Showing posts with label Program Hamil 40 Hari. Show all posts
Showing posts with label Program Hamil 40 Hari. Show all posts

Wednesday, June 6, 2018

Al Zayyan Hari 21 : Kalimat Tak Bersubjek Pada Ayat Kiamat dalam Al Qur'an



Bahasa al-Qur’an adalah bahasa yang indah, mendalam, mudah dimengerti dan tak pernah habis untuk dikaji. Kajian tentang bahasa terpusat pada dua hal, struktur dan makna. Makna sangat terkait dengan konteks. Satu makna yang diungkapkan dengan berbagai kata, salah satu katanya tidak akan mampu mewakili atau menggantikan yang lain. Struktur bahasa al-Qur’an menempatkan posisi huruf dan posisi kata dalam kalimat sangat tepat dan mengandung makna mendalam. Gaya bahasanya, juga berbeda dengan gaya bahasa orang-orang Arab pada umumnya.

Di antara gejala stilistik (gaya bahasa) yang menarik perhatian dalam susastra al-Qur’an adalah gejala tidak diperlukannya fa’il (subjek) atau kalimat tak bersubjek dalam al-Qur’an, khususnya pada ayat-ayat yang berkaitan dengan hari Kiamat. Hal tersebut sangat menarik untuk dikaji, karena struktur kalimat ini konsisten dan terdapat di seluruh ayat tentang hari kiamat.

Tuesday, June 5, 2018

Al Zayyan Hari 20 : Penggunaan Fi’il (Kata Kerja) dengan Kata Ganti yang Bervariasi untuk Kata Malaikat




Ada fenomena menarik dalam Al-Qur’an saat menceritakan tentang Malaikat, terutama dari segi penggunaan fi’il atau kata kerjanya. Dari sisi bentuk kata, Malaikat adalah termasuk kata benda muannats atau berjenis kelamin perempuan, karena ada tanda ta marbuthah  di akhir sebagai ciri kata benda muannats. Kata malaikat adalah bentuk jama’ dari kata malak (ملك).

Ternyata, Allah menggunakan fi’il yang bervariasi saat berbicara tentang malaikat, kadang di satu ayat tertentu menggunakan kata kerja dengan bentuk mudzakkar atau berjenis laki-laki, tapi di ayat lain ada juga yang menggunakan kata kerja dengan bentuk muannats atau berjenis perempuan. Mari kita lihat contohnya

Menggunakan fiil madhi mudzakkar

فَسَجَدَ الْمَلائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ
Lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya. (Surat Shad ayat 73)

Pada ayat tersebut, kata kerja yang digunakan adalah fiil madhi (past tense) yang berjenis laki laki yaitu kata sajada. Jika berjenis perempuan, seharusnya menggunakan kata sajadat ((سجدت.

Lalu, dalam ayat berikut, menggunakan fiil berjenis perempuan (muannats) yaitu :

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (Surat Fushilat ayat 30).

Pada ayat tersebut, kata kerja yang digunakan adalah fiil mudhari (present tense) berjenis muannats yaitu kata tatanazzalu (تَتَنَزَّلُ).

Tentu ini menjadi pertanyaan besar, mengapa Allah menggunakan kata kerja yang seolah-olah tidak konsisten saat berbicara tentang Malaikat? Kenapa kadang menggunakan bentuk mudzakkar atau maskulin, dan di tempat lain bentuk muannats atau feminin yang digunakan. Ini menjadi perhatian banyak ulama bahasa dan bahkan para mufassir tekait hikmah dan rahasia dibalik fenomena menarik ini. Begitulah bahasa Al-Qur’an, tak pernah berhenti menuntaskan rasa penasaran para ahli bahasa saat itu, bahkan hingga saat ini masih banyak fenomena bahasa Al-Qur’an yang belum terungkap.

