Setelah peristiwa kemarin yang
memancing kemarahan si bunda pada Eza dan papanya juga neneknya, si bunda
merasa bersalah. Ia pun langsung melalap habis buku berjudul “Ayo Marah, Buku
Komplit Manajemen Marah” karya Irawati Istadi yang diterbitkan tahun 2010. Seingat
saya, sudah lama sekali buku ini dibeli tapi belum tergerak untuk membacanya,
maka buku ini pun masih bersampul rapih, tersimpan utuh di lemari perpustakaan
mini keluarga kami.
Buku ini bukan mengajarkan untuk
marah, tapi untuk memahami penyebab kemarahan dan cara mengendalikan kemarahan
itu seperti apa. Buku ini juga membolehkan kita marah jika penyebab dan caranya
serta tujuannya jelas. Buku ini terbit dilatar belakangi pengalaman penulisnya
yang trauma dengan anak sulungnya saat berusia 5 tahun yang menduplikasi cara
ibunya marah. Sejak saat itulah, sang penulis bertekad untuk belajar cara
mengatasi kemarahan dengan tepat.
Buku ini terdiri dari 7 bagian yaitu
Bagian 1 : Marah dan Kemarahan di Sekitar Kita
Bagian 2 : Munculnya Kebiasaan Marah
Bagian 3 : Cara Marah yang Benar dan Efektif
Bagian 4 : Meredakan Kemarahan Suami Istri
Bagian 5 : Mengatasi Kemarahan Orangtua kepada Anak
Bagian 6 : Lebih Positif di Tempat Kerja
Bagian 7 : Meminimalkan Kemarahan di Sekolah
Setelah minum kopi dan tak bisa
tidur lagi, saya memanfaatkan waktu dengan menyelesaikan beberapa pekerjaan
yang sempat terbengkalai seperti membereskan pembukuan keuangan koperasi,
menyelesaikan tugas bunda sayang sebagai fasilitator dan menyelesaikan buku
yang biasanya agak sulit jika dilakukan siang hari yang padat aktivitas.
Alhamdulillah tak sampai satu jam,
buku ini sudah saya lahap habis, saking besarnya keinginan saya untuk
memperbaiki cara saya marah. Selain marah yang negatif, ternyata sang penulis
melihat sisi lain diperbolehkannya marah yaitu saat marah menjadi satu-satunya
cara untuk membuat seseorang menyadari kesalahannya. Sementara marah yang
destruktif dengan membanting atau melibatkan aktivitas fisik, itu bukan cara
yang baik untuk mengatasi kemarahan.
Pada bab satu dibahas tentang
mengapa harus marah, efek negatif marah dan bahkan ternyata marah ini seperti “penyakit
menular” yang bisa membuat anak meniru cara orangtuanya marah. Sementara pada
bagian 2, dipaparkan tentang munculnya kebiasaan marah, bahwa ternyata marah
itu bukan bersifat genetis, tapi merupakan dampak dari pola asuh. Pola asuh
yang diterapkan oleh orang tua adalah pemeran utama yang patut disalahkan atas
tumbuhnya kebiasaan marah pada anak (hal. 37) dan itu bermula dari 5 tahun
pertama kehidupan sang anak yang dikenal dengan “Golden Age”.
Kemauan dan
kemampuan otak anak dalam menerima informasi di usianya yang masih balita ini
ternyata jauh lebih hebat dari apa yang seringkali dibayangkan dan dipahami
orang tuanya (hal. 39). Dan beberapa faktor pemicu kemarahan masa golden age
yang harus difahami orang tua adalah Egosentrisme dan meniru orang lain.
Cara mengatasinya diuraikan di
bagian 3 yang bertajuk Cara marah yang benar dan efektif. Ada beberapa pilihan yang bisa digunakan
untuk melapiaskan kemarahan, bisa dengan menggeluarkan kata-kata makian, dengan
meluapkan emosi dalam hati atau bahkan hingga aktivitas fisik. Semuanya adalah
pilihan. Tapi Islam mengajarkan cara mengatasi kemarahan sejak puluhan abad
lalu, yaitu Berwudhu, Berdzikir, Mengubah Posisi, dan Menjaga Kata-kata atau
diam.
Pada bagian 4, dibahas secara
spesifik kemarahan pada pasangan suami istri, mulai dari pemicunya, ciri khas
marah seorang laki-laki, dan marah ala perempuan yang seringkali tak difahami
para suami, serta cara menyelesaikan konflik suami istri. Ada 7 tips yang diberikan
sang penulis yaitu Marah dengan memerhatikan perasaan pasangan, Marah tanpa
menyinggung harga diri pasangan, Istri tidak konfrontatif, Istri tidak
meninggikan suara, Mengingat kelebihan pasangan, Saling memahami saling
menyesuaikan dan Ketaatan istri diatas segalanya.
Kemarahan orang tua kepada anak
dipaparkan di bagian 5. Orangtua harus membedakan antara ‘harus marah’ dengan ‘ingin
marah, karena terdapat perbedaan sangat mendasar. Harus marah terkait dengan
marah mendidik sementara ingin marah adalah marah emosi. Saya jadi menganalisa
kemarahan saya kemarin, inginnya sih marah mendidik, dan ternyata diam diakui
sebagai cara terbaik meredakan emosi, menenangkan diri hingga bisa berfikir
stabis, yeah.
Kemarahan di tempat kerja dibahas
pada bagian 6 sementara kemarahan di sekolah terkait interaksi guru dan siswa
dipaparkan di bagian terakhir yaitu bagian 7. Sepertinya semua bagian dalam
buku ini “menampar” saya banget karena setiap bab nya cocok dan sesuai sekali
dengan kondisi saya. Untuk kondisi terakhir, saya juga sedang marah pada siswa
atas kondisi yang terjadi dimana mereka tak langsung merespon serius saat ada
program sekolah, ini juga saya sedang belajar mengendalikan dan mengatasinya. Tips
dari sang penulis sangat berguna sekali, ada 5 tips cara guru mengatasi
kemarahan pada siswanya yaitu :
· Beri kesempatan untuk salah
· Tidak emosional
· Upayakan dulu kemarahan tertutup
· Kemarahan terbuka hanya untuk darurat
· Seimbang antara kemarahan dengan kedekatan
Demikian hasil saya belajar dari
buku tentang marah sebagai ikhtiar saya dalam mengendalikan kemarahan. Semoga ikhtiar
produktif ini turut membantu saya mendidik anak dan siswa saya, agar tak mudah
emosional dan bisa marah pada saat dan cara yang tepat.
Semoga Bermanfaat
Rabu, 140617.01.30
#GameLevel5
#Tantangan10Hari
#Day7
#KuliahBunsayIIP
#ForThingstoChangeIMustChangeFirst
#odopfor99days#semester2#day32
No comments:
Post a Comment