Pembahasan tentang sejarah balaghah menurut Amin al-Khuli mencakup 3 aspek yaitu (1) sejarah tentang materi balaghah dan ketentuan-ketentuannya, meliputi masalah awal kemunculan, tahapan perkembangan, dan bagaimana ilmu ini pada akhirnya; (2) Kajian tentang tokoh-tokoh ilmu balaghah; (3) Kajian tentang khazanah tulisan atau karangan dalam ilmu balghah. Ketiga hal diatas saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Menurut Prof Hidayat dalam
bukunya “Balaghah untuk Semua”, sejarah mencatat bahwa perkembangan balaghah
sebagai satu bidang kajian bahasa Arab, tidak dapat dipisahkan dari kajian
kemujizatan Al-Qur’an (الإعجاز القراني ), yang dimulai dengan lahirnya kitab
bernama Majaz Al-Qur’an (مجاز القران ) karya
Abu Ubaidah Mu’ammar bin al-Mutsanna. Ialah yang pertama kali secara khusus
mengkaji balaghah, yang kemudian diikuti oleh yang lainnya. Kitab ini mengkaji Ilmu Bayan yang
merupakan bagian dari ilmu balaghah.
Sementara penyusun kitab tentang ilmu badi’ pada masa awal, yang dianggap sebagai pelopor
adalah Abdullah bin al-Mu’taz dan Qudamah bin Jafar dengan Naqd
asy-Syi’r dan Naqd an-Natsr. Untuk
ilmu ma’ani, tidak diketahui pasti orang pertama kali yang menyusun
tentang ilmu tersebut namun yang sering menjadi pembicaraan adalah al Jahizh
dalam Ijaz Al-Qur’an (الإعجاز القراني ),
Setelah kemunculannya di masa awal, para ulama berikutnya saling melengkapi dan menambahi khazanah ilmu ini hingga hadirlah seorang pakar balaghah yaitu Abu Bakar Abdul Qahir Al-Jurjuniy yang mengarang kitab tentang ilmu Ma’ani dengan judul Dalail al-Ijaz (دلائل الإعجاز) dan tentang ilmu bayan dengan judul Asrarul Balaghah (أسرار البلاغة). Kemudian setelahnya, hadirlah Abu Yaqub Sirajuddin Yusuf As Sakakiy al-Khawarizmi dengan kitabnya yang membahas tentang ilmu balaghah lebih lengkap daripada yang lainnya yang berjudul Miftah al Ulum (مفتاح العلوم). As Sakakiy mendapat sambutan luar biasa, tidak sedikit ulama yang membuat ringkasan atau syarh dari kitab al Miftah seperti Ibnu Malik dalam al-Mishbah (المصباج) & Khatib al-Khizwini dalam 2 karyanya yaitu Talkhish al-Miftah (تلخيص المفتاح) dan Syarh al-Idhah (شرح الإيضاح).
Namun menurut para ahli
balaghah kontemporer, buku-buku balaghah ala As-Sakaki yang sarat dengan qawaid
, definisi dan klasifikasi itu telah membuat balaghah menjadi kering,
kehilangan rasa seni dan keindahannya sehingga penghayatan akan balaghah yang
seharusnya menjadi tujuan utama pembelajaran, umumnya tidak tersentuh, karena
perhatian terfokus pada hafalan, tanpa disertai amtsilah & tamrinat (latihan)
yang memadai. Hal inilah yang mendorong timbulnya pembaharuan dalam
pembelajaran balaghah pada paruh pertama abad XX di Mesir.