Monday, June 4, 2018

Al Zayyan Hari 19 : Keindahan Makna Ayyaman Ma’dudat (Perbedaan kata Ma’dudat مَّعْـدُودَاتٍ dan Ma’dudah معدودة), Bagian Kedua



Untuk melanjutkan pembahasan tentang ayyaman ma’dudat ini, awalnya saya fikir ini adalah hal sederhana, yang saya bisa fahami secara cepat. Ternyata saat membaca tafsir al-Mishbah karya M. Quraisy Shihab dan membandingkannya dengan analisa seorang dosen bernama Fadhil as Samirai dalam website www.albayanalqurany.com yang berbahasa Arab, saya kebingungan lalu saya pun mendiskusikannya dengan suami. Butuh waktu lama bagi saya untuk memahami ini, kembali bertanya pada suami tentang maksud dari berbagai referensi berbahasa arab yang terkadang membuat saya banyak bertanya tanya. Maka diskusi panjang pun terjadi, sejak sahur dilanjutkan setelah shalat shubuh, diiringi rasa kantuk yang mendera, lanjut lagi siang hari, ternyata seru dan menarik sekali karena analisanya berkembang ke pembahasan ilmu nahwu (sintaksis) dan balaghah.

Sisi menarik dari pembahasan tentang ayyaman ma’dudat ini adalah saat membandingkan redaksi ayat 80 surat al Baqarah dengan ayat 24 surat Ali Imran. Redaksi yang digunakan ternyata hampir mirip yaitu   قَالُوا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلا أَيَّامًا مَعْدُودَةً yang artinya mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.". Secara umum kedua ayat tersebut menggunakan redaksi yang hampir sama, tapi jika kita amati,  ternyata ada penulisan yang berbeda untuk kata مَعْدُودَةً . Pada ayat 80 surat al Baqarah, tulisan yang digunakan adalah مَعْدُودَةً, sedangkan pada ayat 24 surat Ali Imran, menggunakan tulisan مَّعْـدُودَاتٍ. Mari kita perhatikan penulisan ayat lengkapnya berikut ini :

Sunday, June 3, 2018

Al Zayyan Hari 18 : Keindahan Makna Ayyaman Ma’dudat (Perbedaan kata Ma’dudat مَّعْـدُودَاتٍ dan Ma’dudah معدودة), Bagian Pertama



Sejak beberapa hari yang lalu, saya mencari berbagai referensi yang mengupas makna ayyaman ma’dudat secara bahasa, tapi rasa kepenasaranan saya tentang makna ma’dudat belum terpuaskan. Ada yang mengganjal dalam pikiran saya, mengapa kata ayyaman ma’dudat yang artinya beberapa hari tertentu, ditafsirkan menjadi sebulan penuh di bulan Ramadhan. Dan hari ini, akhirnya saya pun menemukan jawabannya. Semakin seru saat saya mendiskusikannya dengan suami, ternyata suami juga harus browsing lebih banyak. Jadilah hari Minggu siang tadi menjadi waktu yang kami habiskan di rumah, karena butuh berjam jam ngobrol sambil mencari referensi yang lebih meyakinkan, untuk memahami pembahasan ini.

Saat saya membaca banyak referensi tentang ayyaman ma’dudat, saya baru sadar ternyata ada perbedaan penulisan antara مَّعْـدُودَاتٍ dengan معدودة . Keduanya bisa digunakan untuk kata berbentuk jamak, tapi tulisannya sedikit berbeda, dan ternyata ini berefek pada perbedaan makna. Sangat menarik sekali, bahkan perbedaan tulisan ta marbuthah dengan ta biasa/ta zaidah ini tidak terjadi secara kebetulan, semuanya mengandung makna mendalam yang tak bisa diwakili oleh bahasa terjemahan.

Untuk memahami kandungan maknanya, mari kita lihat penggunaan kedua kata tersebut dalam Al-Qur’an.

Kata مَّعْـدُودَاتٍ  disebutkan 3 kali dalam Al-Qur’an yaitu

Saturday, June 2, 2018

Al Zayyan Hari 17 : Ada Apa dengan Kata Syahru (Antara Syahr, Qamar & Hilal)??



