Sunday, May 27, 2018

Al Zayyan Hari 11 : Puasa dan Harapan (Hikmah Rangkaian Kata la’alla dalam Ayat-ayat Puasa)



Ayat-ayat yang membicarakan puasa dalam surat al-Baqarah, menjadi “primadona” dan banyak diperbincangkan di bulan Ramadhan ini, yaitu mulai ayat 183 hingga 187. Ada 2 fenomena menarik jika kita amati akhir ayat dari 5 ayat tersebut yaitu pertama, diakhiri kata la’allakum (kecuali ayat 184), kedua, setelah kata la’alla diakhiri dengan kata kerja benttuk masa kini /mendatang atau fi’il mudhari. Mari kita buktikan dengan membacanya...

Surat al Baqarah ayat 183

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu senantiasa bertakwa (QS al-Baqarah: 183)

Surat al Baqarah ayat 184

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Surat al Baqarah ayat 185

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Surat al Baqarah ayat 186

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.


Surat al Baqarah ayat 187

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah Allah tetapkan untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka senantiasa bertakwa.

Saturday, May 26, 2018

Al Zayyan Hari 10 : KEHEBATAN MAKNA LA’ALLAKUM TATTAQUN (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ)



Untuk memahami makna La’allakum Tattaqun, kita harus mengamati penggunaan kata tersebut dalam Al-Qur’an. Kata la’alla dipergunakan dalam berbagai bentuk dengan intensitas kemunculan berbeda-beda, yaitu :
1.      La’alla (لَعَلَّ) sebanyak 3 kali
2.      La’allii (لَعَلَّي) sebanyak 6 kali
3.      La’allanaa (لَعَلَناّ) sebanyak 1 kali
4.      La’allaka (لَعَلَّك) sebanyak 2 kali
5.      La’allakum (لَعَلَّكم) sebanyak 59 kali
6.      La’allahu (لَعَلَّه) sebanyak 3 kali
7.      La’allahum (لَعَلَّهم) sebanyak 40 kali

Total berjumlah 114 kali

Secara bahasa, makna la’alla menurt Ibnu Manzhur dalam kamus Lisanul Arab adalah Menurut al-jauhari, la’alla adalah kata yang menunjukkan keraguan (syakk). Aslinya adalah ‘alla, sementara huruf lam pada awalnya adalah tambahan. Dalam Al-Qur’an kata itu bermakna kay (semoga). Menurut Ibnul Atsir, Kata la’alla jika berasal dari Allah, maka ia adalah jaminan kepastian (tahqiq).

Friday, May 25, 2018

Al Zayyan Hari 9 : Kehebatan Makna dibalik Kata “kamaa kutiba ‘alalladziina min qablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ)



Butuh waktu agak lama bagi saya untuk memahami kalimat “kamaa kutiba ‘alalladziina min wablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) ini dari segi struktur bahasanya, karena ternyata pembahasan menjadi melebar pada kajian balaghah terutama tentang tasybih dalam ilmu Bayan, salah satu bidang kajian ilmu Balaghah. Mata kuliah yang sudah lama tersimpan rapi di lemari, tampaknya minta disegarkan kembali saat saya mencoba memahami kalimat ini.

Dan sejak saya menulis untuk proyek ini, menjadi berkah tersendiri karena saya akhirnya menemukan beberapa artikel dan tulisan berisi analisis bahasa dari ayat tentang puasa, yang sebelumnya luput dari pemahaman. Setelah membacanya pun, saya harus berfikir memutar otak berkali-kali untuk memahami struktur kalimat ini. Betapa susunan kalimat Al-Qur’an itu hebat dan mempesona sekali. Satu ayat saja bisa menjadi ribuan buku dan jurnal. Tak butuh banyak referensi luar, Al-Qur’an saja kita kupas, tak akan habis umur kita untuk memahami seluruh ayat-ayatnya. Mari kita bahas penggalan kalimat dalam ayat tentang puasa ini.

Kalimat ini “kamaa kutiba ‘alalladziina min wablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) sesungguhnya adalah bagian yang paling banyak ditafsirkan para mufassir, karena ternyata harus mencari sumber referensi tentang sejarah puasa sejak zaman dahulu kala, yang tercakup dari kata min qablikum.  Terbukti bahwa Al Qur’an ini bukan karangan Nabi Muhammad karena bisa mengungkapkan isyarat wajibnya puasa pada umat terdahulu, tentu jauh sebelum Nabi Muhammad lahir.

