Sunday, June 25, 2017

Apa Kabar Program Hamil 40 Hari? Lupakan Saja kah?



Apa kabar ya program hamil 40 hari yang dulu saya canangkan? Merayu Allah dengan ibadah 40 hari agar saya diberi karunia anak, membuat saya belajar banyak hal. Serasa disindir dengan berbagai peristiwa dan nasehat dari berbagai penjuru, akhirnya membuat saya sadar, saya harus meluruskan niat dalam beribadah. Itu saja intinya.

Saya masih tetap berusaha untuk konsisten dalam ibadah berjamaah, ibadah sosial dan ibadah lainnya yang sekuat tenaga saya pertahankan, walaupun tetap bocor juga. Sejujurnya saya tidak pernah berhasil menjaga konsistensi ibadah saya selama 40 hari full tanpa terlewat. Ternyata memang tidak mudah, karena itulah hingga beberapa bulan kemarin saya tetap mendapat haid. Apakah program ini gagal? Tentu saja tidak, karena nyatanya saya tak pernah menuntaskannya hingga 40 hari.

Kemarin sore, saat “family forum” dengan suami, suami mengingatkan banyak hal. Biasanya saat dia punya momen untuk ngobrol enak bareng saya, saat itulah dia menasehati saya sebagai suami yang bertanggung jawab terhadap saya, istrinya. Katanya tak mudah mencari waktu dan momen yang enak untuk bicara dan menasehati serta “mengevaluasi” sikap dan perilaku saya. Mencari situasi enak dimana saya tak emosi dan mudah menerima masukan, haha kebiasaan cewe ya seneng ngambek.

Maka kemarin sore dia mengingatkan banyak hal yang intinya terpusat pada satu hal, “jagalah ibadah sosial, lisan dan sikap yang sembarangan jangan sampai menghalangi terkabulnya doa”. Deg saya langsung teringat doa dan program hamil 40 hari ini, jangan-jangan karena saya terfokus pada ibadah ritual, saya melupakan satu hal, lisan dan perbuatan saya yang menyakiti orang lain juga bisa menjadi penghalang terkabulnya doa. Suami juga mengingatkan jangan-jangan ibadah sholat, baca quran dan ritual ibadah lainnya kita yang banyak, pahalanya terkikis oleh mulut dan perbuatan yang secara tak sadar membuat orang lain tersakiti dan terdhalimi, dan justru doa orang yang kita sakiti itulah yang malah makbul.

Friday, June 23, 2017

Itikaf di Dapur



Seringkali saya merasa iri pada sahabat yang bisa melakukan itikaf dalam 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Saya sudah pernah mengajukan proposal itikaf pada suami di masjid masjid sekitar BSD, tapi seringkali ditolak, karena menurutnya ibadah di rumah sebagai seorang istri dan ibu, sama baiknya dengan itikaf di masjid.

Sejak saya kuliah, saya jarang sekali bisa itikaf di masjid, kecuali jika masih ada jadwal kuliah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Jika sudah libur, saya lebih memilih pulang ke rumah di Tasik dan membantu orang tua. Ayah saya jualan kue di Pasar Ciawi, dan pada 10 hari terakhir biasanya adalah masa laris dan rame, sehingga pasti butuh bantuan. Ini berlangsung sejak saya kuliah di tahun 1996 hingga saya kerja dan menjelang menikah di tahun 2011. Pada tahun 2012, ayah saya diminta berhenti jualan oleh ibu dan kakak saya untuk kemudian fokus menjadi guru ngaji di mushola Tangerang.

Saat masih jualan di pasar, saya biasanya berangkat bareng ayah saya (abah) setelah shalat shubuh dan baru pulang ke rumah menjelang magrib. Biasanya badan terasa remuk redam, dan tak kuasa untuk itikaf di masjid. Dan masjid di Tasik tak banyak yang mengadakan itikaf seperti masjid-masjid di Bandung atau Jakarta.

Setelah abah berhenti jualan, sepertinya saya baru merasa leluasa untuk memikirkan jodoh. Saya sering berfikir kalau saya menikah dan abah belum berhenti jualan di pasar, siapa yang akan bantuin sementara kakak saya pada sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Alhamdulillah kesempatan itu datang di tahun 2013, jodoh datang dan abah sudah berhenti jualan sejak tahun 2012.

Setelah menikah dan memiliki anak, saya dan suami mengatur jadwal lebaran di Tasik dan Kudus secara bergantian. Jika lebaran di Tasik, saya bisa membantu ibu saya mempersiapkan segala hal tetek bengetk menjelang lebaran, mulai dari membuah kue, memasak untuk buka puasa, belanja ke pasar, hingga mengantarkan mamah untuk mengirim bingkisan pada tetangga dan saudara. Tapi jika lebaran di Kudus, apa boleh buat, saya paling hanya bisa membantu sebisanya beberapa hari, karena harus menjalani prosesi mudik ke Kudus.

Saturday, June 17, 2017

Pohon Literasi Day 10 : Wisata Al-Qur’an



Kali ini giliran si bunda yang membaca buku yang biasanya baru punya waktu tengah malam, saat yang lain sudah tidur. Buku yang dipilih untuk dibaca pada hari ke-21 puasa di bulan Ramadhan 1438 H ini adalah buku Wisata Al-Qur’an karya Ja’far Subhani.

Buku ini berisi tentang perumpamaan-perumpamaan (mitsal) yang digunakan beberapa ayat Al-Qur’an untuk menjelaskan suatu makna. Banyak perumpamaan yang menarik yang digunakan Al-Qur’an untuk mengemas suatu ayat sehingga maknanya lebih mendalam dan kemasannya sangat apik dan cantik.

Contohnya adalah dalam surat Ali Imran ayat 59-60 yang berbunyi:

إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia.
(Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.

Pada ayat tersebut, penciptaan Isa menggunakan perumpamaan penciptaan Adam. Hal ini untuk menjelaskan bahwa Isa adalah manusia, bukan Tuhan seperti sangkaan kaum nasrani. Keduanya sama-sama adalah seorang manusia tanpa ayah. Perumpaan dalam ayat ini disebut tasybih gharib bil gharib (penyerupaan yang kangka dengan yang lebih langka), agar lebih meyakinkan bagi pendebat dan lebih memastikan lagi bagi yang meragukan. (halaman 169)

Ada fenomena menarik pada kata “kun fayakun” pada ayat diatas. Kata fayakun adalah kata kerja jenis masa kini sementara penciptaan Adam dan Isa adalah sudah terjadi. Seharusnya kata kerja yang digunakan adalah bentuk lampau, bukan bentuk saat ini. Ternyata disinilah sisi menariknya, bahwa meletakkan kata kerja masa kini (fi’il mudhari) di tempat kata kerja bentuk lampau (fiil madhi) itu adalah dibolehkan untuk menegaskan bahwa penciptaan Adam itu adalah perkara yang terjadi secara bertahap, bukan secara langsung.

Postingan Favorit