Hari ini saya kesulitan menentukan tema yang akan dibahas, karena saking banyaknya hal menarik saat saya berselancar mencari makna dari beberapa kata dalam Al-Qur’an. Awalnya ingin membahas tentang ayyam ma’dudat, tapi sepertinya referensinya belum cukup dan belum memuaskan rasa penasaran saya dari sisi aspek bahasanya. Lalu berkembang menjadi kemujizatan bilangan dalam Al-Qur’an, terutama saat saya mengkaji penggunaan kata syahr / bulan dalam Al-Qur’an. Ternyata ada yang lebih menarik lagi, saat Al-Qur’an menggunakan beberapa kata saat membahas tentang bulan.  

Setidaknya ada 3 kata yang digunakan Al-Qur’an saat berbicara tentang bulan yaitu syahr (شهر), qamar (قمر) dan hilal (هلال). Penggunaan setiap kata tersebut, tentu berbeda dan memiliki ciri khas tersendiri. Penerjemahan kata tersebut ke dalam bahasa Indonesia yang hanya memiliki kosa kata “bulan”, sebenarnya tak cukup mewakili kedalaman makna dari 3 kata tersebut.

Makna kata syahr, menurut Ibnu Manzhur dalam kitab lisan al Arab, mengandung 3 makna yaitu

1.             Syahr bermakna qamar yaitu bulan yang berada di langit (benda langit). Qamar secara akar kata bermakna putih, maka benda langit itu dinamakan qamar karena itulah yang tampak dan jelas cahayanya berwarna putih.
2.             Syahr bermakna hilal yaitu bulan sabit (bulan yang berumur dua malam awal). Hilal dalam bahasa Arab, secara akar kata bermakna tampak. Maka dinamakan hilal karena tampak dan jelas.
3.             Syahr bermakna sejumlah hari yang dikenal banyak orang, dinamakan demikian karena syahr ini dikenal lewat keberadaan bulan di langit (qamar), berdasarkan bulan inilah dapat diketahui awal dan akhir syahr. Makna syahr disini merupakan bulan dalam arti perjalanan waktu/zaman/masa. Makna syahr disini tetap terkait dengan qamar & hilal karena keberadaan posisi qamar & hilal lah yang menentukan perjalanan waktu yang kita sebut syahr.

Friday, June 1, 2018

AL ZAYYAN HARI 16 : RAMADHAN DAN DOA



Pada ayat-ayat puasa di surat al-Baqarah ayat 183-187, ada satu ayat terselip yang tidak secara khusus membicarakan puasa, tapi mengungkapkan tentang doa yaitu di ayat 186 berikut :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Sejak dulu, sudah banyak yang bertanya tanya, mengapa ayat doa ini “terselip” diantara ayat-ayat yang membahas puasa. Bahkan bagi yang tidak suka Islam dan Al-Qur’an, menganggap bahwa ini adalah bukti betapa tidak teraturnya susunan ayat-ayat Al-Qur’an. Beberapa ulama sudah banyak yang menjawab tentang hal ini, diantaranya Imam Ibnu Katsir yang menjelaskan bahwa sengaja Allah meletakkan ayat (186) ini diantara ayat-ayat tentang puasa yaitu sebagai tuntunan atau petunjuk supaya hamba-hamba Allah rajin berdoa ketika menyelesaikan bilangan puasa, terutama pada tiap-tiap berbuka puasa, karena orang yang berpuasa termasuk golongan orang yang do’anya tidak tertolak dan waktu berbuka adalah salah satu waktu diijabahnya doa.

Thursday, May 31, 2018

AL ZAYYAN HARI 15 : RAMADHAN DAN AL-QUR’AN : PERBEDAAN ANZALA (أنزل) DAN NAZZALA (نزل)



Al-Qur’an adalah kitab suci yang memiliki banyak fungsi. Selain sebagai petunjuk, obat, ia juga adalah sumber ilmu, terutama terkait kehebatan dan kekayaan bahasa Arab yang tak pernah habis  dan usang untuk dikaji dan dipelajari. Kata-kata yang digunakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an sangat detail dan teliti. Setiap jenis kata, walaupun artinya sama, tapi pasti mengandung makna yang berbeda. Tidak mungkin dua jenis kata digunakan jika memiliki makna sama. Inilah yang membuat Al-Qur’an menjadi mujizat hingga akhir zaman, karena selalu ada temuan baru dalam setiap ayatnya.

