Wednesday, November 19, 2008

Ketika Remaja merasakan indahnya Islam

KETIKA REMAJA MERASAKAN INDAHNYA ISLAM

Ini cerita tentang seorang siswa di sebuah sekolah, sebut saja namanya Ferry. Ketika saya masuk sekolah ini tahun 2004, Ferry sudah duduk di kelas XI IPS. Saat itu, Ferry dikenal sebagai siswa yang sering melakukan pelanggaran di asrama, terutama berkaitan dengan poin shalat berjamaah di masjid. Beberapa kali Ferry dicabut ijin keluarnya karena setelah direkap, poin pelanggaran shalat berjamaahnya sudah sangat banyak. Walaupun begitu, Ferry tidak menyerah. Dia pun memanggil orangtuanya untuk “merayu” guru asrama agar tetap bisa keluar asrama. Teman saya, yang saat itu berhadapan dengan orangtuanya, sempat bersitegang juga dan berdebat dalam rangka menyampaikan aturan sekolah.
Puncaknya, saya dan guru asrama lain beserta seorang wakil kepala sekolah sempat menyidang Ferry di malam hari, mengingatkan dan menasehati Ferry berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukannya. Bahkan saat itu, setelah berbagai tahap peringatan tidak mempan juga, wakil kepala madrasah pun sempat memberikan peringatan keras dengan cara menyuruhnya membereskan koper untuk bersiap-siap meninggalkan sekolah ini jika Ferry tidak memperbaiki kesalahannya.
Setelah proses sidang tersebut, mulailah terlihat perubahan pada diri Ferry. Ketika duduk di kelas XII IPS, dia sekamar dengan ketua OSIS, perubahannya semakin terlihat. Sang ketua OSIS ini dengan sabar mendampingi dan menjadi teman dekatnya. Sifat Ferry yang keras ditaklukkan dengan karakter sang ketua OSIS yang lembut. Bahkan lebih dari yang diperkirakan, Ferry berubah secara drastis. Akhlaknya terhadap orang lain semakin santun, shalat berjamaahnya rajin, bahkan yang membuat kami kaget, dia ingin melanjutkan kuliahnya di Mesir. Mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa walaupun sekolah ini bernama MAN, tapi siswanya jarang sekali yang berniat melanjutkan studinya ke jurusan agama. Mayoritas siswa mengambil jurusan-jurusan exact, sehingga jika ada siswa yang ingin melanjutkan studi ke jurusan agama apalagi ke Mesir, ini biasanya menjadi perbincangan yang menarik dan menjadi oase yang menyejukkan.
Begitulah proses pendidikan, ada banyak faktor yang membuat berhasil. Selain kebiasaan baik yang ditanamkan disini, faktor teman juga bisa membuat seseorang berubah ke arah positif atau bahkan sebaliknya.
Saat Ferry berkonsultasi pada kami, guru asramanya berkaitan dengan rencana kepergiannya ke Mesir, saya sempat meledek dan mengingatkannya tentang proses sidang yang sempat membuatnya terusir dari sekolah ini. Ferry pun tersipu-sipu, malu katanya kalau mengingat saat itu.
Saat proses ujian negara selesai, sambil menunggu wisuda, Ferry dengan semangat mempersiapkan kepergiannya dengan cara belajar bahasa Arab dan menghafal Al-Quran kepada Syaikh Syahatah, Syaikh dari Mesir yang ditugaskan disini.
Kabar terbaru dari Ferry, saat datang beberapa waktu lalu sebagai alumni, mengatakan bahwa dia tidak lulus ujian seleksi ke Mesir. Kasian juga, tapi memang tidak mudah ujian ke Mesir kalau tidak berasal dari pesantren seperti Gontor. Sambil mempersiapkan kembali, kabarnya Ferry akan kuliah di UIN, sambil belajar bahasa Arab dan menghafal Al-Quran. Semoga apa yang dicita-citakannya tercapai.

Semoga Bermanfaat

Wassalam
12 des 06
Eva Novita
Menghargai sebuah PROSES
“Saat mimpi belajar ke Mesir belum jua terlaksana”

Ketika Beban Remaja semakin berat

KETIKA BEBAN REMAJA SEMAKIN BERAT

Ini sebuah cerita tentang 2 orang remaja, sebut saja namanya Edo dan Desi. Saat ini, Edo dan Desi duduk di kelas 3 IPA sekolah ini, MAN INSAN CENDEKIA. Dari luar, sepertinya mereka baik-baik saja. Tapi sebenarnya masalah yang mereka hadapi sangat berat, terutama berkaitan dengan orangtuanya. Dulu, orangtua mereka adalah orang yang sangat kaya, bahkan Edo pernah melakukan perjalanan ibadah haji sekeluarga. Tapi saat ini perlahan-lahan kekayaan mereka semakin menipis, bisnis pun mengalami kebangkrutan, hingga puncaknya kedua orangtua mereka harus berhadapan dengan pihak kepolisian terkait dengan masalah penipuan di dunia bisnis yang mereka geluti.
Orangtua Edo, terutama ayahnya, sampai sekarang termasuk dalam daftar DPO (Daftar Pencarian Orang) yang sangat dicari pihak kepolisian. Sementara Desi, kedua orangtuanya sudah mendekam di penjara sejak bulan Januari 2006. Tidak mudah bagi mereka untuk survive menghadapi hidup ini. Bagaimanapun mereka sudah bukan anak-anak lagi yang bisa cuek dengan permasalahan orangtuanya. Bagaimanapun permasalahan orangtuanya tetaplah akan menjadi beban mereka yang tidak ringan. Tetapi mereka berusaha dengan berbagai cara mencoba bertahan. Ternyata ada yang membedakan cara Edo dan Desi menghadapi permasalahan ini. Edo cenderung melampiaskannya terhadap hal-hal negatif sementara Desi lebih ke arah yang lebih positif, dengan cara lebih mendekatkan diri terhadap Allah, dan mencoba mengambil hikmahnya. Dalam hal ini, tingkat spiritualitas menjadi faktor penentu yang membedakan mereka dalam menghadapi permasalahan tersebut. Atau memang dari sisi gender, cara perempuan dan laki-laki memang berbeda dalam mencari pelampiasan??
Sementara Edo, entah sudah berapa kali harus dipanggil pihak sekolah karena melakukan berbagai pelanggaran, dari mulai sering bolos, sering tidak shalat berjamaah di masjid, dan puncaknya saat bulan Ramadhan lalu, melakukan aksi pengancaman terhadap salah satu pengurus OSIS yang mengetahui pelanggaran yang dilakukannya. Saat disidang tidak lama sebelum kasus Dika, Edo menceritakan semuanya dengan sikap yang sangat tenang, seolah sudah biasa menghadapi masalah berat. Tidak ada kata penyesalan, bahkan tidak terlihat raut kesedihan. Bagaimanapun, saya bersama guru lain yang mengikuti sidang tersebut dari awal, tidak bisa menyalahkan Edo sepenuhnya mengingat beban berat yang dipikulnya. Tapi, peraturan tetaplah peraturan yang harus ditegakkan sekaligus pembelajaran untuk siswa lainnya agar tidak melakukan pelanggaran yang sama. Bulan november pun Edo harus mengalami skorsing 2 minggu, itupun sulit sekali mendapatkan alamat rumah orangtuanya karena sering berpindah-pindah, maklum dengan statusnya yang DPO tentu terlalu beresiko jika punya satu tempat tinggal yang tetap.
Sementara Desi, tidak banyak hal negatif yang muncul dari pribadinya. Bahkan saya baru tahu permasalahan yang dialami Desi, hari Kamis kemarin, itupun dari guru lain, karena memang Desi seperti tidak sedang mengalami masalah berat. Dia sangat rajin pergi ke masjid, menjadi pengurus OSIS yang amanah saat kelas 2 setahun yang lalu, menjadi kakak kelas yang dapat diteladani adik kelasnya dll. Prestasinya pun stabil. Ketika Desi curhat pada teman saya (guru asramanya Desi), sambil menangis Desi mencoba menegarkan dirinya sendiri, bahwa apa yang dia alami saat ini pasti tidak seberat yang dialami orangtua nya di penjara. Teman saya itu sampai ikut menitikkan air mata mendengarkan alasan Desi kenapa sampai saat ini dia masih bisa survive. Kedewasaan ini tentu tidak mudah didapat dan melalui proses yang tidak singkat.
Demikian sebagian profil para remaja kita. Kalau saya berada di posisi mereka, entah akan sekuat mereka atau tidak. Yang pasti, para remaja saat ini memang menanggung beban yang tidak mudah, karenanya sangat wajar jika yang muncul ke permukaan (terutama di kota-kota besar) adalah para remaja yang mencari berbagai cara untuk mencari perhatian, baik dengan hal yang positif maupun yang negatif. Mungkin beberapa kasus remaja yang terlibat hal negatif, salah satu penyebabnya adalah dari orangtuanya sendiri.

Semoga bermanfaat

Wassalam
Eva Novita
Kenangan 2007
Insight Parenting CenterBelajar Berempati

Ketika Remaja Haus Ilmu Agama

KETIKA REMAJA HAUS ILMU AGAMA

Sekolah ini didirikan oleh Pak Habibie, memiliki visi menyeimbangkan IMTAK dan IPTEK. Awalnya, input sekolah ini adalah lulusan pesantren dan MTs yang berprestasi, untuk kemudian dibina dari sisi IPTEK-nya. Saat didirikan tahun 1996, sekolah ini beridentitas SMA. Mulai tahun 2000, identitasnya berubah menjadi MAN (Madrasah Aliyah Negeri), sehingga yang awalnya dibawah diknas, sekarang resmi di bawah naungan Depag. Inputnya pun mulai berkembang, bukan hanya dari pesantren dan Mts, tapi mulai banyak dari lulusan SMP Negeri dan Sekolah Islam lainnya. Kabarnya, tahun depan, Dirjen Depag akan mengembalikan input sekolah ini ke khittahnya semula, yaitu hanya menerima lulusan pesantren dan Mts. Tapi ini masih menjadi bahan perdebatan di beberapa kalangan.
Sesuai dengan visi sekolah ini, maka porsi IMTAK dan IPTEK lebih ditekankan. Tapi, implementasinya di kurikulum, porsi IPTEK dalam hal ini pelajaran-pelajaran exact lebih dominan. Sehingga tuntutan akademis terhadap pelajaran-pelajaran exact, lebih tinggi dibanding pelajaran-pelajaran lain. Siswa siswi disini banyak menghabiskan waktu untuk memenuhi tugas-tugas akademis, sehingga kurang memiliki waktu banyak untuk belajar hal lain.
Untuk meningkatkan sisi IMTAKnya, selain kebiasaan-kebiasaan rutinitas sehari-hari yang ditanamkan seperti shalat berjamaah dan tadarus, dalam seminggu ada 3 malam yang digunakan untuk mengkaji wawasan keagaamaan, dengan durasi 1 jam dari pukul 19.00 sd 20.00. Tapi karena siswa sudah lelah dengan berbagai aktivitas, kadang siswa baru pulang ke asrama pukul 17.30, kajian ini pun menjadi tidak maksimal. Walaupun begitu, tentu bukan berarti program ini harus dihentikan.
Setiap malam Sabtu setelah shalat Isya, saya mengisi kajian di kelas 3 putri. Saat saya mengisi kajian ini beberapa bulan lalu, yang hadir hanya beberapa orang dari yang seharusnya 28 orang. Kelas 3 memang memiliki kesibukan ekstra berkaitan dengan persiapan mereka untuk ujian nasional dan SPMB. Seringkali saya tidak banyak memberikan ilmu kepada mereka, tapi memancing mereka untuk berdiskusi.
Saat itu, saya membawa buku Even Angels Ask atau Bahkan Malaikat pun Bertanya karya Jeffray Lang. Saya ceritakan sebagian isi buku itu, karena ternyata sebagian besar dari mereka belum pernah membaca buku tersebut. Setelah berakhir, ada salah seorang siswi, sebut saja namanya Risa, yang ingin melanjutkan diskusi, kami pun ngobrol dan berdiskusi. Sempat juga dia curhat tentang beberapa hal.
Beberapa minggu kemudian setelah saya melupakan kajian kemaren, tiba- tiba Risa membawa sebuah buku karya Jeffrey Lang yang baru terbit bulan Oktober lalu, yang berjudul “Saya Beriman maka Saya Bertanya”. Risa berniat meminjamkan buku itu kepada saya, setelah dia selesai membacanya, tentu saja dengan penuh semangat saya menerima tawarannya. Lumayan, saya bisa baca buku pinjaman tanpa harus mengeluarkan uang, hehe.
Begitulah jika mereka sudah haus ilmu agama, ketika mereka tidak bisa dapatkan disini, mereka akan mencarinya dengan penuh kesadaran. Dan saya pun kini punya banyak teman diskusi, yaitu murid-murid saya …

Semoga Bermanfaat

Wassalam
20 des 06
Eva Novita
Mengajar sambil Belajar

Postingan Favorit