Saturday, August 9, 2008

remaja dan KDRT


Bismillah
Aku mengenalnya sebagai siswa baru di sekolah ini. Saat tulisan ini dibuat, siswi ini, sebut saja namanya Fani, baru berada di sekolah ini selama satu bulan. Sejak aku ditugaskan untuk menjadi wali asrama siswi kelas X yang berjumlah 61 orang, aku harus mengenal pribadi mereka satu persatu, salah satunya Fani.
Aku mulai mengenal sosoknya sejak dia mencalonkan diri sebagai ketua angkatan kelas X putri. Saat berkampanye, Fani menguraikan program-programnya yang menarik. Dari situ terlihat potensinya, seperti jiwa kepemimpinanya tinggi, ide-idenya kreatif dan sosialisasi dengan teman-temannya bagus. Sekilas tidak ada yang berbeda dari sosoknya, tapi betapa kagetnya aku saat menerima telefon dari ibunya bahwa Fani ingin pindah sekolah. Ibunya meminta tolong agar anaknya tetap bertahan di sekolah ini.
Malam harinya, aku pun mengajak Fani mengobrol. Ketika saya gali lebih dalam, keluarlah berbagai rahasia yang mengagetkan. Inilan penuturannya:
Saya adalah anak ke-1 dari 2 bersaudara. Adik saya laki-laki, usianya 8 tahun. Orangtua saya tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah. sejak kecil, saya menyaksikan sendiri papa saya melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Terhadap ibu saya. Ibu saya sering mengeluhkan hal ini kepada saya, saya pun menjadi teman berbagi buat ibu saya.saya tumbuh menjadi sosok yang "gagah". Sejak saat itu, saya berusaha melindungi ibu saya. Dengan berani pula setiap papa saya akan melakukan aksinya, saya berusaha melarangnya. Tapi alih-alih aksinya berhenti, malah saya yang terkena imbasya. Tak jarang saya dipukul dan dikurung di kamar mandi. Tapi saya sudah kebal, saya hanya ingin melindungi ibu saya. Jangan sampai ibu saya tambah menderita. Berkali-kali ibu saya meminta untuk tidak mengorbankan diri demi melindungi ibu, tapi saya merasa bertanggung jawab untuk melindungi ibu dan adik saya.
Sebenarnya ibu saya sudah tidak tahan dengan perlakuan suaminya, tapi saya memintanya bertahan. Saya hanya tidak ingin adik saya mengalami broken home sebelum dia mengerti duduk permasalahannya. Tapi saya juga tidak mau adik saya menyaksikan kekerasan di dalam rumah. Apakah saya tega membiarkan ibu saya dipukuli terus menerus? Tentu saja tidak. Apalagi masih lekat dalam ingatan saya saat ibu saya dibenturkan ke tembok (fani terdiam dan menangis). Karena itulah keinginan saya untuk pindah dari sekolah ini semakin kuat, karena saya ingin melindungi adik saya dan ibu saya dari aksi papa saya.
Dampak dari KDRT yang saya rasakan, adalah saya tumbuh menjadi sosok emosional dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Apalagi baru2 ini tersiar kabar bahwa ayah saya selingkuh. Sebelum masuk sekolah ini, saya sedang mengumpulkan bukti perselingkuhan ayah saya. Tapi sebelum saya mendapatkan bukti, saya keburu masuk sekolah ini. Padahal andai saya menemukan bukti, saya akan "labrak" si perempuan itu.
Demikian kisah Fani yang membuat aku merinding. Ternyata siswi saya mengalami sendiri KDRT yang sering diberitakan di media dan efeknya terhadap jiwa remaja memang tidak bagus.
Saat ini aku masih melobi Fani untuk tetap bertahan di sekolah ini sambil mencari solusi untuk masalah keluarganya. Karena wala bagaimanapun, masalah keluarganya ini sangat mengganggu konsentrasi belajar Fani. Mohon doanya
Semoga bermanfaat
(Curhatnya Fani pada Senin malam 4 agt 08 di asrama putri IC, 20.30-21.30)

Postingan Favorit