Seperti saat membicarakan turunnya Al-Qur’an, ada 3 kata yang biasanya digunakan yaitu nazzala (نزل) / menurunkan, anzala (أنزل) / menurunkan dan unzila (أٌنزل) / diturunkan. Anzala dan unzila memiliki bentuk yang sama, hanya yang satu aktif (menurunkan), dan yang lainnya pasif / diturunkan. Mari kita cermati penggunaan ketiga kata tersebut dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

Dalam kitab Mu’jam Mufahras Li Alfazh Al Qur’an, kata nazzala disebutkan sebanyak 12 kali yaitu dalam surat al Baqarah ayat 176, Ali Imran ayat 3, an-Nisa ayat 136 dan 140, al-A’raf ayat 71 dan 196, al-Furqan ayat 1, al-‘ankabut ayat 63, az-Zumar ayat 23, az-Zukhruf ayat 11, Muhammad ayat 26 dan al-Mulk ayat 9.

Sementara kata anzala disebutkan sebanyak 63 kali, belum termasuk yang digabung dengan dhamir atau kata gantinya, seperti anzalnaa (أنزلنا) yang disebutkan sebanyak 40 kali dan anzalnaahu sebanyak 14 kali, sedangkan kata unzila disebutkan sebanyak 49 kali, belum termasuk yang digabung dengan kata gantinya.

Kita akan membahas sedikit saja ayat-ayat tersebut, untuk melihat perbedaannya.

Dalam surat Ali Imran ayat 3 yang berbunyi :

نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ

Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.  

Kata yang digunakan dalam ayat tersebut ada 2 yaitu nazzala saat menjelaskan turunnya Al-Qur’an, dan anzala saat berbicara turunnya kitab Taurat dan Injil. Jika diterjemahkan, artinya sama-sama “menurunkan”, tapi sebenarnya maknanya agak berbeda.

Menurut kaidah ilmu sharf (morfologi), kata dasarnya adalah nazala artinya adalah turun, kata ini tak membutuhkan objek, lalu turunannya adalah nazzala yang mengisyaratkan litaktsir yaitu menunjukkan peristiwa yang terjadi secara berulang ulang.

Beberapa ulama berpendapat, bahwa kata nazzala biasanya digunakan untuk menjelaskan proses turunnya Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur. Sementara kata anzala digunakan untuk menjelaskan diturunkannya secara sekaligus. Dalam ayat tersebut, terlihat perbedaannya bahwa kitab Taurat dan Injil diturunkan secara sekaligus, isyaratnya adalah dengan menggunakan kata anzala, sementara Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur yang terlihat dari penggunaan kata nazzala.

Tetapi kata anzala ternyata digunakan juga saat menjelaskan tentang diturunkannya Al-Qur’an seperti yang terdapat dalam surat al-Qadr ayat 1 berikut :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.
Ada juga yang mengungkapkan bahwa kata anzala digunakan jika terkait dengan waktu dan tempat tertentu, sedangkan kata nazzala tidak dikaitkan dengan waktu. Ayat lain yang menjelaskan hal tersebut, salah satunya adalah pada surat al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Pada ayat tersebut, kata kerja yang menunjukkan diturunkannya Al-Qur’an menggunakan kata kerja pasif unzila (أنزل) yang dikaitkan dengan waktu turunnya Al-Qur’an pada bulan Ramadhan.  Sebagaimana yang dijelaskan diatas, kata anzala digunakan saat menjelaskan kitab yang diturunkan secara sekaligus. Jadi, Al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan ini secara sekaligus. Hal ini berkaitan dengan tahapan diturunkannya Al-Qur’an.

