digunakan untuk melapiaskan kemarahan, bisa dengan menggeluarkan kata-kata makian, dengan meluapkan emosi dalam hati atau bahkan hingga aktivitas fisik. Semuanya adalah pilihan. Tapi Islam mengajarkan cara mengatasi kemarahan sejak puluhan abad lalu, yaitu Berwudhu, Berdzikir, Mengubah Posisi, dan Menjaga Kata-kata atau diam.

Pada bagian 4, dibahas secara spesifik kemarahan pada pasangan suami istri, mulai dari pemicunya, ciri khas marah seorang laki-laki, dan marah ala perempuan yang seringkali tak difahami para suami, serta cara menyelesaikan konflik suami istri. Ada 7 tips yang diberikan sang penulis yaitu Marah dengan memerhatikan perasaan pasangan, Marah tanpa menyinggung harga diri pasangan, Istri tidak konfrontatif, Istri tidak meninggikan suara, Mengingat kelebihan pasangan, Saling memahami saling menyesuaikan dan Ketaatan istri diatas segalanya.

Kemarahan orang tua kepada anak dipaparkan di bagian 5. Orangtua harus membedakan antara ‘harus marah’ dengan ‘ingin marah, karena terdapat perbedaan sangat mendasar. Harus marah terkait dengan marah mendidik sementara ingin marah adalah marah emosi. Saya jadi menganalisa kemarahan saya kemarin, inginnya sih marah mendidik, dan ternyata diam diakui sebagai cara terbaik meredakan emosi, menenangkan diri hingga bisa berfikir stabis, yeah.

Kemarahan di tempat kerja dibahas pada bagian 6 sementara kemarahan di sekolah terkait interaksi guru dan siswa dipaparkan di bagian terakhir yaitu bagian 7. Sepertinya semua bagian dalam buku ini “menampar” saya banget karena setiap bab nya cocok dan sesuai sekali dengan kondisi saya. Untuk kondisi terakhir, saya juga sedang marah pada siswa atas kondisi yang terjadi dimana mereka tak langsung merespon serius saat ada program sekolah, ini juga saya sedang belajar mengendalikan dan mengatasinya. Tips dari sang penulis sangat berguna sekali, ada 5 tips cara guru mengatasi kemarahan pada siswanya yaitu :
·       Beri kesempatan untuk salah
·       Tidak emosional
·       Upayakan dulu kemarahan tertutup
·       Kemarahan terbuka hanya untuk darurat
·       Seimbang antara kemarahan dengan kedekatan  

Demikian hasil saya belajar dari buku tentang marah sebagai ikhtiar saya dalam mengendalikan kemarahan. Semoga ikhtiar produktif ini turut membantu saya mendidik anak dan siswa saya, agar tak mudah emosional dan bisa marah pada saat dan cara yang tepat.

Semoga Bermanfaat

Rabu, 140617.01.30
#GameLevel5
#Tantangan10Hari
#Day7
#KuliahBunsayIIP
#ForThingstoChangeIMustChangeFirst

#odopfor99days#semester2#day32

No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit