Friday, November 23, 2012

MUSEUM LOUVRE PARIS DAN JEJAK ISLAM DI EROPA (Benarkah Napoleon Bonaparte seorang muslim?)


Bagi yang tertarik dengan peninggalan-peninggalan sejarah, pasti tak asing lagi dengan Museum Louvre yang berada di kota Paris. Alhamdulillah beruntung sekali kami sempat menginjakkan kaki di museum ini, walaupun tak semua sudut tempat ini berhasil dikunjungi, karena begitu banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi di Paris sementara waktu yang dijadwalkan di Paris hanya satu setengah hari dari 9 hari yang tersedia. Jadi kami pun memutuskan untuk mampir ke beberapa tempat, tidak lama di satu tempat. Apalagi saat kami datang ke Paris di hari Minggu tanggal 1 Juli 2012, itu bertepatan dengan final Piala Dunia antara Spanyol lawan Italia. Sehingga Paris yang saat itu sangat padat berjubel dengan para penggila bola, sebenarnya tidak nyaman untuk dikunjungi wisatawan seperti kami, apalagi diantara kami berenam, tak ada satupun yang menyukai sepak bola. Tapi tak ada pilihan selain tetap menikmati suasana ini, karena kami tak tahu kapan lagi bisa mengunjungi Paris. Oke, kembali ke laptop, mari kita sejenak mengintip sejarah Louvre.

Menikmati Keterasingan sebagai seorang Muslimah di negeri orang (Sebuah Perjalanan Spiritual)


Judul Buku               : Mencari Senyum Tuhan
                              (Catatan Hati Muslimah Pendamba Ridha Allah)
Penulis                    : Miranda Risang Ayu
Penerbit                 : Zaman
Tahun Terbit          : 2008
Jumlah Halaman     : 186

Buku ini ditulis saat sang penulis menempuh pendidikan S3 di Australia. Buku ini adalah kumpulannya tulisannya, yang ditulis secara berkala di Majalah paras dan Majalah Basis. Buku ini merupakan refleksi perjalanan ruhaninya yang ia sebut perjalanan ke dalam atau perjalanan menempuh diri.

Buku ini mengungkapkan berbagai hal yang ia alami di Australia dan sebagai seorang muslimah, ia menerima berbagai pertanyaan tentang ajaran Islam, seperti tentang jilbab dan konsep Islam tentang perempuan, juga merekam jejak konsekuensi memboyong keluarga kesana. Ia, misalnya pernah mengalami kejadian tak mengenakkan berkali-kali setelah peristiwa pengeboman atau kerusuhan yang diduga dilakukan “teroris muslim” yaitu berupa gangguan dari laki-laki yang sedang mabuk dan tak berpendidikan di jalanan, yang anehnya tak dialami oleh teman-teman muslimah nya yang lain. Lalu, keluarganya sakit dalam waktu yang bersamaan, bahkan salah satu anaknya harus dirawat di rumah Sakit. Pengalaman-pengalaman ini membuatnya berfikir bahwa ada pesan yang ingin Allah sampaikan melalui peristiwa-peristiwa yang dialaminya, ada jawaban yang harus ditemukannya. Dan menurutnya jawaban itu ia temukan di tengah malam, dalam balutan mukena dan kening yang luar biasa pening karena matanya sudah terlalu banyak mengeluarkan air dan berada di puncak keletihan. Saat itu, saat menyebut nama Allah, ia merasa ada yang hilang dari dirinya yaitu ego dan penolakan. Kepasrahan yang tiba-tiba muncul dan ia merasa, saat itulah Allah tersenyum, senyum yang sangat mahal dan sangat indah. Ia menyimpulkan bahwa segala logikanya hanya pantas berantakan di atas sajadah.

Buku ini terdiri dari 16 tulisan yaitu Mencari Rumah bagi Jiwa, Menjadi Baik, Saya Beramal maka Saya Ada, Menembus Kemungkinan, Sang Kekasih Allah, Dokar Sang Pejalan, Demi Kemanusiaan, Obat Sang Kekasih, Dan Kuturunkan Kain, Pukullah Perempuan?, Ketika Mencinta Bukan Memetik Bunga, Remaja-Remaja Itu, Sebuah Agenda, Sebuah Pesan Tuhan, Menakar Iman Lewat Sampah dan Suatu Malam di Cihampelas.

Kelebihan buku ini adalah dari penuturan redaksional atau kata-katanya yang sangat tertata indah mencerminkan bahwa sang penulis bukanlah seorang pemula. Selain itu, isinya adalah sebuah perjalanan pencarian akan makna diri yang ditemukan secara berproses melalui pengalaman riil yang dialaminya sebagai muslimah di Australia. Kekurangan buku ini? terus terang saya kesulitan mencarinya. Berbagai tulisannya yang mengalir dan kata-kata yang mendalam serta bermakna, membuat saya terlena dan menikmatinya, hingga lupa untuk mencari kekurangan buku ini. Pengantarnya yang ia beri judul “Merindukan Tuhan” dan penutup nya yang berjudul “Mencari Tuhan”, sangat-sangat menarik dan indah. Saat membacanya, saya merasa seolah-olah itu adalah cermin dari perjalanan hidup saya dan saya menemukan jawaban dari semua pencarian saya selama ini.

Sang Penulis adalah seorang dosen di Fakultas Hukum UNPAD Bandung. Saat remaja, ia adalah seorang aktivis yang memiliki banyak kesibukan hingga menyebabkannya kurang bermain. Masa SMP dan SMA nya dihabiskan dengan mengikuti berbagai kegiatan mulai dari OSIS, Kelompok Ilmiah, Teater sampai sanggar Tari Klasik Bali, Jawa Yogyakarta dan Sunda hingga mengantarkannya menjadi salah satu penari termuda di Istana Negara Jakarta dan Misi Kesenian Indonesia ke Jepang dan Mesir. Kehampaan dan pertanyaan tentang hidup, melandanya sejak masa remaja.

Lalu ia melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Unpad Bandung, dan bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa Gelanggang Seni Sastra, Teater dan Film. Pencariannya akan makna hidup dan Tuhan, tak pernah berhenti. Hingga, ia pun bertemu Emha Ainun Najib di acara diskusi dan baca puisi, yang menganjurkannya untuk bertemu Muhammad Zuhri. Sosok inilah yang mengantarkannya mengenal Tuhan. Sosok Muhammad Zuhri yang dikaguminya, banyak dibahas dalam buku ini.

Miranda menyelesaikan sarjananya selama 6.5 tahun karena ia pernah beberapa kali bolos kuliah untuk menemukan jawaban dari kehampaannya dan juga ia juga memutuskan menikah saat belum lulus menjadi sarjana. Kemudian ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya pada Master Hukum di Law Faculty, University of Tecjnology Sydney dan diselesaikannya hanya dalam waktu 9,5 bulan. Lalu, ia menempuh program Doktoralnya di Universitas yang sama. Saat itulah, ia mengirimkan tulisan yang mencerminkan  pengalamannya ketika menempuh pendidikan disana dan jadilah buku ini.

Wassalam
Eva Novita Ungu
Rabu, 21 November 2012
Semoga berkurangnya jatah usia di tahun ini, membuat sy makin merasakan dan menikmati senyum Tuhan

99 dan 1 (mengenang 16 tahun persahabatan dengan seseorang)

Saya mengenalnya pertama kali di tahun pertama kuliah saya di Bandung yaitu tahun 1996. Saat itu ada penutupan kegiatan mentoring Karisma Salman ITB yang waktu itu diadakan di sebuah panti tuna netra Wiyaga Guna di jln Pajajaran Bandung. Disitulah saya mengenalnya pertama kali.

Dia adalah seorang wanita yang berasal dari Garut. Selain berjuang untuk dirinya sendiri, di tengah keterbatasannya sebagai penyandang tuna netra, dia pun harus membantu adik-adiknya yang juga tuna netra, untuk mendapat pendidikan.Hingga dia pun akhirnya mengajak kedua adiknya untuk masuk juga ke panti ini. Di panti ini, mereka diajarkan berbagai keterampilan yang bisa membantu mereka melanjutkan hidupnya di tengah masyarakat.

 Dia adalah sosok pekerja keras, dan pantang menyerah dalam menetapkan target untuk dirinya sendiri. Saat itu, saat mengenalnya pertama kali, dia sedang menempuh pendidikan di SMP. Cita-citanya hanya satu, ingin kuliah. Karena itulah, dia berjuang keras untuk bisa menembus SMA umum, yang tentu tidak mudah bagi dia untuk berbaur dan bersaing dengan orang normal lainnya. Dia ingin membuktikan, bahwa orang tuna netra pun bisa berprestasi di SMA umum.

Bersekolah di sekolah umum bagi penyandang tuna netra tentu butuh tantangan tersendiri karena bersekolah di SMA umum bagi penyandang tuna netra itu berarti mengorbankan banyak hal. Saat teman-temannya bisa baca buku apapun, kapanpun dan dimanapun, tapi dia harus mencari “reader-reader” yang mau membacakan buku pelajaran untuknya, lalu direkam untuk kemudian dipelajari lagi di lain waktu. Begitu pun saat akan UTS atau UAS, dia harus nyari stok “reader-reader” yang banyak sesuai jadwal ujiannya, karena “reader-reader” itulah yang akan membacakan soal ujian itu, kemudian dia menjawab soal tersebut dan “reader-reader” itulah yang menuliskan jawabannya. Disinilah biasanya para "penolong" dari kaum non muslim selalu siap setiap saat dan siap melancarkan "aksinya". Dia pun harus banyak berjuang untuk mengatasi pergolakan batin untuk kuat mempertahankan aqidahnya dan mengorbankan banyak hal agar tak kalah dengan segala penawaran "indah" itu.

Dan pengorbanannya pun berbuah indah. Dia menjadi siswa berprestasi di sekolah tersebut. Dia pun merasa bahwa cita-citanya untuk kuliah, akan dengan mudah diraihnya. Tapi ternyata takdir berkata lain. Berbagai ujian pun dia alami. Kebutuhan ekonomi dan keinginan dia untuk membantu adik-adiknya, lebih dia prioritaskan dibanding keinginannya untuk kuliah lagi. Dia pun merantau ke Pekanbaru dan melupakan sejenak cita-citanya. Disana dia menjadi tukang pijit dan kemudian menemui jodohnya, sesama penyandang tuna netra dan akhirnya memiliki anak satu.

 Singkat cerita, pernikahannya tidak berjalan mulus. Berbagai ujian dalam rumah tangganya membuatnya mengambil keputusan untuk bercerai dari suaminya. Dia pun pulang kampung ke Garut dengan membawa anak semata wayangnya. Tapi ternyata perceraian inilah yang membuatnya bertemu dengan cita-citanya dahulu, yaitu kuliah di perguruan tinggi. Sekarang dia sedang menempuh S1 di sebuah universitas di Garut bersama anak semata wayangnya yang berusia 8 tahun. Kegagalan-kegagalan dalam hidupnya ternyata merupakan cara Allah untuk mempertemukan dia pada cita-citanya sejak dahulu.

 Kami bersahabat sudah 16 tahun, suka duka sudah mewarnai persahabatan kami. Segala cerita dalam hidup saya dan dalam hidupnya, kami bagi bersama. Hingga berantem adu argument pun sering kami rasakan. Tapi kami juga sering diskusi tentang ujian yang kami alami masing-masing, bahkan pernah menyamakan persepsi bahwa "Tuhan kok senang bersenda gurau ya mengatur skenario hidup kami" hehe. Apa yang tidak kami sukai, harus kami alami. Apa yang kami inginkan, ditunda untuk diberikan pada saat yang tepat.

 Dari berbagai nasehat yang diberikan pada saya, ada yang takkan terlupakan yaitu saat saya mengalami ujian terberat di tahun ini, dia pun menceramahiku panjang lebar, “Kamu sudah diberikan anugerah sebanyak 99 % oleh Allah, tinggal 1% saja yang belum diberikan, kenapa harus menuntut yang 1%? Sementara yang 99% belum bisa kamu syukuri semuanya? Ayolah jangan nyari jauh-jauh sosok yang bisa kamu ambil pelajaran. Lihat saja aku, aku jatuh bangun menggapai cita-cita. Aku menikah tapi kandas juga. Sekarang aku harus berjuang membesarkan anakku sendirian sambil kuliah, sementara kamu? kenapa kamu tidak bersyukur dengan keadaan kamu?”

Dan saya pun tak bisa berkata-kata, karena memang benar apa yang dikatakannya bahwa 99 dan 1 itu yang harus selalu saya renungi.
 Wassalam
Terima kasih obrolannya siang ini, hingga menginspirasiku untuk bikin notes ini.
Terima kasih atas persahabatannya selama ini.
 Terima kasih sudah mengingatkanku banyak hal. Semoga persahabatan kita bisa mengantarkan ke surga. Amin
7 November 2012 …

Postingan Favorit