Ada 3 tahap turunnya Al-Qur’an yaitu:
1.             Tahap pertama yaitu Al-Qur’an ditempatkan atau diturunkan di lauh mahfuzh yaitu suatu tempat gaib yang tak bisa diketahui secara pasti. Hal ini dijelaskan dalam surat al-Buruuj ayat 21-22
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ   فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ
Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauhmahfuz.

Ayat tersebut menggunakan kata anzala yang berarti bahwa proses pertama ini diturunkan secara sekaligus.
2.             Tahap kedua yaitu Al-Qur’an turun dari lauh mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia. Hal ini dijelaskan dalam surat ad-Dukhan ayat 3, al Qadr ayat 1 dan al-Baqarah ayat 185.

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (ad-Dukhan ayat 3)

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.
(al-Qadr ayat 1)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an (al-Baqarah ayat 185)

Ketiga ayat tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus pada satu malam di bulan Ramadhan yaitu pada lailatul Qadar yang disifati dengan lailah mubarakah (malam yang diberkahi).
3.             Tahap ketiga yaitu Al-Qur’an turun dari baitul izzah di langit dunia, langsung kepada Nabi Muhammad Saw secara berangsur-angsur. Hal ini dijelaskan oleh hadits berikut:

انزل القران جملة واحدة إلى سماء الدنيا في ليلة القدر ثم أنزل بعد ذلك في عشرين سنة وقرأ (وقرأنا فرقناه لتقرأه على الناس على مكث)

“Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada lailatul qadar, kemudian setelah itu diturunkan kepada Rasul selama 20 tahun, dan ia membaca surat al-Isra ayat 106”
(HR an-Nasai, as-Sunan al-Kubra, VI: 421 no hadits 11.372)

Proses turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, dilakukan secara bertahap selama di Mekah (12 tahun 5 bulan 13 hari) dan Madinah (9 tahun 9 bulan 9 hari).

Demikianlah perbedaan penggunaan kata nazzala dan anzala terkait dengan proses turunnya Al-Qur’an, dimana kata nazzala biasanya digunakan saat menjelaskan tentang diturunkannya Al-Qur’an pada tahap ketiga yaitu secara berangsur angsur kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara kata anzala digunakan saat menjelaskan proses turunnya Al-Qur’an pada tahap pertama (lauh mahfuzh) dan kedua (baitul izzah).

Wallahu’alam
Dari berbagai sumber

Semoga bermanfaat

Wassalam
Serpong, Kamis, 31 Mei 2018 / 15 Ramadhan 1439 H, 19.00

#KolaborasiZaiNovi
#ProyekRamadhanAlZayyan
#AlZayyanHari15
#Karya5TahunPernikahan
#SerunyaBelajarBahasaArab

Wednesday, May 30, 2018

Al Zayyan Hari 14 : Mengkritisi Lafadz Niat Puasa : Ramadhani, atau Ramadhana?



Tulisan ini tidak akan membahas hukum membaca niat itu apakah boleh diucapkan atau cukup dalam hati. Biarlah itu menjadi kajian di bidang fiqh saja, yang menjadi khazanah kekayaan keilmuan Islam. Perbedaan fiqh itu tak usah diperdebatkan, silakan laksanakan sesuai yang diyakini. Para ulama zaman dahulu, sudah berjuang untuk berijtihad melalui kajian fiqh empat madzhab, ada juga yang berkembang menjadi 5 madzhab, kita yang masih dangkal ilmunya ini masih harus banyak belajar dibanding berdebat satu sama lain.

Tulisan ini hanya akan membahas lafadz niat puasa dari sisi tekstual atau kajian bahasa nya. Selama ini lafadz niat yang sering kita dengar adalah :

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى

“Sengaja aku berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhu puasa pada bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Taala”

Yang akan menjadi fokus pembahasan adalah kata Ramadhan, yang sering dibaca dengan harakat fathah di akhir yaitu Ramadhana. Sejak kecil, masyhur sekali kata Ramadhan ini dibaca Ramadhana, padahal ternyata secara kaidah bahasa, itu keliru. Memang tidak akan mempengaruhi hukum puasa kita, puasa kita tetap sah, walaupun kita baca dengan kekeliruan tata bahasa. Tapi tentu jika kita sudah mengetahui cara membaca yang benar, itu akan lebih baik.

