Berinteraksi dengan remaja memang mengasyikkan. Banyak hal yang bisa digali dan dipelajari. Tidak mudah memang memahami dunia remaja saat ini yang semakin kompleks, tetapi justru disitulah sisi menariknya. Seperti yang saya alami saat ini. Berbeda dengan pekerjaan lain, pekerjaan sebagai guru memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena berkaitan dengan pendidikan sesosok makhluk bernama manusia. Bila salah dalam mengarahkan, maka akan sangat fatal akibatnya. Output pendidikan Islam bukan hanya menjadikan seorang anak sebagai anak yang pintar, tapi jauh lebih dalam lagi, menjadikan seorang anak sebagai anak yang berakhlak mulia, memiliki kualitas hablum minallah dan bermanfaat bagi orang lain (hablum minan nas), rahmatan lil'alamin.
Siswa siswi SMU yang tinggal di boarding school, lebih rumit permasalahannya dibanding siswa siswi yang tidak tinggal di boarding. Sesekali ada siswi yang mogok sekolah karena sedang mengalami konflik dengan orangtuanya. Atau pernah juga seorang siswi korban perceraian yang sedemikian stressnya sampai sakit berbulan-bulan. Kadang, ada beberapa siswa yang melakukan pelanggaran hingga harus diberi sanksi sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Ada banyak cerita yang menarik ketika berinteraksi dengan mereka.
Suatu hari, saya keliling asrama malam hari untuk menanyakan beberapa siswi yang prestasinya menurun. Saya panggil mereka satu persatu, ngobrol dengan mereka, menanyakan penyebab prestasinya menurun, untuk kemudian memotivasi mereka. Hingga sampailah pada seorang siswi, sebutlah namanya Via. Via saat ini duduk di kelas 2 IPS, dia seorang yang punya segudang permasalahan. Kedua orangtuanya bercerai saat dia berusia kanak-kanak. Saat ini, kedua orangtuanya sudah menikah lagi, dan Via punya beberapa adik tiri. Ketika SMP, Via adalah remaja metropolis, yang menghabiskan waktunya hanya untuk having fun, pacaran berkali-kali, ke mall bareng teman-temannya, jalan-jalan dan nonton.
Awal masuk sekolah ini, saat masa OSPEK berjalan, dia stress dan tidak kuat mengikuti masa orientasi, tapi dengan berbagai cara, akhirnya dia masih bisa bertahan sampai kelas 2 ini. Saat mengobrol tahun lalu, ketika saya menanyakan penurunan prestasinya, mencoba mengetahui permasalahannya, tak disangka tak dinyana, Via malah menangis. Dia mengeluarkan semua uneg-unegnya yang selama ini dipendam, bahkan kepada ibunya pun tidak dia ceritakan. Via merindukan sosok ayah kandungnya, tapi tidak tahu bagaimana menyampaikan kerinduannya. Pertemuannya dengan ayah kandungnya jarang dilakukan, sementara posisi seorang ayah kandung tidak bisa tergantikan, even oleh seorang ayah tiri, yang dengannya sekarang dia menghabiskan waktu bersama ibu dan adik tirinya. Akhirnya saya jadi bisa memahami kenapa prestasinya menurun.
Tahun ini, beberapa bulan lalu, Via datang ke kamar saya, kembali menangis, kali ini saya bisa menebak permasalahannya, sepertinya dia ingin keluar dari sekolah, benar saja sambil menangis dia menjelaskan alasannya ingin keluar dari sekolah ini. Sangat diluar dugaan, alasannya ternyata karena dia ingin memperhatikan adik-adik tirinya yang makin jauh dari Islam.
Masih lekat dalam ingatan saya ketika kelas I tahun lalu, dia minta belajar baca Al-Quran karena beberapa huruf masih tertukar. Masih lekat dalam ingatan saya ketika dia protes banyak mempertanyakan aturan-aturan sekolah yang tidak dia mengerti, seperti jalur jalan putra putri yang berbeda, tentang pacaran dll. Tiba-tiba sekarang dia ingin membimbing adik-adik tirinya. Betapa cepat kedewasaan tumbuh dalam dirinya. Padahal dulu, untuk berjilbab saja, tidak mudah baginya. Perlahan-lahan, keshalihannya mulai terlihat. Dengan ringannya Via cerita, ketika di rumah dia sering merasa kehilangan bila sekali saja setelah shalat fardhu tidak tadarus. Atau sekarang mulai tidak nyaman bila tidak berjilbab.
Saya kira dia sudah mulai betah disini, tapi ternyata Via ingin keluar dari sekolah ini dengan alasan tidak terduga. Via rindu ingin melihat keluarganya ikut merasakan keindahan Islam seperti yang dia rasakan. Via rindu ingin mendampingi adik-adik tirinya agar tidak terjerumus dalam kehidupan metropolitan Jakarta yang seringkali tidak bersahabat.
Saya terpana mendengarkan ceritanya, terharu melihatnya menangis, terpana dengan kerinduannya akan perhatian orangtuanya. Akhirnya hanya pelukan yang bisa saya berikan. Entah memberikan solusi atau tidak.
Itu adalah salah satu dari sekian banyak cerita tentang potret remaja di sekolah ini. Sesungguhnya bukan saya yang mengajarkan para siswa disini, justru lebih banyak saya yang belajar dari mereka, saya yang mendapatkan banyak hal dari cerita-cerita mereka. Masalah saya tidak seberat masalah mereka, beban saya tidak sebanyak beban mereka, begitulah indahnya seorang guru, bekerja sambil belajar, bekerja mendidik orang lain sambil belajar mendidik diri sendiri. Begitu pula para orangtua, sambil mengajar dan mendidik anak, pada hakikatnya orangtua sedang mengajar dan mendidik dirinya sendiri untuk lebih baik dalam segala hal.
Begitulah lika liku kehidupan remaja sekarang. Yang mereka hadapi makin berat, masalah yang mereka rasakan juga makin kompleks. Yang mereka butuhkan bukan hanya sekedar materi, tapi mereka butuh teman ngobrol, mengharapkan waktu luang dari orangtuanya untuk mendengarkan keluh kesah mereka, dan yang paling penting teman-teman dan lingkungan yang kondusif terhadap perkembangan pribadinya.
Parenting untuk remaja lebih banyak bersifat pendampingan dan dialog.
Semoga Bermanfaat
Wassalam
Eva Novita
(arsip 2005)