Sunday, January 30, 2022

Kajian Kitab Al Hikam

 


Setiap Jumat, saya menetapkan diri untuk belajar dari awal kitab Al Hikam, yang dikarang oleh Syaikh Ibnu Athaillah As Sakandari. Sebelum menelaah isinya, tentu kita harus mengenal siapa pengarang kitab nya. Ibnu Atha’illah lahir di Kota Iskandariah, Mesir pada tahun 648 H/1250 M dan wafat pada tahun 1309 M. Maka dari kota kelahirannya inilah, julukan as-Sakandari disematkan pada namanya. Di kota inilah hidupnya dihabiskan untuk mengajar fikih madzhab Imam Maliki di masjid Al Azhar dan sekaligus ia dikenal sebaga”master” /Syaikh besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah.

Sejak kecil, Ibnu Athaillah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syaikh secara bertahap. Keluarganya adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama. Kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqh pada masanya. Saat remaja, Ibnu sudah belajar pada ulama ulama besar di kota Iskandariyah.

Thursday, January 27, 2022

Pandemi: Kehilangan dan Menemukan (Hikmah Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidzir

 


Bulan Desember 2020 adalah bulan yang cukup berat untuk saya dan keluarga, karena harus kehilangan pahlawan besar di keluarga kami yaitu Mamah. Dalam kesedihan mendalam, saya tetap harus bersyukur karena masih bisa mendampingi dan “berkencan” dengan Mamah di rumah sakit selama 2 malam 3 hari. Peristiwa itu masih melekat dalam pikiran saya, tak pernah hilang sedetik pun saat mamah harus berjuang melawan rasa sakit nya. Penyakit gula yang sudah lama diderita, ditambah kelelahan jiwa dan raga, menjadi wasilah wafatnya mamah tercinta. Hari Sabtu tanggal 19 Desember 2020 pukul 12.20, mamah pergi menghadap pencipta  yang lebih mencintainya.

Hari itu adalah hari yang sungguh tak ingin saya hadapi, bagai mimpi di siang bolong, saya tak menyangka mamah akan pergi secepat itu. Sebagai orangtua dari seorang anak 7 tahun bernama Eza, tentu saya berharap mamah akan tetap mendampingi saya saat Eza lulus sekolah, saat Eza diwisuda sebagai sarjana hingga saat Eza menikah nanti. Tapi ternyata semuanya terjadi bergitu cepat, dan saya harus siap menghadapinya, suka tak suka, mau tak mau, saya harus melewatinya dan belajar mengikhlaskannya, walaupun terasa berat.

Setelah mamah dishalatkan dan dikubur, malamnya saya tidur cepat, mencoba menghindari sesuatu yang seharusnya saya hadapi, dan berharap esok, saat bangun tidur, saya hanya bangun dari mimpi panjang, dan masih bisa bertemu mamah lagi. Tapi ternyata esoknya tetap hampa, mamah tetap tidak ada, dan saya harus mengatasi kesedihan dan kehilangan ini, sambil memikirkan tugas ke depan yang pastinya akan semakin berat. Abah yang juga sudah mendampingi mamah selama 50 tahun, sangat terguncang. Abah sering tertidur dan berharap masih bisa bertemu mamah, walau hanya dalam mimpi.  

Seminggu setelah kepergian mamah, kami harus mengadakan resepsi pernikahan keponakan, yang jauh-jauh hari sudah direncanakan. Mamah banyak meluangkan waktu, tenaga dan fikiran untuk mempersiapkan pernikahan cucunya, dan tak pernah bisa dihadirinya. Saat resepsi pernikahan, saya terus mendampingi abah, dan baru setengah jalan, abah sudah tak kuat, ingin pulang. Saya pun harus merelakan diri untuk tak mengikuti acara hingga akhir, dan memutuskan untuk menemani abah pulang ke rumah. Sudah tak ada hasrat untuk berfoto ria, selfie di lokasi resepsi pernikahan, mencicipi menu catering yang enak. Semuanya serasa begitu hambar, tanpa ada mamah.

Setelah semua urusan selesai di Tasik, saya dan 3 orang kaka saya memutuskan untuk pulang ke Tangerang. Hidup harus terus berjalan, kami kembali ke rumah masing-masing, sambil membawa luka yang entah kapan bisa pulih kembali.

Ini bukan tentang ikhlas dan tidak ikhlas dalam menyikapi takdir Allah, tapi tentang memberi ruang pada diri sendiri untuk berduka. Ada yg bisa pulih cepat setelah kehilangan orang tercinta, ada juga yang butuh waktu lama untuk segera kembali pada aktivitas semula. Saya harus selektif memilih orang yang saya jadikan tempat mencurahkan semua isi hati, karena jika bertemu orang yang salah, bukan pulih yang terjadi, malah bisa jadi semakin terpuruk karena saya dianggap sebagai orang yang tak ikhlas menerima takdir. Padahal bukan disitu inti masalahnya. Ini tentang menerima diri sendiri secara manusiawi, memberi ruang bersedih dan memberi waktu pada diri sndiri untuk memulihkan kembali semangat dan motivasi untuk hidup. Setiap orang membutuhkan waktu berbeda untuk bisa bangkit lagi setelah kehilangan orang yang dicintai. Saya jadi bisa lebih merasakan bagaimana beratnya seseorang yang kehilangan pasangan, kehilangan anak, kehilangan orangtuanya dan lain-lain. Dan akan menjadi semakin berat saat menerima stigma negatif sebagai orang yang tak ikhlas menerima takdir. Rasanya semakin ingin duduk sendiri di pojokan dan tak bertemu banyak orang.

Wednesday, January 26, 2022

Parenting Nabawiyah

 


Hari Rabu ini, jadwal belajar saya adalah tentang pengasuhan/Parenting. Saya memilih untuk menyimak kajian Parenting Nabawiyah yang disampaikan oleh Ustadz Budi Ashari. Berikut adalah profil singkat Ustadz Budi Ashari.

Beliau lahir di Tulungagung tanggal 17 April 1975, memiliki seorang istri dan 4 orang anak. Lulusan Universitas Islam Madinah ini, merupakan pembina Yayasan Kuttab Al Faqih dan dikenal sebagai pakar sejarah Islam.

Tema parenting nabawiyah ini menarik untuk dikaji karena keberhasilan ajran Islam dalam menghasilkan generasi terbaik. Setiap umat, Allah utus seorang nabi dan Rasul yang membimbing dan perantara dalam menyampaikan ajaran Islam. Semua nabi memiliki profesi yang berbeda-beda, ada yang berprofesi sebagai petani, pedagang, penggembala dan lain-lain. Tapi ada profesi utama yang berlaku untuk semua nabi dan Rasul yaitu bahwa mereka adalah GURU yang bertugas mendidik generasi sesuai dengan wahyu yang diterima. Maka dalam sejarah peradaban Islam, gaji tertinggi sebuah profesi adalah GURU.

Pendidikan itu bukan bisnis, bukan untuk mencari uang. Pendidikan adalah pengabdian. Pendidikan yang ditujukan sebagai lahan bisnis, akan berbeda hasilnya dengan pendidikan yang diniatkan sebagai pengabdian.

Madrasah, dalam Islam, ditujukan untuk jenjang setelah jenjang dasar. Jenjang dasar disebut Kuttab (untuk usia 5-12 tahun) dan diatasnya adalah Madrasah (diatas 12 tahun). Maka kampus itu dulunya disebut Madrasah. Kampus pertama di muka bumi ini yang diakui UNESCO adalah Madrasah/Universitas Al Qarawiyyin di kota Maroko.

Parenting nabawiyah bermakna bahwa untuk mendidik generasi mengacu pada cara Rasul membina dan mendidik umat Islam saat itu, dimulai dari keluarga, sahabat hingga ke masyarakat. Dan Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup sampai akhir zaman.

Postingan Favorit