Sunday, February 24, 2019

Jangan Lelah Berbuat Baik...



Penulis buku “Melawan Kemustahilan” yang bernama Dewa Eka Prayoga bercerita dalam bukunya bahwa pada tahun 2012, dia harus menanggung dana pihak ketiga sebesar 7,7 milyar. Uniknya, kejadian tersebut terjadi 18 hari setelah menikah dan itu bukan merupakan kesalahannya. Dana yang sejatinya hanya lewat ke mitra utama, kemudian harus menjadi tanggung jawabnya karena mitra utamanya kabur dan membawa uang puluhan milyar.

Masalah ini membuat stress sang penulis, karena saat bulan madu yang seharusnya dinikmati dengan bersenang-senang, berubah drastis menjadi saat yang menegangkan karena banyak orang menagih dana dan menuntut uang nya kembali secepatnya. Lalu ia pun meminta wejangan dari gurunya, dan tanpa diduga, nasehat gurunya adalah

“Banyak-banyak saja bantu orang…”

Tentu saja Dewa, penulis buku tersebut protes,

“Lha, pak, ini gimana ceritanya, kan saya aja lagi bangkrut dan butuh dibantu, kok malah disuruh bantu orang, sih…”
(hal. 65)

Pesantren Impian



Dulu saya pernah bermimpi memiliki pesantren yang mendidik santrinya untuk memiliki jiwa entrepreneur yang mandiri, santri dibekali keterampilan-keterampilan yang membuat dia siap hidup mandiri secara finansial setelah keluar dari pondok. Lama sekali impian ini terpendam, hingga kemarin saat ditugaskan untuk survey kegiatan Homestay di Bandung, saya seperti dejavu, impian lama tentang sebuah pesantren tiba-tiba sudah menjelma menjadi kenyataan dalam pesantren yang dikunjungi.

Pesantren itu bernama Al-Ittifaq yang berlokasi di Rancabali Ciwidey Bandung. Lokasi pesantren yang menyatu dengan masyarakat, memiliki konsep agribisnis yang keren. Pesantren ini didirikan tanggal 1 Februari 1934 oleh KH. Mansyur, seorang ulama di Ciwidey yang terkenal anti penjajah dan berprinsip bahwa apapun yang dilakukan Belanda, tidak boleh ditiru. Kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh H. Rifai, tapi KH Mansur masih terlibat. Pengelolaan pesantren masih bersifat tradisional dan jumlah santrinya masih sedikit, kurang lebih 30 orang saja.

Perubahan terjadi saat cucu KH Mansur yang bernama KH Fuad Afandi, mengambil alih kepemimpinan pesantren. 

Beberapa kebijakan pun diberlakukan, yaitu

Konflik Batin itu Bernama Jabatan...



Sudah beberapa hari ini, saya dan suami mendiskusikan sesuatu secara alot, biasanya terjadi titik temu, kali ini kami berbeda pendapat. Sesuatu itu bernama jabatan, yang menyapa suami secara mendadak dan tak terduga, hingga membuat saya kaget dan tidak atau belum siap.

Saya terus terang tidak suka dengan makhluk yang bernama jabatan, sebisa mungkin saya hindari, kecuali saya yakin bahwa saya bisa mengembannya. Suka aneh dengan beberapa orang yang tergila-gila dengan jabatan, tapi itu memang pilihan.

Saya ingat di tahun 2007, 3 tahun setelah saya bekerja, saya dirayu untuk menjadi bendahara koperasi, dan langsung saya tolak. Pada saat hari pemilihan, saya sengaja kabur ke Tasik, dengan alasan mudik, tujuannya tentu saja supaya tak terpilih. Ternyata jika sudah takdirnya, tak bisa ditolak juga. Sebagian besar anggota yang hadir tak mempermasalahkan ketidakhadiran saya, dan saya tetap terpilih.

Jabatan memang tidak pernah saya minta, tapi jika sudah terpilih, saya mencoba menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya, dan setelah dijalani ternyata saya suka, seperti menemukan dunia baru. Tapi ternyata tak semua orang akan menyukai yang kita lakukan, ada saja komentar yang menyakitkan dan membuat saya drop secara mental, sehingga menjadi pengalaman traumatik yang tidak terlupakan. Di akhir kepengurusan, saat anggota meminta saya kembali menjadi pengurus, saya menolak, karena pengalaman traumatik itu begitu membekas dan harus saya sembuhkan dulu. Alhamdulillah ada yang bersedia menjadi pengurus saat itu.

Postingan Favorit