Monday, August 29, 2016

Keunikan Bahasa Arab (Bagian Ketiga)





Keunikan Bahasa Arab lainnya yang sangat menarik adalah sebagai berikut :

  •       Salah baca sedikit artinya sangat jauh berbeda bahkan bisa bertentangan


Misalnya,

- Kalimat [الله أكبر] “Allahu akbar” artinya: Allah Maha Besar. Jika dibaca [آلله أكبر] “AAllahu akbar” (dengan huruf alif dibaca panjang), artinya: Apakah Allah Maha Besar?

- Surat Al-Fatihah ayat ke-5,[إياك نعبد وإياك نستعين]

Jika dibaca “IYYaaka na’buduu” (dengan tasydid huruf “ya”), artinya: “Hanya kepada-Mu Kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan". Jika dibaca “iYaaka na’budu” (tanpa tasydid huruf “ya”) maka artinya: “kepada cahaya matahari kami menyembah dan kepada cahaya matahari kami meminta pertolongan”

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan hal ini dalam tafsirnya,
وقرأ عمرو بن فايد بتخفيفها مع الكسر
وهي قراءة شاذة مردودة؛ لأن “إيا” ضوء الشمس

“’Amr bin Faayid membacanya dengan tidak mentasydid [huruf ya’] dan mengkasrah [huruf alif]. Ini adalah bacaan yang aneh/nyeleneh dan tertolak. Karena makna “iya” adalah cahaya matahari.” [Al-Jami’ Liahkamil Qur’an 1/134, Darul Kutub Al-Mishriyah, Koiro, cet.ke-2, 1384 H, Asy-Syamilah]

contoh yang lain misalnya “JamAAl” artinya keindahan sedangkan “jamAl” artinya unta.




  •      Beda bacaan tetapi artinya sama saja/ satu kata bisa I’rab-nya berbeda-beda


Contohnya pada kalimat, [أحب الفاكهة و لا سيما برتقال] =>
 “aku menyukai buah-buahan lebih-lebih buah jeruk”

Maka kata [برتقال] “burtuqool” bisa dibaca dengan keseluruhan empat macam bacaan pada akhirnya karena berbeda I’rab-nya bisa dibaca “burtuqoolUN” atau “burtuqoolAN” atau “burtuqooliN” atau “burtuqool”

Berikut pembahasan I’rab-nya,

- Dibaca “burtuqooliN” [majrur] jika huruf “maa” pada “siyyama” dianggap sebagai huruf “zaaidah” sehinga isim setelahnya [burtuqool] berkedudukan sebagai mudhof ilaih.

- Dibaca “burtuqoolUN” [marfu’] jika huruf “maa” pada “siyyama” dianggap sebagai isim maushul mudhof ilaih dari “siyya” sehinga isim setelahnya [burtuqool] berkedudukan sebagai khobar dengan mubtada’ yang mahdzuf takdirnya huwa

- Dibaca “burtuqoolAN” [manshub] jika huruf “maa” pada “siyyama” dianggap sebagai sebuah isim mudhof ilaih dari “siyya” sehinga isim setelahnya [burtuqool] berkedudukan sebagai tamyiz manshub

- Dibaca “burtuqool” karena diwaqafkan ketika akhir kata.
[lihat Mulakhkhas Qowa’idul Lughoh Al-Arabiyah hal. 65, Daruts Tsaqafah Al-Islamiyah, Beirut]
       

  •      Satu kalimat bisa dibaca berbeda-beda dan artinya juga berbeda-beda


Misalnya, لا تأكل السمك و تشرب اللبن => Maka kata [تشرب] bisa dibaca “tasyroB” atau “tasyroBA” atau “tasyroBU” atau TasyroBI”

- Jika dibaca “tasyroB” artinya: “jangan engkau makan ikan dan jangan engkau minum susu”

- Jika dibaca “tasyroBA” artinya: “jangan engkau makan ikan ketika engkau sedang minum susu”

- Jika dibaca “tasyroBU” artinya: “jangan engkau makan ikan dan engkau boleh minum susu”

- Bisa dibaca "TasyroBI” jika bacanya disambung ketika membaca “tasyroB” karena bertemu dua huruf sukun yaitu huruf “ba” dan “alif lam” pada “al-laban.

Berikut pembahasan I’rab-nya, .

- Dibaca“tasyroB” [majzum] karena huruf “wawu” sebagai huruf athof, fi’ilnya athof dengan “ta’kul” karena Huruf “laa Naahiyah” menjazmkannya

- Dibaca “tasyroBA” [manshub] karena huruf “wawu” sebagai “Wawu haal” dengan “adawatun naasibah” huruf “an” disembunyikan wajib

- Jika dibaca “tasyroBU” [marfu’] karena huruf “wawu” sebagai “Wawu isti’naf” yaitu “wawu” untuk menunjukkan awal kalimat dan tidak berhubungan dengan kalimat sebelumnya. Sehingga fi’ilnya hukum asalnya marfu’ jika tidak ada amil.
[lihat Qowaaidul ‘Asasiyah Lillughotil Arabiyah hal 34, As-Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet.ke-3,1427 H]
  

  •          Terkadang harus paham dulu baru bisa dibaca lafadznya


Ini salah satu yang paling unik menurut kami. Karena umumnya bahasa yang lain dibaca/dilafadzkan dulu baru bisa dipahami. Lebih-lebih ia juga harus paham i’rabnya. Sudah kita ketahui bahwa bahasa Arab  aslinya adalah “gundul” dan tidak ada harokatnya, karena harokat memang sejarahnya dibuat bagi orang non-Arab. Tanpa bantuan harokat mereka yang belum mengetahui dasar-dasar bahasa Arab tidak bisa membacanya atau melafadzkannya. Contohnya pada Al-Quran surat An-Nisa ayat 164,
و كلم الله موسى تكليما

Bacaan yang benar: “wa kallamallaaHU Muusaa takliima” [Allah benar-benar mengajak bicara Musa]

Jika pembaca tidak paham maksudnya, maka dia tidak tahu cara membacanya. Apakah lafadz Jalalah  Allah dibaca, “Allahu” atau “Allaha” atau “Allahi”

Lho dari mana dia tahu maksudnya, padahal belum dibaca, padahal juga yang dibaca adalah sumber ilmunya?

Jawabannya: umumnya dari i’rab, konteks kalimat atau maksud kalimat sebelumnya. Pada kasus ini, maksudnya diketahui juga dari aqidah yang benar yaitu Allah mempunyai sifat berbicara dan memang Allah yang mengajak Musa berbicara.

- Tidak mungkin lafadz Jalalah  dibaca “AllaHA”, karena artinya nanti “Musa mengajak bicara Allah”, karena ada kemungkinan nanti menafikan sifat  Allah berbicara dan ini bentuk tahrif/menyelewengkan sifat Allah.

- Tidak mungkin lafadz Jalalah  dibaca “AllaHi”, karena tidak ada penyebab majrurnya yaitu huruf jar atau mudhaf ilaih.


Demikian keunikan bahasa Arab yang sangat menarik untuk dikaji.

Sumber :
http://kabardaripanyileukan.blogspot.co.id/2014/02/keunikan-keunikan-bahasa-arab.html

Senin, 29 Agustus 2016. 23.07

#ODOPfor99days
#day118

No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit