Friday, August 15, 2008

MEMAKNAI KESENDIRIAN

Kesendirian. mungkin begitulah problema yang banyak dialami wanita atau pria yang belum menikah. Ada banyak faktor yang menyebabkan mereka, baik wanita ataupun pria, belum mengakhiri masa lajangnya.

sebagian penyebabnya ada yang merasa belum siap, ada yang memprioritaskan untuk membantu finansial keluarga, ada yang berkali-berkali proses tapi gagal maning gagal maning. ada juga yang trauma dengan luka masa lalu.

Apapun penyebabnya, satu hal yang pasti bahwa takdir bukan di tangan mereka. sejauh apapun ikhtiar, jika saatnya belum tiba dan ridha-Nya belum turun, maka itu tak akan terjadi.

UJIAN KEIKHLASAN

Dalam Al-Quran, seringkali kita menemukan beberapa ayat yang menyatakan relasi antara ujian dan keimanan, salah satunya dalam surat Al-ankabut ayat 2 yang artinya "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka (dibiarkan saja) mengatakan ‘kami telah beriman’ sedang mereka belum diuji??"
Maka berbahagialah orang-orang yang sedang diuji dengan berbagai macam persolalan, karena itulah sarana peningkatan kualitas keimanan kita.

Seringkali kita diuji pada titik kelemahan kita. Saya misalnya merasa titik kelemahan saya adalah pada keikhlasan. Saya selalu harus berjuang keras untuk menjadi orang yang ikhlas. Rasanya sulit sekali menjadi orang ikhlas, berbuat sesuatu semata-mata karena-Nya, berharap dan bersandar hanya kepadaNya. Karena itu, salah satu "oleh-oleh" yang saya minta dari perjalanan ibadah haji adalah agar saya menjadi orang ikhlas.

Tetapi apa yang terjadi??

TAARUF KETIGA: TERLALU CEPAT

Sewaktu kuliah, saat teman-temanku membicarakan pernikahan dan saling berdoa untuk segera memasuki gerbang pernikahan di usia muda, entah kenapa aku tidak ingin menikah di usia muda. Aku punya banyak mimpi yang sepertinya akan sulit bila aku menikah muda. Jadilah ketika teman-temanku mendoakan supaya menikah cepat, aku tidak meng'amin'kan, malah aku selalu bilang "ntar aja, kalian duluan deh" (emang apaan duluan)

Selepas kuliah di Bandung, aku pun mencoba mencari kerja di Bandung. Tapi berbulan-bulan kucoba, tak banyak yang kudapat sementara aku tetap harus mengeluarkan biaya untuk kost dan makan. Setelah istikharah, kuputuskan untuk hijrah dari kota Bandung. Kebetulan orangtuaku punya wartel di daerah pinggiran ibukota yang belum ada petugasnya, akhirnya kuputuskan untuk membantu usaha orangtuaku sambil mencari kerja.

Menjaga wartel ternyata membosankan, tak menantang untukku yang biasa banyak beraktivitas. Akhirnya aku pun melamar pekerjaan di berbagai institusi. Berbagai interview kuikuti. Alhamdulillah 5 bulan kemudian, usahaku berbuah. Aku diterima menjadi guru di sebuah sekolah islam elite. Ku masih ingat saat itu pertengahan tahun 2001.

Karena ini impianku dari dulu, aku pun menikmati pekerjaan ini. Berangkat kerja mulai pukul 6 pagi, pulang jam 5 sore, setelah magrib disambung dengan mengajar TPA di tempat kontrakan ibuku. Bertahun-tahun, kujalani rutinitas ini dengan penuh sukacita. Hingga tak terasa usiaku terus bertambah. Aku pun mulai jenuh dalam rutinitas pekerjaan, setelah 3 tahun bekerja, aku mulai mencari-cari pekerjaan lain tanpa sepengetahuan teman-teman kerjaku. Beberapa teman dan saudara bahkan mengingatkanku untuk segera mencari pasangan.

Suatu hari, pita, tetangga kontrakanku meminta kartu namaku. Katanya dia mau menawarkan bazaar pada event pengajian besar yang akan digelarnya bersama teman2 pengajiannya. Memang sambil mengajar, aku pun mulai merintis bisnis di bidang garment, pakaian muslim dan muslimah. Kadang sambil sekolah, kutawarkan kepada teman-temanku dengan sistem kredit. Di hari libur, kulanjutkan dengan berkeliling ke rumah saudara-saudaraku. Memang saat itu gajiku sebagai guru hanya cukup untuk ongkos dan makan plus jajan. Padahal aku ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.

Pita memberitahukan rencananya dengan mengundangku mengikuti bazaar. Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Kutanyakan kepada pita tentang segala aturan mainnya tanpa curiga sedikit pun. Pita pernah menyebut-nyebut sang ketua panitia, tapi kupikir apa urusanku dengan si ketua panitia, toh lewat pita pun aku masih bisa daftar untuk menjadi peserta bazaar.

Ternyata, pita menyerahkan kartu namaku pada sang ketua panitia, tanpa sepengetahuanku. Aku tidak tahu kalo ternyata pita mempunyai rencana lain ketika meminta kartu namaku. Aku ingat saat itu di tahun 2004, aku sedang berusaha mewujudkan salah satu mimpiku yaitu mengabdi di sebuah pesantren di pedesaan atau pedalaman. Kebetulan aku membaca iklan, sebuah pesantren di daerah Kalimantan sedang membutuhkan seorang guru. Aku pun menghubungi cp nya. Kami pun "janjian" untuk ketemuan di daerah Jakarta di hari Sabtu.

Malam Sabtunya, pita menghubungiku, katanya kartu namaku sudah diberikan pada sang ketua panitia, sebut saja namanya Rahman. Aku kaget, setelah bazaar itu, aku sudah tidak ingat lagi tentang kartu nama, karena pita pindah tempat kontrakan. Kufikir, setelah bazaar selesai, urusan kartu namapun selesai, ternyata belum saudara-saudara. Pita memberitahu, bahwa besok hari Sabtu ikhwannya pengen ketemu. Lho ko jadi begini? Di saat aku sedang berusaha mewujudkan salah satu mimpiku, ko aku ditawarkan sebuah proses taaruf? Di hari yang bersamaan pula. Akhirnya kusampaikan pada pita bahwa aku sudah janji bertemu seseorang di Jakarta. Pita pun menawarkan sepulang dari jakarta, aku ke tempat kontrakannya yang baru. Aku agak kasian juga sama pita yang sudah semangat untuk memprosesku, lalu kubilang "diusahakan deh"

Bersama teman kerja, di hari Sabtu yang indah aku pun pergi ke Jakarta. Setelah bertemu dengan sang cp atau ust di pesantren tersebut, aku semakin yakin dengan kekuatan mimpi. Aku merasa kejenuhanku di tempat kerja bisa terobati dengan hijrahnya aku ke Kalimantan. Tapi kemudian aku teringat janji dengan pita untuk ketemu dengan Rahman. Saat itu aku sedang memfokuskan fikiranku untuk mewujudkan salah satu mimpiku, maka tawaran taaruf ini alih-alih membahagiakanku, malah kuanggap sebagai penghalang. Tapi janji adalah janji. Ya sudahlah kufikir apa salahnya ketemu, menambah teman dan menyambung tali silaturahmi.

Sepulang dari Jakarta, aku pun ke tempat kontrakan pita. Jam 4 sore kami pun bertemu. Disaksikan oleh pita dan teman-teman kontrakannya 2 orang, jadilah kami ber 5 ngobrol. Rahman ternyata sosok yang menyenangkan. Berusia 2 tahun lebih tua dariku, anak pertama dari 7 bersaudara, asli Tangerang dan aktif di kegiatan keislaman. Tampilannya yang berjenggot, ditambah wawasan keislamannya yang luas membuat diskusi kami bertambah hidup. Aku tak ingat mulai darimana, tapi diskusi kami berkembang ke masalah tarekat dan tasawuf. Pandangannya yang 'netral' dan tak menyudutkan, membuatku terpesona. Tapi aku tidak boleh melupakan impianku, kusampaikan pula pertemuanku tadi siang plus rencanaku ke kalimantan.

Obrolan yang seru ternyata membuat waktu semakin beranjak senja. Kami pun shalat magrib berjamaah. Rahman pun menjadi imam. Bacaan Al-quran nya yang fasih membuatku tertarik. Hingga ada debar-debar tak karuan yang tak kumengerti. Tapi kutepis setelah kuingat mimpiku yang sebentar lagi akan menjadi kenyataan.
Aku mengabaikan petunjuk apapun berkaitan dengan taaruf, karena aku sedang fokus istikharah untuk kepergianku ke Kalimantan.
Sama-sama tidak punya target yang muluk-muluk dengan proses perkenalan ini, membuat kami menjalani proses ini tanpa beban. Tapi jujur, aku sedang fokus untuk memikirkan kepergianku ke kalimantan, dibanding berfikir tentang pernikahan, padahal usiaku sudah 26 tahun saat itu.

Sebelum pulang, Rahman berjanji dalam waktu seminggu akan memberi jawaban tentang kelanjutan pertemuan ini. Bahkan berkali-kali dia menanyakan rencana kepergianku ke Kalimantan, letak Kalimantan nya dimana, kapan akan memberi keputusan pergi tidaknya ke Kalimantan. Dalam hati aku bergumam, kenapa Rahman seolah-olah khawatir dengan kepergianku, jangan-jangan ini petunjuk supaya aku lebih memikirkan proses ini dibanding rencana kepergianku ke Kalimantan.

Setelah itu, aku beristikharah, meminta petunjuk pada Sang Maha Tahu tentang keputusan apa yang harus kuambil. Melanjutkan rencanaku pergi ke Kalimantan dengan mengabaikan proses dengan Rahman, atau memilih untuk berproses dengan Rahman dan melupakan mimpi masa depanku.

Aku bingung, seminggu yang kulalui terasa bagaikan sebulan. Aku penasaran dengan keputusan Rahman. Tak kuceritakan proses dengan Rahman ini pada orangtuaku, dengan harapan orangtua akan mendukungku untuk mengejar mimpi ke Kalimantan. Karena kalau kuceritakan 2 peristiwa besar yang kualami ini, aku yakin orangtua pasti lebih memilih pernikahanku dibanding harus melepas anaknya ke pulau antah berantah diluar Jawa sana yang belum jelas rimbanya.

Akhirnya tibalah hari Sabtu itu, Rahman janji akan menguhubungiku sore ini. Dia pengen memberi jawaban dengan bertemu langsung denganku, tidak melalui hp atau orang ketiga. Lalu, kami pun "janjian" untuk ketemu jam 4 sore di sebuah tempat dekat pusat keramaian. Jam 4 kurang, Rahman sms, memberitahu bahwa dia terjebak hujan, dan mungkin datang telat. Jam 4 itu saat aku akan berangkat, hujan memang turun dengan lebat. Aku, yang sudah bersiap akan berangkat, akhirnya menunggu terhentinya hujan. Lantas aku menawarkan solusi, jawaban tetap diberikan tanpa harus dengan ketemu. Via sms pun aku terima dan tidak mempermasalahkannya. Tapi Rahman bersikeras harus dengan ketemu dan meminta waktu agar diundur minggu depan pertemuannya, karena jam 5 sore udah ditunggu janji berikutnya. Saat itu tak kujawab.

Aku sangat berharap Rahman saat itu bisa memberikan keputusan, sehingga dari situ aku bisa merencakan hidupku berikutnya. Andai Rahman memutuskan untuk tidak meneruskan proses ini, maka aku akan melanjutkan rencanaku pergi ke Kalimantan dengan meminta ijin orangtua terlebih dahulu. Andai Rahman memutuskan untuk meneruskan proses ini, maka akan kulupakan mimpi masa depanku.

Tapi, menunggu seminggu lagi dalam ketidakjelasan? Sementara deadline dari kalimantan semakin dekat, malam harinya aku berfikir dengan keras, haruskah aku yang mengambil keputusan? Tapi bagaimana jika keputusan yang kuambil ternyata salah? Ah aku bingung ... mana sedang tidak shalat, masa yang tidak nyaman untuk seorang wanita karena tidak bisa bercengkerama dengan Tuhan via shalat, kurang afdhal rasanya berdoa dalam kondisi haid. Tidak dilarang memang, tapi juga tidak meng enakkan.
Esok harinya tepat pukul 04.35, entah dalam kondisi labil atau normal, aku pun memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Kukirim sms sbg berikut kepada Rahman:
" Kalo antum ga bisa cepat memutuskan, saya putuskan hari ini untuk tidak melanjutkan proses taaruf kita, maaf atas segala kekurangan saya. Saya tidak ingin berlarut-larut dalam masalah ini. Kalo memang mau, nanti saya perkenalkan dengan teman saya yang juga sedang menanti pasangan hidup. Semoga ini adalah keputusan terbaik, kalo memang jodoh insya Allah ketemu ko. Saya sedang fokus memikirkan rencana kepergian saya ke Kalimantan,saya harap silaturahmi diantara kita tidak terputus".

Aku berharap mendapat sms balasan dari Rahman, sekedar ingin tahu responnya. Sehari dua hari tidak ada respon. Ya sudahlah, mudah2n keputusan yang kuambil tidak salah.

Setelah itu, aku pun mulai fokus pada rencana kepergian ke Kalimantan. Aku pun mudik, meminta ijin pada orangtua. Sudah coba kujelaskan berbagai argumen dan mimpi-mimpiku, tapi tetap saja orangtuaku keberatan. Alasannya? Hanya ingin tidak jauh dari anaknya. Aku marah, aku sedih, hanya dengan alasan emosional aku kehilangan salah satu impianku. Tapi aku juga tak mungkin pergi tanpa restu orangtua. Aku pun kembali ke ibukota dengan membawa sejuta kekecewaan. Rab, salahkah dengan mimpiku? Aku hanya ingin mengembangkan diri.

Setelah itu, aku mengalami depresi berat, terutama juga karena mengambil keputusan untuk tidak meneruskan taaruf dengan Rahman hanya dalam waktu seminggu. Semakin merasa bersalah lah aku. Aku memutuskan tidak melanjutkan taaruf dengan orang yang shalih dengan alasan yang tidak jelas. Aku merasa bersalah. Bahkan aku pergi ke rumah pita dengan berjalan berkilo-kilo sambil puasa pula, karena tidak mau makan.

Seminggu setelah aku memutuskan taaruf dengan Rahman, kami bertemu dalam suatu forum pengajian. Kami bertanya kabar dan aku merasa semakin bersalah. Ingin kutanyakan banyak hal padanya, tapi kutahu aku yang salah. Jadi hanya diam dan beku.

Setelah itu kami tak saling berkirim kabar. Aku pun sibuk dengan tempat kerjaku yang baru. Hingga tak terasa, setelah menabung selama 3 tahun aku pun berencana menunaikan ibadah haji di akhir tahun 2005.

Saat aku sedang menyiapkan walimatussafar, aku teringat Rahman. Aku harus meminta maaf padanya karena entah kenapa aku merasa bersalah sekali padanya, hanya memutuskan taaruf via sms, sangat tidak sopan. Apalagi berdasarkan informasi dari pita sejak putus taaruf denganku, dia belum mau lagi untuk taaruf dalam jangka waktu yang sangat lama. Aku merasa semakin bersalah. Aku sendiri baru berproses lagi setahun kemudian.

Beberapa kali no telp nya kucari, tapi tak bisa kuhubungi, selalu tidak aktif, sepertinya dia sudah ganti nomor. Dari maret 2004 hingga akhir tahun 2005 aku tak tahu kabarnya lagi, berarti hampir dua tahun kami sudah tidak saling kontak.

Akhirnya kuhubungi no hp temannya. Alhamdulillah aku dapat no baru nya. Ketika kutelp, dia agak kaget juga ditelp, tapi setelah berbasa basi akhirnya ku undang dia ke acara walimatussafar ku, sambil tak henti-hentinya ku minta maaf atas segala kesalahan.

Saat walimatussafar, dia datang bersama adiknya. Memberi kado buku tentang persaudaraan iman, memberiku isyarat bahwa sepertinya jalan kami sudah berbeda. Dia semakin intens dengan kelompok pengajiannya, sementara saya semakin lama semakin memisahkan diri dari kelompok pengajian tersebut.

Tahun 2007, di bulan April Rahman pun mengundangku ke walimahannya. Tapi aku tidak bisa datang karena sedang ada tugas pekerjaan. Syukurlah dia mendapat isteri yang memang sejalan dengan idealismenya dan sekelompok pengajian.

Wassalam
Taaruf ketiga yang berkesan
(220204 – 070304)

Postingan Favorit