Tuesday, May 29, 2018

Al Zayyan Hari 13 : ILTIFAT (PENGALIHAN) DALAM AL QUR'AN



Gaya bahasa al-Qur’an selalu menarik untuk dikaji karena keindahan struktur dan maknanya, termasuk iltifat. Gaya bahasa iltifat secara umum sudah digunakan dalam bahasa diluar bahasa Arab, tetapi secara teoritis baru ada dalam bahasa Arab. Bahkan menurut Ibn al-Atsir dalam bukunya Kanz al-Balaghah, gaya bahasa iltifat merupakan keberanian bahasa Arab yang menyebabkan bahasa Arab ini maju. Gaya bahasa iltifat ini memiliki nilai sastra yang tinggi dan banyak digemari oleh para pujangga Arab klasik seperti Jarir dan Umru al-Qais.

Menurut Al-Hasyimi, Iltifat adalah perpindahan dari semua dhamir (kata ganti) kepada dhamir lain, karena tuntutan dan keserasian yang lahir melalui pertimbangan dalam menggubah perpindahan itu, untuk menghiasi percakapan dan mewarnai seruan agar tidak jemu dengan satu keadaan dan sebagai dorongan untuk lebih memperhatikan, karena dalam setiap yang baru itu ada kenyamanan, sedangkan sebagian iltifat memiliki kelembutan, pemiliknya adalah yang memiliki rasa bahasa yang baik.

Sedangkan menurut Al-Zamakhsayri, iltifat sesungguhnya menyalahi realita dalam mengungkapkan sesuatu dengan jalan menyimpang dari salah satu yang tiga kepada yang lainnya.

Ada juga yang berpendapat lain bahwa iltifat itu bukan hanya perpindahan dhamir tapi juga perpindahan gaya bahasa seperti yang diungkapkan oleh Abdurrahman Al-Akhdari yang menyatakan bahwa iltifat adalah perpindahan dari sebagian gaya bahasa kepada gaya bahasa lain untuk mendapat perhatian.

Monday, May 28, 2018

AL ZAYYAN HARI 12 : AL-‘UDUUL ("PENYIMPANGAN") BAHASA ARAB DALAM AL-QUR’AN



Susunan ayat-ayat al-Qur’an selalu menarik untuk dikaji dan digali maknanya. Bahasa Arab yang digunakan dalam al-Qur’an sebenarnya sederhana, tapi saat turun di jazirah Arab sana, yang saat itu sedang marak dengan para ahli bahasa Arab serta penyair, ternyata kemunculan al-Qur’an mengundang decak kagum, karena walaupun sederhana kata-katanya, tapi ternyata makna dan nilai sastranya sangat tinggi. Terbukti para ahli bahasa Arab, termasuk para penyair saat itu, tak sanggup memenuhi tantangan al-Qur’an, bahkan hanya untuk membuat satu ayat saja, mereka tak sanggup.

Hal inilah yang menarik untuk dikaji, ada apa dengan bahasa Arab yang digunakan dalam al-Qur’an? Sebenarnya ada beberapa struktur dalam ayat al-Qur’an, yang keluar dari tata bahasa Arab yang berlaku saat itu, alih-alih itu bersifat menyimpang, ternyata saat dikaji, mengandung mujizat sastrawi yang tinggi.

Struktur bahasa Arab al-Qur’an yang keluar dari tata bahasa Arab yang berlaku saat itu, disebut deviasi. Istilah Arabnya adalah ‘uduul (penyimpangan). Disebut menyimpang karena kalimat yang digunakan berbeda dengan tata bahasa Arab yang berlaku dan dikenal saat itu. Beberapa contoh ‘uduul diantaranya adalah iltifat (yang sudah dibahas di notes saya sebelum2nya) dan penyimpangan penggunaan kata kerja. Kali ini kita akan membahas tentang penyimpangan dalam penggunaan kata kerja (fi’il).

