Wednesday, February 13, 2013

EIFFEL, WE ARE NOT IN LOVE …

Hari Minggu 1 Juli 2012 adalah hari yang tak terlupakan dalam hidup saya karena di hari itulah,  saya (bersama 5 orang lainnya) bisa menginjakkan kaki di Paris, ibukota Perancis. Kota Paris berpenduduk hampir 12 juta jiwa dan merupakan salah satu wilayah metropolitan terpadat di Eropa. Paris adalah kota tujuan turis paling populer di dunia karena dikunjungi oleh kurang lebih 30 juta wisatawan per tahun nya. Tempat terpopuler yang menjadi incaran para wisatawan dan sekaligus menjadi icon kota Paris, adalah menara Eiffel.




Menara ini diresmikan pada tanggal 31 Maret 1889 dan dibangun dalam rangka pekan Pameran Dunia dan perayaan Revolusi Perancis. Pemimpin Proyek menara ini adalah Tuan Gustave Eiffel dan dibantu oleh, antara lain, para insinyur Maurice Koechlin dan Emile Nouguier serta Stephen Sauvestre sebagai arsitek. Rencana proyeknya dimulai tahun 1884, tapi pembanguan menara baru dimulai pada tahun 1887 dan selesai 26 bulan kemudian yaitu pada tahun 1889. Rencananya, menara ini akan dirobohkan setelah berlangsungnya pekan Pameran Dunia 1900. Akan tetapi menara Eiffel ini kemudian dipertahankan karena uji coba dari transmisi radio yang dikendalikan oleh Angkatan Bersenjata Perancis sebelum hari pemugaran, ternyata berhasil dilakukan.

Kami mendatangi menara Eiffel ini sebanyak 2 kali yaitu di siang hari dan di malam hari. Kami ingin melihat indahnya Eiffel ini di saat terang & saat gelap, dan ternyata sama indahnya, walaupun saat itu kota Paris sangat padat berjubel dengan para penggila bola karena bertepatan dengan final Piala Dunia antara Spanyol lawan Italia. Ketidaknyamanan riuhnya kota Paris saat itu, terbayar dengan indahnya suasana di sekitar Eiffel yang cerah di siang hari dan bertaburan lampu warna warni di malam hari.

Jumlah tangga menara ini adalah 1.665. Tangga ini merupakan surga bagi bagi pengunjung yang senang olah raga, tapi menjadi neraka bagi yang malas berjalan. Ada 2 buah lift yang naik ke tingkat dua, kabarnya disana juga bisa ditemukan berbagai toko souvenir. Kami memutuskan tidak naik ke atas, dan hanya menikmati dari bawah dan berpose ria dari berbagai sisi. Setelah itu, kami pun mencari souvenir khas Eiffel.

Setelah lelah berkeliling dan berburu souvenir, ternyata perut kami menuntut hak nya. kami pun memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran khas Perancis, tak jauh dari Eiffel. Di restoran inilah, salah satu teman saya baru menyadari bahwa dompetnya kecopetan. Ceritanya, saat kami memesan makanan, seorang pelayan meminta koin dari Indonesia setelah tahu bahwa kami berasal dari Indonesia. Saat teman kami ingin mengambil koinnya dari dompet, teman kami mencari-cari dompetnya dan ia pun langsung lemas saat menyadari bahwa dompetnya sudah tidak ada di tasnya. Kami sudah tahu dan membaca tentang rawannya Eiffel ini, bahkan teman saya yang kecopetan ini, pernah mengingatkan kami untuk menempatkan uang dan barang berharga, tidak di satu tempat. Tapi namanya musibah, ternyata tak dapat dihindari dan tak memilih orang. Tak ada yang bisa dilakukan selain harus menerima musibah ini dengan lapang dada.

Walaupun musibah ini membuat kami sedih tapi kami tetap harus melanjutkan acara makan malamnya. Kondisi cuaca saat itu masih cerah dan terlihat masih terang, seperti jam 5 sore di Indonesia, padahal waktu setempat menunjukkan pukul 8 malam. Karena itulah kami makan malam tapi dalam kondisi yang terang benderang. Suasana makan malam saat itu sangat romantis, walaupun dalam suasana duka. Restoran khas Perancis ini ternyata memang sesuai yang digambarkan di film-film, syahdu dan tak terlupakan.

Restoran khas Perancis biasanya menawarkan 3 jenis makanan yaitu makanan pembuka, makanan utama dan makanan penutup. Makanan pembukanya, saya pilih salad. Makanan utamanya adalah pasta dengan salmon dan makanan penutupnya adalah es krim coklat. Hm, nyam nyam, kenyang banget deh. Akhirnya hak perut ini pun tertunaikan.

Paris ternyata membuat kami berbahagia sekaligus bersedih. Berbahagia karena kami bisa menyaksikan menara Eiffel di siang dan malam hari. Dan bersedih karena teman saya, kehilangan dompet dan seluruh isinya (uang euro, atm, kartu kredit dan ada juga uang rupiahnya). Musibah kecopetan inilah yang melatar belakangi judul tulisan ini: Eiffel, we are not in love.

Tapi, bersama kesulitan, selalu ada kemudahan. Dalam surat Al-Insyirah, Allah menjanjikan bahwa kemudahan itu selalu bersanding dengan kesulitan. Bahkan, kemudahan itu mengapit dua kesulitan. Teman saya yang kecopetan, pun mengalaminya. Saat kami berburu souvenir di Paris, kami berbelanja di sebuah toko milik seorang muslim. Saat pemiliknya tahu bahwa teman saya kecopetan, beliau mempersilakan teman saya ini untuk berbelanja sesuka hatinya, bahkan sebelum pulang, beliau memberikan uang sebanyak 30 euro (sekitar 360.000 rupiah). Teman saya ini sampai menitikkan air mata menyaksikan kebaikan seorang muslim pemilik toko souvenir itu. Mungkin tak menyangka akan bertemu orang sebaiktu; dan bagi teman saya, uang 30 euro itu sangat berarti sekali karena perjalanan kami saat itu, baru setengah perjalanan. Ini adalah hari ke-5 dari 10 hari yang direncanakan. Sang pemilik toko hanya mengatakan bahwa sesama muslim itu bersaudara, jadi harus saling membantu. Alhamdulillah, semoga kebaikannya dibalas dengan yang lebih baik.


Wassalam
Eva Novita Ungu
Rabu, 13 Februari 2013
“yang pernah bermimpi pengen ke Paris, setelah nonton film Eiffel I’m in Love”

No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit