Saturday, September 28, 2013

Kudus Part 4 : Mampir Sejenak di Masjid Agung Jawa Tengah

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih 5 hari di Kudus, tiba saatnya saya dan suami kembali ke Jakarta, untuk melanjutkan aktivitas kami di Serpong. Kami pulang masih dengan menggunakan kereta Argo Muria Semarang-Jakarta, pukul 16.00 dari Semarang, dengan tiket yang sangat murah yaitu hanya Rp 275.000 untuk kelas executive. Kami memilih waktu di hari Jumat 16 Agustus 2013, sehari sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, hehe ga ada hubungannya sich …



Kami meninggalkan rumah orang tua Mas di Mejobo pukul 8 pagi, dan mencari bis yang menuju Semarang, ternyata tak semudah yang dikira. Penumpangnya bejubel, karena Kudus ini lintasan, bis yang start awalnya dari Rembang, Demak ini saat nyampe Kudus, ternyata sudah penuh dan kami kesulitan mencari bis yang kosong. Hampir satu jam kami menunggu bis, akhirnya diputuskan naik bis yang ada karena rasanya tak mungkin mendapat bis yang kosong, mungkin karena ini masa-masa liburan … saat naik bis, kami tak kebagian tempat, saya dan mas berdiri dengan barang-barang yang lumayan banyak, sambil berdoa dalam hati semoga bumil ini kuat berdiri di bis. Alhamdulillah tak lama kemudian, di terminal Kudus saya mendapat tempat duduk sementara mas tetap berdiri sampai Semarang. Kami sudah janjian dengan seorang alumni IC yang baik hati, yang akan menjemput kami di Genuk, Semarang. Alumni ini ternyata membawa seorang temannya yang alumni juga, menjemput dengan 2 motor… alhamdulillah

Singkat cerita, sampailah kami di rumah alumni tersebut sekitar pukul 11 lebih, berjumpa dengan orang tuanya. Karena ini hari Jumat, mas langsung siap-siap untuk Jum’atan, kami ditawari untuk shalat Jumat di Masjid Agung Jawa Tengah. Tentu saja kami tak menolak, saya pun tak mau ketinggalan. Naluri jalan-jalan saya menemukan muaranya, hehe …ternyata jarak tempuh dari rumah alumni ke masjid Agung Jawa Tengah, tak jauh, hanya sekitar 10 menit. Kami tiba di sana dengan selamat sentosa, saat cuaca sedang terik-teriknya … mas dengan 2 alumni menuju dalam masjid, saya berkeliling sendiri mencari sudut foto yang indah untuk mengabadikan masjid terbesar di Jawa Tengah ini.


Sambil menunggu mas dan 2 alumni shalat Jum’atan, mari kita simak dulu sejarah masjid Agung Jawa Tengah hehe. Karena kami tak lama berwisata di masjid ini, maka mari kita tanya sejarah masjid ini ke professor google, dan dapetlah dari beberapa sumber, diantaranya Wikipedia, Tribun Jateng dan Dunia Pesantren. Ternyata ada 3 masjid besar di Semarang yaitu masjid Besar Kauman di Pasar Johar, Masjid Agung Jawa Tengah dan Masjid Baiturrahman di alun-alun simpang 5 Semarang. Mari kita mulai dengan masjid besar Kauman.

Sejarah Masjid Besar Kauman Semarang

Menurut inskripsi berbahasa dan berhuruf jawa yang terpatri di batu marmer tembok bagian dalam gerbang masuk ke Masjid Besar Kauman Semarang, masjid ini dibangun pada tahun 1170 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1749M. lengkapnya inskripsi tersebut berbunyi seperti berikut :

“Pemut kala penjenengane Kanjeng Tuwan Nikolas Harting hedelir gopennar serta sarta Direktur hing tanah Jawi gennipun kangjeng Kyahi Dipati Suradimanggala hayasa sahega dadosse masjid puniki kala Hijrat 1170”

Dalam bahasa Indonesia nya :
“Tanda peringatan ketika kanjeng Tuan Nicoolass Hartingh, Gubernur serta Direktur tanah Jawa pada saat Kanjeng Kyai Adipati Suramanggala membangun hingga jadinya masjid ini pada tahun 1170 Hijrah”

Tuan Nicoolass Hartingh sendiri seperti yang disebutkan dalam inskripsi tersebut adalah tokoh utama penggerak lahirnya perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang memecah wilayah Kesultanan Mataram atau dikenal dengan Palihan Nagari menjadi wilayah kesultanan Ngayokyakarta Hadiningrat berpusat di Yokyakarta dan Kasunanan Surakarta. Atas upayanya Nicoolas Hartingh kemudian dihadiahi rumah dinas oleh pemerintah penjajahan Belanda (VOC) di daerah tugu muda dengan nama De Vredestein atau Wisma Perdamaian.

