Pada hari Sabtu kemarin tanggal 10
juni 2017, mamah datang berkunjung ke Serpong karena mba nya mudik di hari
Jumat untuk mempersiapkan pernikahan. Hiks akhirnya hari itu datang juga, saat
mba ART di rumah akan melangsungkan pernikahan, itu berarti saya harus
siap-siap tak bergantung pada si mba, (bergantung harusnya pada Allah saja ya).
Walaupun mba nya masih pengen tetap bekerja setelah menikah.
Mamah pun harus mengungsi dari Tasik
ke Tangerang karena saya dan suami masih kerja sampai hari Sabtu besok. Hari
Sabtu kemarin juga sekalian buka puasa bersama bareng keluarga besar di tempat
saya di Serpong karena mamah sedang ada bersama saya. Setelah rempong dengan
urusan buka bersama, hari Ahad nya saya ajak mamah jalan-jalan ke Lotte Mart
untuk persiapan mudik ke Kudus, ke Parade Fo untuk membeli baju Eza dan ke ITC
untuk membeli baju Eza dan membeli kerudung mamah.
Saat di lotte mart, Eza sudah mulai
beraksi, pengen beli es krim, tidak saya ijinkan trus dia merayu mamah dan
berhasil, mamah langsung membelikan es krim. Saya tahan tahan untuk tidak
marah, saya sebenarnya pengen membuat Eza belajar menahan diri, tak langsung
memenuhi semua keinginannya karena khawatir berdampak panjang hingga besar
nanti. Di lotte mart saya tak berhasil, padahal saya sudah berikan pemahaman
pada Eza yang masih berusia 3,4 tahun.
Di tempat berikutnya saat mencari
baju di sebuah factory outlet, papanya memperlihatkan topeng, Eza pengen. Saya
sudah jelaskan tujuan awal datang kesini adalah untuk membeli baju, bukan
membeli topeng. Mulailah Eza beraksi lagi, merayu mamah dan suami agar
mengabulkan keinginannya. Saya sudah berusaha melarang suami dan mamah untuk
tak mengabulkan keinginannya, tapi mamah luluh juga, tak tega untuk membelikan
topeng yang harganya “hanya” 60.000. Sebenarnya saya tak masalah dengan
harganya, tapi saya tak suka dengan cara Eza yang meminta terus dan selalu
pengen langsung dipenuhi keinginannya. Saat akhirnya topeng itu dibeli, saya
MARAH, marah sekali. Entah marah pada Eza, pada suami atau pada mamah, saya
kesal.
Semua usaha saya untuk memberikan pemahaman pada Eza, merasa tak
didukung dan harus berjuang sendiri. Anehnya Eza bisa tau dan merasakan bahwa
saya marah, dia tak berani menatap saya, apalagi saat perjalanan dari factory
outlet itu, saya bungkam, aksi tutup mulut saya jalankan, saya khawatir
mengeluarkan kata-kata yang kasar dan tak bisa mengendalikan diri.