Sunday, May 27, 2018

Al Zayyan Hari 11 : Puasa dan Harapan (Hikmah Rangkaian Kata la’alla dalam Ayat-ayat Puasa)



Ayat-ayat yang membicarakan puasa dalam surat al-Baqarah, menjadi “primadona” dan banyak diperbincangkan di bulan Ramadhan ini, yaitu mulai ayat 183 hingga 187. Ada 2 fenomena menarik jika kita amati akhir ayat dari 5 ayat tersebut yaitu pertama, diakhiri kata la’allakum (kecuali ayat 184), kedua, setelah kata la’alla diakhiri dengan kata kerja benttuk masa kini /mendatang atau fi’il mudhari. Mari kita buktikan dengan membacanya...

Surat al Baqarah ayat 183

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu senantiasa bertakwa (QS al-Baqarah: 183)

Surat al Baqarah ayat 184

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Surat al Baqarah ayat 185

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Surat al Baqarah ayat 186

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.


Surat al Baqarah ayat 187

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah Allah tetapkan untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka senantiasa bertakwa.

Saturday, May 26, 2018

Al Zayyan Hari 10 : KEHEBATAN MAKNA LA’ALLAKUM TATTAQUN (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ)



Untuk memahami makna La’allakum Tattaqun, kita harus mengamati penggunaan kata tersebut dalam Al-Qur’an. Kata la’alla dipergunakan dalam berbagai bentuk dengan intensitas kemunculan berbeda-beda, yaitu :
1.      La’alla (لَعَلَّ) sebanyak 3 kali
2.      La’allii (لَعَلَّي) sebanyak 6 kali
3.      La’allanaa (لَعَلَناّ) sebanyak 1 kali
4.      La’allaka (لَعَلَّك) sebanyak 2 kali
5.      La’allakum (لَعَلَّكم) sebanyak 59 kali
6.      La’allahu (لَعَلَّه) sebanyak 3 kali
7.      La’allahum (لَعَلَّهم) sebanyak 40 kali

Total berjumlah 114 kali

Secara bahasa, makna la’alla menurt Ibnu Manzhur dalam kamus Lisanul Arab adalah Menurut al-jauhari, la’alla adalah kata yang menunjukkan keraguan (syakk). Aslinya adalah ‘alla, sementara huruf lam pada awalnya adalah tambahan. Dalam Al-Qur’an kata itu bermakna kay (semoga). Menurut Ibnul Atsir, Kata la’alla jika berasal dari Allah, maka ia adalah jaminan kepastian (tahqiq).

Friday, May 25, 2018

Al Zayyan Hari 9 : Kehebatan Makna dibalik Kata “kamaa kutiba ‘alalladziina min qablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ)



Butuh waktu agak lama bagi saya untuk memahami kalimat “kamaa kutiba ‘alalladziina min wablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) ini dari segi struktur bahasanya, karena ternyata pembahasan menjadi melebar pada kajian balaghah terutama tentang tasybih dalam ilmu Bayan, salah satu bidang kajian ilmu Balaghah. Mata kuliah yang sudah lama tersimpan rapi di lemari, tampaknya minta disegarkan kembali saat saya mencoba memahami kalimat ini.

Dan sejak saya menulis untuk proyek ini, menjadi berkah tersendiri karena saya akhirnya menemukan beberapa artikel dan tulisan berisi analisis bahasa dari ayat tentang puasa, yang sebelumnya luput dari pemahaman. Setelah membacanya pun, saya harus berfikir memutar otak berkali-kali untuk memahami struktur kalimat ini. Betapa susunan kalimat Al-Qur’an itu hebat dan mempesona sekali. Satu ayat saja bisa menjadi ribuan buku dan jurnal. Tak butuh banyak referensi luar, Al-Qur’an saja kita kupas, tak akan habis umur kita untuk memahami seluruh ayat-ayatnya. Mari kita bahas penggalan kalimat dalam ayat tentang puasa ini.