Masjid Besar Kauman Semarang yang kini masih berdiri kokoh adalah bangunan yang didirikan oleh Adipati Suradimanggala (Kiai Terboyo) menggantikan masjid lama yang rusak parah akibat kebakaran selama geger pecinan di Semarang tahun 1741. Lokasi masjid lama ini berada di sebelah timur alun alun di seberang barat kali Semarang. Masjid ini pernah dipugar pada masa penjajahan, pada tahun 1889 sampai 1904 di karenakan pernah terjadi kebakaran pada masjid tersebut. Pada waktu pemugaran Masjid Kauman ditangani seorang arsitek Belanda bernama Gakampiyan.

Sementara pembangunan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), berawal dari kembalinya tanah banda (harta) wakaf milik Masjid Besar Kauman Semarang yang telah sekian lama tak tentu rimbanya. Raibnya banda wakaf Masjid Besar Kauman Semarang berawal dari proses tukar guling tanah wakaf Masjid Kauman seluas 119.127 ha yang dikelola oleh BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) bentukan Bidang Urusan Agama Depag Jawa Tengah. Dengan alasan tanah itu tidak produktif, oleh BKM tanah itu di tukar guling dengan tanah seluas 250 ha di Demak lewat PT. Sambirejo. Kemudian berpindah tangan ke PT. Tensindo milik Tjipto Siswoyo.

Pada tanggal 6 juni 2001 Gubernur Jawa Tengah membentuk Tim Koordinasi Pembangunan Masjid Agung Jawa Tengah untuk menangani masalah-masalah baik yang mendasar maupun teknis. Kemudian pembangunan masjid tersebut dimulai pada hari Jumat, 6 September 2002 yang ditandai dengan pemasangan tiang pancang perdana yang dilakukan Menteri Agama RI, Prof. Dr. H. Said Agil Husen al-Munawar, KH. MA Sahal Mahfudz dan Gubernur Jawa Tengah, H. Mardiyanto. Pemasangan tiang pancang pertama tersebut juga dihadiri oleh tujuh duta besar dari Negara-negara sahabat, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Mesir, Palestina, dan Abu Dabi. Dengan demikian mata dan perhatian dunia internasional pun mendukung dibangunnya Masjid Agung Jawa Tengah tersebut.

Masjid ini diresmikan pada tanggal 14 November 2006 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono. Masjid dengan luas areal tanah 10 Hektar dan luas bangunan induk untuk shalat 7.669 meter persegi. Secara keseluruhan pembangunan Masjid ini menelan biaya sebesar Rp 198.692.340.000.

Meskipun baru diresmikan pada tanggal 14 Nopember 2006, namun masjid ini telah difungsikan untuk ibadah jauh sebelum tanggal tersebut. Masjid megah ini telah digunakan ibadah shalat jum’at untuk pertama kalinya pada tanggal 19 Maret 2004 dengan Khatib Drs. H. M. Chabib Thoha, MA, (Kakanwil Depag Jawa Tengah).
Masjid ini dirancang dalam gaya arsitektural campuran Jawa, Islam dan Romawi. Diarsiteki oleh Ir. H. Ahmad Fanani dari PT. Atelier Enam Jakarta yang memenangkan sayembara desain Masjid ini tahun 2001. Bangunan utama masjid beratap limas khas bangunan Jawa namun dibagian ujungnya dilengkapi dengan kubah besar berdiameter 20 meter ditambah lagi dengan 4 menara masing masing setinggi 62 meter ditiap penjuru atapnya sebagai bentuk bangunan masjid universal Islam lengkap dengan satu menara terpisah dari bangunan masjid setinggi 99 meter.

Gaya Romawi terlihat dari bangunan 25 pilar dipelataran masjid. Pilar pilar bergaya koloseum Athena di Romawi dihiasi kaligrafi kaligrafi yang indah, menyimbolkan 25 Nabi dan Rosul, di gerbang ditulis dua kalimat syahadat, pada bidang datar tertulis huruf Arab Melayu “Sucining Guno Gapuraning Gusti“.

Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) ini, selain disiapkan sebagai tempat ibadah, juga dipersiapkan sebagai objek wisata religius. Untuk menunjang tujuan tersebut, Masjid Agung ini dilengkapi dengan wisma penginapan dengan kapasitas 23 kamar berbagai kelas, sehingga para peziarah yang ingin bermalam bisa memanfaatkan fasilitas ini.
Daya tarik lain dari masjid ini adalah Menara Al Husna atau Al Husna Tower yang tingginya 99 meter. Bagian dasar dari menara ini terdapat Studio Radio Dais (Dakwah Islam). Sedangkan di lantai 2 dan lantai 3 digunakan sebagai Museum Kebudayaan Islam. Museum ini menyimpan keris, mushaf Alquran kuno, Alquran raksasa, mimbar kuno dari Masjid Terboyo, artefak, gamelan, wayang, dan nisan yang asli. Adapun benda replika antara lain maket MAJT dan menara Masjid Sunan Kudus.

Adapun di lantai 18 terdapat Kafe Muslim yang dapat berputar 360 derajat. Lantai 19 untuk menara pandang, dilengkapi 5 teropong yang bisa melihat kota Semarang. Pada awal Ramadhan 1427 H lalu, teropong di masjid ini untuk pertama kalinya digunakan untuk melihat Rukyatul Hilal oleh Tim Rukyah Jawa Tengah dengan menggunakan teropong canggih dari Boscha.

Area serambi Masjid Agung Jawa Tengah dilengkapi 6 payung raksasa otomatis seperti yang ada di Masjid Nabawi, tinggi masing masing payung elektrik adalah 20 meter dengan diameter 14 meter. Payung elektrik dibuka setiap shalat Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha dengan catatan kondisi angin tidak melebihi 200 knot, namun jika pengunjung ada yang ingin melihat proses mengembangnya payung tersebut bisa menghubungi pengurus masjid.
Masjid ini memiliki koleksi Al Quran raksasa berukuran 145 x 95 cm². Ditulis tangan oleh Drs. Khyatudin, dari Pondok Pesantren Al-Asyariyyah, Kalibeber, Mojotengah, Wonosobo. Lokasinya berada di dalam ruang utama tempat shalat. Ada pula beduk raksasa berukuran panjang 310 cm, diameter 220 cm, yang merupakan replika beduk Pendowo Purworejo dan dibuat oleh para santri pondok pesantren Alfalah, Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, asuhan KH Ahmad Sobri, menggunakan kulit lembu Australia. Dan ada juga tongkat khatib MAJT yang merupakan tongkat pemberian Sultan Hasanal Bolkiah dari Brunei Darusalam.

Demikianlah sejarah lengkap tentang masjid ini. Setelah mas dan 2 alumni selesai Jumatan, kami ditawari untuk naik ke menara Al-Husna, tapi saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 12.30, sementara menara baru dibuka pukul 1 siang. Mas langsung mengambil keputusan, tak usah ke menara, karena kami dikejar tiket kereta pukul 4 sore, kami memutuskan pulang, tentu saja setelah episode berpose ria di sekeliling area masjid ini selesai kami lakukan hehe …

Saat kami tiba di rumah alumni tersebut, kami dijamu makan siang yang lezat, dengan menu ikan mas goreng dan sayur kangkung, kami lahap sekali menikmati makanan ini. Seorang alumni lagi, tiba tak lama kemudian dan langsung bergabung  untuk makan siang. Setelah ngobrol ngalor ngidul dengan keluarganya dan 2 orang tamu lain, kami pun pamit, dan menuju stasiun Tawang Semarang. Dengan diantar 3 motor oleh 3 orang alumni, kami tiba di stasiun Tawang dengan selamat sentosa pukul 3 sore. Karena suasana liburan, stasiun tampak rame dan agak antri saat kami masuk ke dalam stasiun. Setelah urusan adminitrasi selesai, kami pun meninggalkan Semarang pukul 4 sore dan tiba dengan selamat di Stasiun Gambir Jakarta pukul 10 malam. Setelah shalat isya, kami langsung menuju BSD Tangerang dengan menggunakan taxi. Mungkin karena lelahnya, episode muntah kembali bumil alami selama 2 kali, saat di kereta dan saat di taxi. Untunglah rumah (dinas) indah kami di sekolah, sanggup menampung rasa lelah ini. Alhamdulilllah episode mudik Tasik dan Kudus ini pun berakhir juga.


Wassalam
Eva  Novita Ungu
Sabtu, 28 September 2013 (yang seharusnya untuk hari Rabu, 11 September 2013)
Wisata masjid itu ternyata mengasyikkan …


No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit