Friday, August 15, 2008

TAARUF PERDANA: TIDAK SEKUFU

"Nge, tolong siapkan biodata lengkap, ada yang mau taaruf"
Begitulah Roz, teman kerjaku suatu saat mengagetkanku.

Roz, adalah seorang wanita cantik, keturunan Padang. Kami berkenalan di tempat kerja kami di sebuah sekolah di Tangerang. Waktu itu kami menjalani tes tertulis bersama-sama dan alhamdulillah dinyatakan lulus. Setelah bekerja, kami menjadi bertambah dekat sehingga kami sering berbagi cerita sampai hal-hal yang rahasia sekalipun. Puncaknya kalimat itulah yang menandakan kedekatan kami, dia bermaksud mencarikanku seorang (calon) suami, padahal dia sendiri belum menikah.

Saturday, August 9, 2008

ketika remaja dibohongi

Awalnya, kami benci sekali pada seorang siswa laki-laki, sebut saja namanya Iwan. Dia sekarang duduk di kelas I, masih di sekolah ini, boarding school di wilayah tangerang selatan. Sifatnya yang manja untuk remaja seusianya, serasa tak wajar bagi seorang siswa laki-laki. Saat MOS (Masa Orientasi Siswa) berlangsung, Iwan sudah menunjukkan ketidaksukaannya sekolah di tempat ini. Hingga puncaknya, dia menangis dan mengancam akan kabur dari sekolah ini bila tidak dijemput orangtuanya. Akhirnya, Iwan pun kami panggil. Saat itu saya bersama dua orang guru asrama putri, mencoba berdialog dan ngobrol untuk mengetahui penyebab ketidakbetahannya.
Lalu, mengalirlah cerita panjang itu dari mulutnya, sambil tentu saja menangis dan memakai pakaian seadanya, waktu itu Iwan memakai celana pendek, mungkin sudah bersiap-siap untuk kabur. Ternyata Iwan awalnya tidak ingin masuk sekolah ini, orangtuanya yang berambisi memasukkan anaknya ke sekolah ini, dengan harapan anaknya bisa berubah menjadi lebih baik. Sebelum tes masuk, Iwan mengadakan kesepakatan dengan orangtuanya. Iwan mau mengikuti tes ini dengan syarat orangtuanya juga mendaftarkan Iwan ke SMU-SMU negeri yang ada di Jakarta. Setelah orangtuanya menyetujui, Iwan pun mengikuti tes masuk ke sekolah ini, bahkan orangtuanya menjanjikan akan memberikan mobil bila Iwan lulus dan ternyata lolos.
Tapi apa yang terjadi?? Orangtuanya membohongi Iwan dengan melanggar kesepakatan yang dibuat. Iwan tidak didaftarkan ke sekolah negeri manapun, karena dari awal orangtuanya berambisi agar Iwan masuk sekolah ini, mobil yang dijanjikan pun tiada. Iwan kecewa dengan kebohongan orangtuanya, tentu saja Iwan tahu kebohongan itu karena dia sudah remaja, bukan anak kecil yang dengan mudah diiming-imingi sesuatu.
Setelah kami mengetahui duduk permasalahannya, kebencian kami berganti menjadi rasa kasian. Ada banyak remaja disini yang memiliki masalah, ternyata karena memang ada 'something wrong' dengan keluarganya, khususnya pengasuhan kedua orangtuanya. Setelah berusaha keras menenangkan Iwan, Iwan mau kembali mengikuti kegiatan sambil kami berjanji akan menyampaikan hal ini kepada orangtuanya. Akhirnya kedua orangtuanya dipanggil, dan diselesaikan oleh Guru BK/Bimbingan Konseling yang didampingi pimpinan sekolah ini (saya tidak mengikuti proses tersebut).
Waktu pun berlalu, saya kira masalahnya sudah selesai. Ternyata tidak, Iwan kembali melakukan pelanggaran, kali ini cukup berat, di kamarnya ditemukan bungkus rokok. Di tata tertib sekolah ini, hal tersebut merupakan pelanggaran sangat berat, sehingga Iwan harus mengalami skorsing selama 2 minggu. Sayang saya tidak mengikuti proses persidangannya, sehingga tidak tau persis alasannya melakukan hal tersebut.
Hikmahnya adalah hati-hati bila akan menjanjikan sesuatu kepada anak, terutama remaja. Karena remaja bisa nekad melakukan sesuatu yang tidak terduga, bahkan sesuatu berbahaya bila dia sedang mengalami kekecewaan, entah kekecewaan terhadap teman, orangtua, atau terhadap orang yang dicintainya.
Semoga bermanfaat 
Wassalam
Eva Novita
(arsip 2006)

ketika remaja rindu

Berinteraksi dengan remaja memang mengasyikkan. Banyak hal yang bisa digali dan dipelajari. Tidak mudah memang memahami dunia remaja saat ini yang semakin kompleks, tetapi justru disitulah sisi menariknya. Seperti yang saya alami saat ini. Berbeda dengan pekerjaan lain, pekerjaan sebagai guru memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena berkaitan dengan pendidikan sesosok makhluk bernama manusia. Bila salah dalam mengarahkan, maka akan sangat fatal akibatnya. Output pendidikan Islam bukan hanya menjadikan seorang anak sebagai anak yang pintar, tapi jauh lebih dalam lagi, menjadikan seorang anak sebagai anak yang berakhlak mulia, memiliki kualitas hablum minallah dan bermanfaat bagi orang lain (hablum minan nas), rahmatan lil'alamin. 

Siswa siswi SMU yang tinggal di boarding school, lebih rumit permasalahannya dibanding siswa siswi yang tidak tinggal di boarding. Sesekali ada siswi yang mogok sekolah karena sedang mengalami konflik dengan orangtuanya. Atau pernah juga seorang siswi korban perceraian yang sedemikian stressnya sampai sakit berbulan-bulan. Kadang, ada beberapa siswa yang melakukan pelanggaran hingga harus diberi sanksi sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Ada banyak cerita yang menarik ketika berinteraksi dengan mereka. 

Suatu hari, saya keliling asrama malam hari untuk menanyakan beberapa siswi yang prestasinya menurun. Saya panggil mereka satu persatu, ngobrol dengan mereka, menanyakan penyebab prestasinya menurun, untuk kemudian memotivasi mereka. Hingga sampailah pada seorang siswi, sebutlah namanya Via. Via saat ini duduk di kelas 2 IPS, dia seorang yang punya segudang permasalahan. Kedua orangtuanya bercerai saat dia berusia kanak-kanak. Saat ini, kedua orangtuanya sudah menikah lagi, dan Via punya beberapa adik tiri. Ketika SMP, Via adalah remaja metropolis, yang menghabiskan waktunya hanya untuk having fun, pacaran berkali-kali, ke mall bareng teman-temannya, jalan-jalan dan nonton.  

Awal masuk sekolah ini, saat masa OSPEK berjalan, dia stress dan tidak kuat mengikuti masa orientasi, tapi dengan berbagai cara, akhirnya dia masih bisa bertahan sampai kelas 2 ini. Saat mengobrol tahun lalu, ketika saya menanyakan penurunan prestasinya, mencoba mengetahui permasalahannya, tak disangka tak dinyana, Via malah menangis. Dia mengeluarkan semua uneg-unegnya yang selama ini dipendam, bahkan kepada ibunya pun tidak dia ceritakan. Via merindukan sosok ayah kandungnya, tapi tidak tahu bagaimana menyampaikan kerinduannya. Pertemuannya dengan ayah kandungnya jarang dilakukan, sementara posisi seorang ayah kandung tidak bisa tergantikan, even oleh seorang ayah tiri, yang dengannya sekarang dia menghabiskan waktu bersama ibu dan adik tirinya. Akhirnya saya jadi bisa memahami kenapa prestasinya menurun.
Tahun ini, beberapa bulan lalu, Via datang ke kamar saya, kembali menangis, kali ini saya bisa menebak permasalahannya, sepertinya dia ingin keluar dari sekolah, benar saja sambil menangis dia menjelaskan alasannya ingin keluar dari sekolah ini. Sangat diluar dugaan, alasannya ternyata karena dia ingin memperhatikan adik-adik tirinya yang makin jauh dari Islam.  

Masih lekat dalam ingatan saya ketika kelas I tahun lalu, dia minta belajar baca Al-Quran karena beberapa huruf masih tertukar. Masih lekat dalam ingatan saya ketika dia protes banyak mempertanyakan aturan-aturan sekolah yang tidak dia mengerti, seperti jalur jalan putra putri yang berbeda, tentang pacaran dll. Tiba-tiba sekarang dia ingin membimbing adik-adik tirinya. Betapa cepat kedewasaan tumbuh dalam dirinya. Padahal dulu, untuk berjilbab saja, tidak mudah baginya. Perlahan-lahan, keshalihannya mulai terlihat. Dengan ringannya Via cerita, ketika di rumah dia sering merasa kehilangan bila sekali saja setelah shalat fardhu tidak tadarus. Atau sekarang mulai tidak nyaman bila tidak berjilbab.  

Saya kira dia sudah mulai betah disini, tapi ternyata Via ingin keluar dari sekolah ini dengan alasan tidak terduga. Via rindu ingin melihat keluarganya ikut merasakan keindahan Islam seperti yang dia rasakan. Via rindu ingin mendampingi adik-adik tirinya agar tidak terjerumus dalam kehidupan metropolitan Jakarta yang seringkali tidak bersahabat.  

Saya terpana mendengarkan ceritanya, terharu melihatnya menangis, terpana dengan kerinduannya akan perhatian orangtuanya. Akhirnya hanya pelukan yang bisa saya berikan. Entah memberikan solusi atau tidak. 

Itu adalah salah satu dari sekian banyak cerita tentang potret remaja di sekolah ini. Sesungguhnya bukan saya yang mengajarkan para siswa disini, justru lebih banyak saya yang belajar dari mereka, saya yang mendapatkan banyak hal dari cerita-cerita mereka. Masalah saya tidak seberat masalah mereka, beban saya tidak sebanyak beban mereka, begitulah indahnya seorang guru, bekerja sambil belajar, bekerja mendidik orang lain sambil belajar mendidik diri sendiri. Begitu pula para orangtua, sambil mengajar dan mendidik anak, pada hakikatnya orangtua sedang mengajar dan mendidik dirinya sendiri untuk lebih baik dalam segala hal.  

Begitulah lika liku kehidupan remaja sekarang. Yang mereka hadapi makin berat, masalah yang mereka rasakan juga makin kompleks. Yang mereka butuhkan bukan hanya sekedar materi, tapi mereka butuh teman ngobrol, mengharapkan waktu luang dari orangtuanya untuk mendengarkan keluh kesah mereka, dan yang paling penting teman-teman dan lingkungan yang kondusif terhadap perkembangan pribadinya.

Parenting untuk remaja lebih banyak bersifat pendampingan dan dialog. 

Semoga Bermanfaat

Wassalam
Eva Novita
(arsip 2005)

Postingan Favorit