Kalimat ini “kamaa kutiba ‘alalladziina min wablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) sesungguhnya adalah bagian yang paling banyak ditafsirkan para mufassir, karena ternyata harus mencari sumber referensi tentang sejarah puasa sejak zaman dahulu kala, yang tercakup dari kata min qablikum.  Terbukti bahwa Al Qur’an ini bukan karangan Nabi Muhammad karena bisa mengungkapkan isyarat wajibnya puasa pada umat terdahulu, tentu jauh sebelum Nabi Muhammad lahir.

Penggalan kalimat dalam ayat ini layak kita pertanyakan, mengapa Allah harus mencantumkan kalimat ini dalam ayat 183 tentang perintah puasa. Tanpa kalimat itupun, perintah puasa sudah cukup, dengan kalimat “Wahai Orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, agar kamu bertakwa” itu saja, sudah cukup sebagai indikator wajibnya puasa. Tapi Allah selipkan kalimat “kamaa kutiba ‘alalladziina min wablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) tersebut, tentu bukan sebagai penghias atau faktor kebetulan semata. Tampaknya ada tujuan, maksud dan hikmah yang besar, penting dan hebat dibalik kalimat ini.

Thursday, May 24, 2018

Al Zayyan Hari 8: Perbandingan Kata Kutiba (كتب) dan Faradha (فرض)



Saya senang sekali bahasa Arab dari dulu, terutama senang mengamati dan mendalami penggunaan bahasa Arab dalam Al-Qur’an. Skripsi dan tesis saya, tak jauh dari bahasa Arab dalam Al-Qur’an. Semakin dikaji, bahasa Al-Qur’an ini semakin menarik dan semakin dalam makna nya. Satu ayat bisa dikaji dari berbagai sisi. Bagi yang tertarik dengan bahasanya, bisa menganalisa dari aspek bahasanya. Bagi yang senang dengan isyarat ilmiahnya, silakan kaji dari sisi sains nya. Yang senang berkecimpung dengan hukum, ada tafsir ayat ahkam yang khusus membahas Al-Qur’an dari sisi hukumnya. Berapa banyak buku dan jurnal ditulis, yang mengungkapkan kehebatan Al-Qur’an sebagai mujizat akhir zaman.

Proyek Ramadhan Al Zayyan ini, salah satunya ingin membahas aspek bahasa dalam ayat 183 surat Al-Baqarah yang menjadi primadona dalam kajian dan ceramah seputar Ramadhan. Dan ternyata satu ayat ini, belum selesai dibahas hingga hari ke-8 ini. Bagaimana dengan 113 ayat lainnya, tentu menakjubkan sekali jika masing-masing bidang, membahas kehebatan Al-Qur;an sesuai bidang keilmuan yang dimiliki.

Kali ini, kita akan membahas penggunaan kata kutiba, yang akan kita bandingkan dengan kata faradha  dalam Al-Qur’an. Naluri “kebahasa Araban” saya, hanya fokus pada jenis pasifnya kata tersebut, sementara suami, lebih jeli lagi. Ia menantang saya untuk membandingkan kata kutiba, dengan faradha  bahkan dengan kata wajaba. Tapi sejak beberapa hari yang lalu, mencari dan mendalami referensi tentang kata kutiba dan faradha saja sudah membuat kepala pening dihantui rasa penasaran. Sepertinya kata wajaba tidak akan sempat dibahas pada tulisan ini, karena dua kata ini saja, sepertinya akan menjadi panjang.

Membandingkan penggunakan dua kata ini dalam Al-Qur;an, saya harus mencari secara detail ayat mana saja yang menggunakan kata kutiba dan faradha dan turunannya. Penggunaan kata kutiba dalam Al-Qur’an, sudah dibahas pada tulisan sebelumnya, ada disini. Maka kali ini, kita akan amati penggunaan kata faradha dan derivasi/turunannya dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

Postingan Favorit