Penggalan kalimat dalam ayat ini layak kita pertanyakan, mengapa Allah harus mencantumkan kalimat ini dalam ayat 183 tentang perintah puasa. Tanpa kalimat itupun, perintah puasa sudah cukup, dengan kalimat “Wahai Orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, agar kamu bertakwa” itu saja, sudah cukup sebagai indikator wajibnya puasa. Tapi Allah selipkan kalimat “kamaa kutiba ‘alalladziina min wablikum” (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) tersebut, tentu bukan sebagai penghias atau faktor kebetulan semata. Tampaknya ada tujuan, maksud dan hikmah yang besar, penting dan hebat dibalik kalimat ini.

Thursday, May 24, 2018

Al Zayyan Hari 8: Perbandingan Kata Kutiba (كتب) dan Faradha (فرض)



Saya senang sekali bahasa Arab dari dulu, terutama senang mengamati dan mendalami penggunaan bahasa Arab dalam Al-Qur’an. Skripsi dan tesis saya, tak jauh dari bahasa Arab dalam Al-Qur’an. Semakin dikaji, bahasa Al-Qur’an ini semakin menarik dan semakin dalam makna nya. Satu ayat bisa dikaji dari berbagai sisi. Bagi yang tertarik dengan bahasanya, bisa menganalisa dari aspek bahasanya. Bagi yang senang dengan isyarat ilmiahnya, silakan kaji dari sisi sains nya. Yang senang berkecimpung dengan hukum, ada tafsir ayat ahkam yang khusus membahas Al-Qur’an dari sisi hukumnya. Berapa banyak buku dan jurnal ditulis, yang mengungkapkan kehebatan Al-Qur’an sebagai mujizat akhir zaman.

Proyek Ramadhan Al Zayyan ini, salah satunya ingin membahas aspek bahasa dalam ayat 183 surat Al-Baqarah yang menjadi primadona dalam kajian dan ceramah seputar Ramadhan. Dan ternyata satu ayat ini, belum selesai dibahas hingga hari ke-8 ini. Bagaimana dengan 113 ayat lainnya, tentu menakjubkan sekali jika masing-masing bidang, membahas kehebatan Al-Qur;an sesuai bidang keilmuan yang dimiliki.

Kali ini, kita akan membahas penggunaan kata kutiba, yang akan kita bandingkan dengan kata faradha  dalam Al-Qur’an. Naluri “kebahasa Araban” saya, hanya fokus pada jenis pasifnya kata tersebut, sementara suami, lebih jeli lagi. Ia menantang saya untuk membandingkan kata kutiba, dengan faradha  bahkan dengan kata wajaba. Tapi sejak beberapa hari yang lalu, mencari dan mendalami referensi tentang kata kutiba dan faradha saja sudah membuat kepala pening dihantui rasa penasaran. Sepertinya kata wajaba tidak akan sempat dibahas pada tulisan ini, karena dua kata ini saja, sepertinya akan menjadi panjang.

Membandingkan penggunakan dua kata ini dalam Al-Qur;an, saya harus mencari secara detail ayat mana saja yang menggunakan kata kutiba dan faradha dan turunannya. Penggunaan kata kutiba dalam Al-Qur’an, sudah dibahas pada tulisan sebelumnya, ada disini. Maka kali ini, kita akan amati penggunaan kata faradha dan derivasi/turunannya dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

Wednesday, May 23, 2018

Al Zayyan Hari 7: Kesalahan Kecil Berakibat Fatal dalam menerjemahkan ayat terakhir surat Al-Fatihah.



Saat saya menempuh pendidikan SMP di pesantren, saya belajar banyak tentang bahasa Arab. dari mulai nol tidak tau sama sekali, hingga sedikit demi sedikit bisa mengerti bahasa Arab, walaupun tidak mendalam. karena pesantren yang seharusnya ditempuh selama 6 tahun, saya tinggalkan dengan memilih pendidikan umum di tingkat SMU.

Dulu, saya tidak mengerti mengapa saya harus menghafal nahwu dan sharf yang bejibun rumusnya. sekarang saya harus berterima kasih pada pesantren karena disitulah secara kognitif, saya mendapatkan banyak ilmu. setelah kuliah, barulah sedikit demi sedikit bisa mengaplikasikan apa yang sudah dipelajari dulu, dalam kajian al-Quran. Terutama setelah membaca tafsir al-Misbah karya Quraisy Shihab yang banyak menjelaskan tafsir dari aspek bahasa.

Salah satu pembahasan yang menarik dalam surat al-fatihah adalah kajian dhamir (pronoun/kata ganti) dalam ayat terakhir surat al-fatihah


صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ

pada kata "an'amta" أَنْعَمْتَ yang artinya Telah Engkau beri ni'mat, disini memakai past tense yang subjeknya adalah Engkau atau Allah. sedangkan pada kata "al-magdhubi" الْمَغْضُوبِ yang artinya "yang dimurkai" dan "adh-dhallin" الضَّالِّينَ yang artinya "orang-orang yang sesat" menggunakan isim yang tidak jelas siapa subjeknya.

Tuesday, May 22, 2018

Al Zayyan Hari 6 : Persamaan dan Perbedaan kata shaum ( صَوْم) dan shiyam (صِيَام)


Selama ini, kebanyakan dari kita menganggap tak ada perbedaan antara shaum ( صَوْم) dan shiyam (صِيَام), toh terjemahannya pun diartikan sama yaitu puasa. Tapi jika kita analisis lebih lanjut, apalagi nanti jika dikombinasi dengan hadits terkait, ternyata ada perbedaan mendasar antara shaum ( صَوْم) dan shiyam (صِيَام). Hal ini baru bisa kita fahami, jika kita telusuri akar kata dan bentuk katanya. Sementara, saat diterjemahkan, keduanya diberi arti, Puasa. Begitulah terbatasnya bahasa penerjemahan, tak bisa mewakili makna yang mendalam dari bahasa aslinya.

Kata shaum ( صَوْم) dan shiyam (صِيَام) adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata shaama-yashuumu (صام - يصوم). Keduanya sama-sama disebut dalam Al-Qur’an.

Kata shaum disebutkan sekali yaitu dalam surat Maryam ayat 26 yang berbunyi:
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
“Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seseorang, katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar shaum untuk Tuhan Yang Maha Pemurah; aku tidak akan berbicara dengan seorang pun pada hari ini.”
Kata shaum dalam ayat tersebut menurut Jumhur mufasir bermakna shamt (perihal diam, perihal tidak berkata-kata—menahan diri dari berkata-kata). Arti itu dipertegas dengan kalimat berikutnya: fa lan ukallima al-yauma insiyya. Aku tidak akan berbicara dengan seorang pun pada hari ini.
Sedangkan kata“shiyam” dalam Al-Quran disebutkan 9 kali dal

Monday, May 21, 2018

Al Zayyan Hari 5 : MENGAPA AL-QURAN BERBAHASA ARAB? (STUDI KASUS PADA AYAT TENTANG PESAN LUQMAN)




كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui  (QS. AL-FUSHSHILAT, 41: 3)

Mengapa al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab?? Mengapa tidak menggunakan bahasa lain? Ada apa sich dengan bahasa Arab? Sebegitu istimewanya kah bahasa ini hingga dipilih Allah utk menyampaikan ajaranIslam?

Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati, mengungkapkan “Kalau anda ingin menyampaikan pesan ke seluruh penjuru, sebaiknya anda berdiri di tengah dan di jalur yang memudahkan pesan itu tersebar. Hindari tempat dimana ada suatu kekuatan yang dapat menghalangi dan atau merasa dirugikan dengan penyebarannya, kemudian pilih penyampai pesan yang simpatik,berwibawa dan berkemampuan sehingga menjadi daya tarik tersendiri. Timur tengah adalah penghubung Timur dan Barat. Wajarlah jika kawasan ini menjadi tempat menyampaikan pesan Ilahi yang terakhir dan yang ditujukan kepada seluruh manusia di seluruh penjuru dunia.”




Dan bahasa yang digunakan di Timur Tengah adalah bahasa Arab. Ada banyak bahasa di dunia ini yang sudah punah bersamaan dengan menghilangnya para penutur aslinya atau bahasa-bahasa tersebut akan melemah bersamaan dengan lemahnya para pengguna bahasa tersebut, seperti bahasa Yunani, Mesir, bahasa Phoenisia dan lain-lain. Tapi bahasa Arab, hingga saat ini masih ada dan terus terpelihara pada setiap struktur bahasanya, baik aspek fonetik, morfologi, sintaksis dan semantiknya. Apa yang membuat bahasa Arab ini memiliki keistimewaan konsistensi seperti itu? Ternyata jawabannya karena  al-Qur’an. Dengan diturunkannya al-Qur’an, banyak manusia berbondong-bondong ingin mempelajari bahasa Arab, baik dari kalangan orang Arab maupun non-Arab. Hal inilah yang menjadikan bahasa Arab akan tetap menjadi bahasa yang tidak akan punah dan tetap terpelihara seiring dengan terpeliharanya al-Qur’an.

Lalu mengapa al-Qur’an yang berbahasa Arab ini lah yang dipilih Allah sebagai mujizat Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir hingga akhir zaman? Mengapa bukan hal lain seperti mujizat Nabi Musa dan Nabi Isa yang bersifat inderawi? Sebelum kesana, mari kita perhatikan definisi mujzat menurut para ahli.

Mujizat adalah sesuatu yang luar biasa yang dihadirkan oleh seorang nabi untuk menantang siapa yang tidak mempercayainya sebagai nabi dan tantangannya itu tidak dapat dihadapi oleh banyak yang ditantang. Mujizat juga bisa bermakna hal yang tidak wajar, keluar dari hukum kausalitas yang telah dipahami. Begitulah definisi mujizat menurut para pakar.

Setiap nabi yang diberi mu’jizat oleh Allah untuk suatu kaum, maka mujizatnya akan disesuaikan dengan kondisi keahlian kaumnya. Sesuatu yang luar biasa pada saat nabi diutus pada suatu kaum, maka mujizatnya pun menyesuaikan. Seperti pada zaman kaum Fir’aun, pada saat itu yang menjadi trend nya adalah sihir, maka Nabi Musa pun diutus dengan mujizat berupa tongkat yang bisa menjadi ular.
Lalu pada saat Nabi Isa diutus pada kaumnya, saat itu ilmu kedokteran sedang mencapai puncak kejayaannya, maka datanglah Nabi Isa dengan membawa mujizat yaitu bisa menyembuhkan orang sakit dan bisa menghidupkan orang mati, sesuatu yang tidak bisa dilakukan ilmu kedokteran saat itu. Jika mujizat kedua nabi itu ditukar, tentu tidak akan cocok dengan kondisi kaumnya.

Begitupula saat Nabi Muhammad diutus, pada masa itu sastra dan penyair sangat dielu-elukan dan mencapai puncak kejayaannya, bahkan beberapa karya sastra sampai dipajang di Ka’bah sebagai bentuk penghormatan bagi sesuatu yang dianggap luar biasa saat itu. Ketika al-Qur’an turun dengan bahasa yang sederhana tapi mendalam maknanya, gemparlah masyarakat Arab saat itu. Bagi kita yang kurang mendalami bahasa Arab, mungkin tidak akan terlalu terasa kemujizatan bahasa Arab dalam al-Qur’an. Tapi bagi para penyair saat itu, bahasa al-Qur’an itu membuat mereka kagum. Banyak aspek yang membuat bahasa Arab yang ada dalam al-Qur’an ini sangat mengagumkan, diantaranya permulaan kata-kata dalam setiap surahnya sangat rapi, keserasian antar ayat serta keterikatan hubungan antara yang satu dengan yang lain sehingga dalam satu kalimat terdapat kesatuan makna yang serasi dann struktur yang tersusun rapi, gaya bahasa yang digunakan, dan yang terpenting adalah isi kandungannya yang mencakup berbagai aspek dalam kehidupan. Faktor bahasa dan isi kandungan nya lah yang membuat Al-Quran menjadi mujizat hingga saat ini. Dari satu surat al-Fatihah saja, sudah lahir ribuan bahkan jutaan buku yang menjelaskan kedua aspek tersebut, yaitu aspek bahasa dan makna nya.

Sebagai contoh terkait dengan bahasa dan makna nya, kita akan membahas wasiat Luqman pada anaknya. Wasiat Luqman ini terdapat pada surat Luqman dari ayat 13 sampai ayat 20.
Pada ayat 14:

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”

Pada ayat ini, redaksi awal yang dipakai adalah “Kami Perintahkan”. Subjek pada ayat  ini bukanlah Luqman yang berbicara, tapi Allah langsung yang memerintahkan. Berbeda dengan ayat sebelumnya pada ayat 13:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberii pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar".

Pada ayat 13, jelas sekali bahwa Luqman lah yang berperan sebagai subjek yaitu yang memberi nasehat secara langsung pada anaknya, hal ini diperjelas dengan adanya kata “Hai anakku”. Tapi pada ayat 14 tentang perintah untuk berbakti pada orang tua, ternyata redaksi yang digunakan adalah “Kami perintahkan” dalam hal ini Allah langsung yang memerintahkan. Adakah rahasia di balik penggunaan subjek yang berbeda pada kedua ayat tersebut? Ternyata, alasannya ada 2 yaitu:

Pertama, perintah orang tua adalah perintah yang besar, begitu pula nasehatnya, maka Allah tidak membiarkan Luqman untuk menasehati anaknya. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kedudukan orang tua disisi Allah itu adalah sangat tinggi, bahkan perintah berbakti kepada orang tua diletakkan di tempat tertinggi kedua setelah perintah untuk tidak menyekutukan Allah. Karena itulah, redaksi yang digunakan bukan redaksi manusia lagi seperti di ayat 13, tapi Allah langsung yang memerintahkan.

Kedua, seandainya Allah membiarkan Luqman berkata, “Anakku, taatilah kedua orang tuamu” maka berarti hal ini termasuk hal yang dibuat-buat. Karena, ketika memberi nasehat, biasanya kita melihat orang yang menasehatinya, apakah orang yang memberi nasehat itu telah sesuai dengan nasehat yang diberikannya? Apakah nasehat ini akan memberi keuntungan pada sang pemberi nasehat? Maka seandainya Allah membiarkan Luqman memberi nasehat pada anaknya, maka kemungkinan sang anak akan mengira bahwa ayahnya (Luqman) akan memperoleh keuntungan dari dirinya. Akan tetapi, saat redaksi yang digunakan adalah Allah sendiri yang memberi nasehat, maka tidak ada manfaat yang kembali kepada Luqman dan Allah pun tidak akan mendapatkan keuntungan apapun.

Di ayat berikutnya, redaksi nya kembali menggunakan Luqman sebagai subjek, dengan kembali menggunakan “hai anakku” yaitu nasehat tentang balasan dari setiap perbuatan di ayat 16, tentang shalat dan amar ma’ruf nahi munkar di ayat 17, tentang larangan untuk bersikap angkuh di ayat 18 dan tentang menyerdehanakan berjalan dan melembutkan suara di ayat 19.
Hal ini juga mengandung hikmah bahwa saat orang tua menasehati anaknya, dalam hal apapun boleh menasehati secara langsung, tapi terkait dengan menasehati untuk berbakti pada orang tua, maka redaksi yang dicontohkan al-Qur’an adalah secara tidak langsung, sehingga seolah-olah tidak seperti “hai anakku, hormatilah dan berbaktilah pada kami”. Demikian hikmah dari pesan Luqman pada anaknya.

Lalu, hal menarik lainnya adalah penggunaan kata بِوَالِدَيْهِ di ayat 14. Kata “Walidain” dalam bahasa Arab adalah bermakna orang tua. Kata lain yang bermakna orang tua adalah “abawain”. Penggunaan kata “walidain” di ayat ini (dan bukan menggunakan kata “abawain”) tentu bukan hal yang kebetulan, tapi ada maksudnya dan adanya saling keterhubungan antara redaksi dan makna (munasabah). Pada ayat 14 ini yang disinggung lebih banyak adalah peran ibu seperti mengandung dan menyapih, yang diantara keduanya ada proses melahirkan (wiladah). Kata “Walidain” yang berarti orang tua sangat berhubungan dengan wiladah yang dalam hal ini dialami para ibu. Maka dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa berbuat baik kepada ibu, harus lebih banyak dibanding kepada ayah. Karena peran ibu lebih berat dibanding peran ayah (dengan tidak mengurangi rasa hormat pada peran ayah). Ada banyak ibu yang bisa berperan sebagai ayah yaitu sebagai pencari nafkah, tapi ada beberapa peran ibu yang tidak bisa dilakukan para ayah seperti mengandung dan melahirkan. Ini diperkuat dengan sebuah hadits yang menyuruh berbakti pada ibu 3 kali, baru setelah itu berbakti pada ayah.

Sementara kata “abawain” menunjukkan makna maskulin lebih dominan (dari kata “abun” atau ayah), dan kata ini hanya digunakan satu kali yaitu pada ayat tentang waris. Hal ini disebabkan bahwa bagian bapak lebih besar daripada bagian ibu. Akan tetapi ayat yang menyebutkan tentang kebaikan, pesan atau doa, pasti menggunakan kata “walidain” seperti doa yang sering kita abaca (Rabbigfirli waliwalidayya) … ini jugalah yang turut memperkuat bahwa berbakti dan mendoakan ibu harus lebih banyak. Tentu saja mendoakan keduanya harus tetap kita lakukan.

Demikianlah hikmah dari penggunaan bahasa Arab dalam al-Qur’an, yang ternyata mengandung makna yang sangat dalam. Dan Allah lah Pemilik segala ilmu. Segala puji hanya bagi Allah.

Wallahu’alam bish-shawwab
Referensi:
   1.     Ensiklopedia Mujizat al-Qur’an dan Hadits, Hisyam Thalbah dkk
   2.    Quraish Shihab, Lentera Hati
   3.    Al-Quran yang Menakjubkan, Prof. Issa J. Boullata

Wassalam
Serpong, Senin, 21 Mei 2018, repost dari Rabu, 28 November 2012
Ayo belajar bahasa Arab … karena bahasa Arab itu menyenangkan …

Serpong, Senin, 21 Mei 2018 / 5 Ramadhan 1439 H, 10.00

#KolaborasiZaiNovi
#ProyekRamadhanAlZayyan
#AlZayyanHari5
#Karya5TahunPernikahan
#SerunyaBelajarBahasaArab

Al Zayyan Hari 3 : Perbedaan makna aamanuu dan al muminuun

Mungkin sebagian diantara kita ada yang bertanya, mengapa Allâh Swt kadang membuka ayat al-Qur’an dengan menggunakan kalimat ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ) dan tidak menggunakan kalimat (يا أيها المؤمنون)? Padahal dua kalimat ini sepintas memiliki terjemah makna yang sama dalam bahasa Indonesia, yaitu wahai orang-orang beriman. Tentu hal ini bukanlah suatu hal yang kebetulan dan tanpa ada alasannya.

Sesungguhnya ini menunjukkan bukti kemujizatan bahasa al-Qur’an dalam menerapkan diksi dan kosakata, sekaligus menjadi bukti yang menegaskan bahwa al-Qur’an bukanlah hasil rekayasa Nabi Muhammad Saw. Pengunaan setiap kata, frase dan kalimat dalam al-Qur’an ini sangat detil dan tepat karena sesuai konteks dan mengandung makna yang sangat mendalam. Mari kita buktikan …


Sunday, May 20, 2018

Al Zayyan Hari 4 : Rahasia Indah Dibalik kata Kutiba (كُتِبَ) dan Kataba (كَتَبَ)



Untuk memahami arti dan makna kata Kutiba (كُتِبَ) dan Kataba (كَتَبَ), kita harus melihat secara utuh penggunaan kata-kata tersebut dalam Al-Qur’an. Kata kutiba (كتب) disebutkan 4 kali dalam Al-Qur’an, semuanya dalam surat Al-Baqarah yaitu ayat 178 tentang qishash, ayat 180 tentang wasiat, ayat 183 tentang puasa, dan ayat 216 tentang perang. Berikut adalah bunyi ayat-ayat tersebut.
Ayat 178 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.

Ayat 180 :

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa

Ayat 183 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.
Ayat 216 :

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Keempat ayat tersebut menggabungkan kata “kutiba” dengan harf “ala (عَلَيْ)”. Arti kataba, awalnya adalah menulis, tapi saat digabung dengan harf “ala”, artinya menjadi “wajib”. Kutiba adalah kata kerja bentuk lampau (fiil madhi) yang pasif (majhul) sehingga artinya menjadi diwajibkan. Setelah huruf ‘ala, dhamir (kata ganti) yang digunakan adalah kum atau kalian (L) yang merupakan kata ganti orang kedua.

Friday, May 18, 2018

Al Zayyan Hari 2 : ASAL USUL KATA RAMADHAN



Kita seringkali mendengar kata Ramadhan, tapi arti kata Ramadhan secara bahasa dan istilah tak banyak kita fahami. Sejarah nama Ramadhan ini seru sekali untuk dikaji karena ternyata banyak sekali teori yang mengupas tentang asal mula kata Ramadhan ini.

Setidaknya ada 5 pendapat yang menjelaskan tentang asal usul nama kata Ramadhan yaitu:

     1.      Menurut beberapa ahli bahasa yang dirangkum An Nawawi dalam kitabnya “Tahdzib al Asma wa al-Lughat”, kata Ramadhan diambil dari kata ar-Ramd ( الرمض) yang artinya panasnya batu karena terkena terik matahari. Bulan ini dinamakan Ramadhan, karena kewajiban puasa di bulan ini bertepatan dengan musim panas yang sangat terik (saat itu). Pendapat ini disampaikan oleh al-Ashma’i – ulama ahli bahasa dan syair arab – (w. 216 H), dari Abu Amr.
      2.      Kata Ramadhan berasal dari kata ar-Ramidh ( الرميض), yang artinya awan atau hujan yang turun di akhir musim panas, memasuki musim gugur. Hujan ini disebut ar-Ramidh karena melunturkan  pengaruh panasnya matahari. Bulan ini disebut Ramadhan, karena membersihkan badan dari berbagai dosa. Ini adalah pendapat al-Kholil bin Ahmad al-Farahidi – ulama tabiin ahli bahasa, peletak ilmu arudh – (w. 170 H)

Thursday, May 17, 2018

Al-Zayyan Hari 1 : MARHABAN DAN TARHIB (RAMADHAN): HA KECIL ATAU HA BESAR?



Saat kita memasuki bulan Ramadhan, kita sering mendengar kalimat marhaban Ya Ramadhan dan tarhib Ramadhan. Penulisan kata marhaban dan tarhib, kadangkala keliru, terutama huruf ha pada kedua kata itu, apakah memakai ha kecil, atau ha besar. Dalam bahasa Arab, perbedaan satu huruf saja bisa menyebabkan salah makna, bahkan bisa saling bertentangan.  

Secara etimologis, kata marhaban dan tarhib berasal dari akar satu kata yang  sama yaitu rahaba yarhabu rahbun (رحب, يرحب, رحب)  yang bermakna keluasan, kelapangan (Kamus Kontemporer Arab Indonesia).

Dalam kamus Al-Munjid,   مرحبا berasal dari kata rahiba yang artinya menyambut.

Kata tarhib terdiri dari dua makna , yaitu yang menggunakan kata ha kecil dan ha besar.

Tuesday, May 15, 2018

Kenapa Saya Diuji? (Bagian Kedua): 5 hal yang harus diperhatikan



Saat kita diuji, entah itu penantian jodoh, penantian buah hati, ujian kelebihan atau kekurangan harta, dan lain-lain, biasanya kita lebih fokus pada ujiannya dibanding mengevaluasi diri sendiri. Padahal ujian yang kita alami, bisa jadi merupakan buah atau balasan dari apa yang kita lakukan. Maka menyalahkan diri sendiri, jauh lebih “berkelas” dibanding mencari-cari kesalahan orang lain atas apa yang kita alami.

Saat menanti jodoh dulu, kadangkala saya bersikap ketus terhadap orang-orang yang mempertanyakan “Kapan” saya menikah, karena seringkali memang menyebalkan sekali, saat kita dituduh macam-macam dalam penantian jodoh, mulai dari pilihan terlalu “tinggi”, milih-milih, mengutamakan karir, dan segala macam alasan yang rasanya “memuakkan” sekali. Seandainya boleh memilih, siapa yang ingin “terlambat” menikah, jika dibilang ga mau berusaha, rasanya ingin saya tunjukkan blog saya untuk dibaca, berapa puluh kali saya mencoba proses taaruf yang tak kunjung berhasil. Tapi yang tak mudah adalah tetap ramah dan berbesar hati dengan berbagai komentar orang.

Maka, setelah saya merenung, satu sisi ujian memang pertanda kasih sayang Allah pada kita, tapi sisi lain, kita juga harus “ngobrol” dengan diri sendiri, mungkin ada beberapa perilaku atau kata-katta kita yang salah, sehingga kita diuji terus, kadang dengan hal yang sama, agar kita lulus menjadi “hamba terbaik” di hadapan manusia, juga Allah.

Berikut adalah 5 hal yang mungkin harus kita perhatikan saat kita mendapat ujian kehidupan:
      
      1.      Pernah menyakiti orang lain
Saat  kita diuji, yuks diingat-ingat lagi perkataan dan perbuatan kita jangan jangan pernah menyakiti orang lain, pernah membuat orang lain kesal, mungkin saatnya kita datangi orang yang kita sakiti untuk memaafkan perkataan dan perbuatan kita.

Friday, May 11, 2018

Kenapa Saya Diuji? Sebuah Titik Balik...



Bahagia ... mungkin itulah kata yang mewakili perasaan saya, saat hari Minggu kemarin saya bisa bertemu langsung dengan penulis favorit saya, Hanum Salsabila Rais, anak dari seorang tokoh favorit saya juga, Bapak Amien Rais...

Saya sungguh tidak menyangka, saya bisa duduk berdampingan, foto berdua Hanum, dan menyaksikan langsung, paparan dari Hanum Salsabila Rais, saat menceritakan banyak hal terkait buku barunya, “I am Sarahza”. Buku ini menceritakan kisah perjuangan Hanum dalam mendapatkan buah hati, setelah penantian panjang selama 11 tahun.

Apa kabar program hamil anak kedua saya? Saya jadi teringat dengan perjuangan saya untuk hamil kembali anak kedua. Setelah Eza berusia 4,5 tahun, belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Saya sudah ke dokter spesialis, tapi memang usaha saya tidak tuntas, hanya ingin memastikan bahwa rahim saya, baik baik saja. Dokter pun bilang, tak ada masalah dengan rahim saya, semuanya normal dan masih berpeluang untuk hamil lagi.

Saya lalu mencoba cara lain. Program hamil dengan beribadah 40 hari yang terinspirasi dari ceramah Ust. Yusuf Mansur. Beliau menyampaikan bahwa seringkali manusia lupa, saat pertama kali menginginkan sesuatu, bukan mendatangi Allah, tapi malah mendatangi makhluk-Nya. Seharusnya, Allah lagi, Allah lagi, Allah terus, yang harus kita lakukan saat kita mendambakan sesuatu. Maka saya pun mencoba metode ini berkali kali.

Apakah saya berhasil? Belum juga, karena ternyata tidak mudah menjaga konsistensi ibadah selama 40 hari. Biasanya sebelum 40 hari berakhir, si tamu “merah” tak diundang pun datang, dan saya pun kecewa. Mencoba kembali program ini, haid lagi dan terus berulang seperti itu. Hingga akhinya “penyakit lama” muncul kembali yaitu saya “tak pede” untuk berdoa kepada Allah. Sepertinya saya malu sekali meminta itu, padahal ni’mat Allah yang diberikan pada saya, jauh lebih banyak. Saya pun memutuskan berhenti dari program ini...

Saturday, March 24, 2018

Mengapa Harus KIPMA?? The Power of Emak Emak




Mengapa sih harus ada KIPMA?? Kan selama ini sudah banyak ibu ibu anggota IIP yang jualan. Lagian wilayah IIP tersebar luas, gimana tuh caranya. Mengapa harus Koperasi? Kenapa bukan perusahaan? Mungkin banyak pertanyaan seputar KIPMA dari anggota Ibu Profesional. Saya dan Tim Perintis KIPMA yang berasal dari para Manager Keuangan, sempat berdiskusi panjang lebar tentang ini. Koperasi sangat berbeda dengan perusahaan. Perusahaan sangat tergantung para pemegang saham, sementara Koperasi itu pemegang saham terbesar adalah semua anggotanya. Banyak para ibu yang masih berjuang dalam hal pemenuhan ekonomi keluarganya, maka dengan koperasi ini, diharapkan para bunda bersatu menjadi Bunda Produktif Berjamaah, yang akan saling bahu membahu memajukan kesejahteraan anggotanya. Maka setelah konsultasi dengan Bu Septi dan Pa Dodik, kami sepakat mendirikan Koperasi.

Untuk mendirikan Koperasi, sebenarnya mudah mudah sulit. Pilihannya ada 2, jika mau mendirikan Koperasi Tingkat Kota, cukup ke Dinas Koperasi Kota setempat. Tapi karena anggota Ibu Profesional sudah tersebar di berbagai daerah di nusantara, bahkan Asia dan Eropa, maka kami sepakat untuk mendirikan Koperasi tingkat nasional, yang perijinannya harus ke Kementerian Koperasi. Perjalanan menyiapkan administrasi perangkat pendirian KIPMA, juga merupakan perjalanan yang membutuhkan waktu berbulan-bulan. Tapi karena tim inti KIPMA tak kenal lelah dan selalu penuh semangat, kami menjalaninya dengan senang hati... huhuy

Awalnya tim inti KIPMA adalah beberapa Manager Keuangan yang bersedia babak belur di masa awal menyiapkan dokumen KIPMA. Berikut adalah Tim Perintis KIPMA sejak awal pendirian:
     
      1.      Eva Novita, Tangsel
      2.      Lamia Inayati, Bogor
      3.      Nurhalita Diny, Tangkot
      4.      Endang Dian, Singapura
      5.      Yani, Pacitan 
      6.      Damas, Kediri

Tuesday, March 20, 2018

Mengapa Harus KIPMA?? The Power of Srikandi Keuangan




Saya mulai berkenalan dengan IIP sejak tahun 2015. Saya lupa tepatnya kapan saya bergabung dengan IIP Tangerang Selatan. Tak banyak cerita menarik di awal bergabungnya saya dengan komunitas IIP. Tapi entah apa yang membuat saya tergoda untuk tetap bertahan di IIP, semuanya terjadi begitu saja. Beberapa bulan setelah saya menjadi anggota IIP Tangsel, ada lowongan menjadi admin. Saya pun iseng tanya tanya admin lama, dan mendaftar, ternyata diterima. Saat itu, tak ada jabatan Koordinator, semuanya sejajar sebagai admin, dan bersama 3 orang admin lainnya, kami berusaha membangun IIP Tangsel.

Bulan berganti tahun, aktivitas saya semakin padat, tapi tetap merindukan tantangan. Pada akhir tahun 2016, ada lowongan sebagai Manager Keuangan Nasional IIP. Awalnya saya tak tertarik, deadline pun lewat. Tapi ternyata deadline diperpanjang, saya pun iseng mendaftar, dengan program ungggulannya adalah mendirikan koperasi (gaya banget ya...). Tak disangka, ternyata saya diterima sebagai Manager Keuangan, maka kesibukan dan tantangan baru pun, dimulai. Saya membawahi para manager keuangan yang ada di seluruh cabang wilayah IIP, dan kami pun mulai berkenalan via grup WA Manager Keuangan IIP.

Postingan Favorit