Sunday, February 24, 2019

Pesantren Impian



Dulu saya pernah bermimpi memiliki pesantren yang mendidik santrinya untuk memiliki jiwa entrepreneur yang mandiri, santri dibekali keterampilan-keterampilan yang membuat dia siap hidup mandiri secara finansial setelah keluar dari pondok. Lama sekali impian ini terpendam, hingga kemarin saat ditugaskan untuk survey kegiatan Homestay di Bandung, saya seperti dejavu, impian lama tentang sebuah pesantren tiba-tiba sudah menjelma menjadi kenyataan dalam pesantren yang dikunjungi.

Pesantren itu bernama Al-Ittifaq yang berlokasi di Rancabali Ciwidey Bandung. Lokasi pesantren yang menyatu dengan masyarakat, memiliki konsep agribisnis yang keren. Pesantren ini didirikan tanggal 1 Februari 1934 oleh KH. Mansyur, seorang ulama di Ciwidey yang terkenal anti penjajah dan berprinsip bahwa apapun yang dilakukan Belanda, tidak boleh ditiru. Kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh H. Rifai, tapi KH Mansur masih terlibat. Pengelolaan pesantren masih bersifat tradisional dan jumlah santrinya masih sedikit, kurang lebih 30 orang saja.

Perubahan terjadi saat cucu KH Mansur yang bernama KH Fuad Afandi, mengambil alih kepemimpinan pesantren. 

Beberapa kebijakan pun diberlakukan, yaitu

Konflik Batin itu Bernama Jabatan...



Sudah beberapa hari ini, saya dan suami mendiskusikan sesuatu secara alot, biasanya terjadi titik temu, kali ini kami berbeda pendapat. Sesuatu itu bernama jabatan, yang menyapa suami secara mendadak dan tak terduga, hingga membuat saya kaget dan tidak atau belum siap.

Saya terus terang tidak suka dengan makhluk yang bernama jabatan, sebisa mungkin saya hindari, kecuali saya yakin bahwa saya bisa mengembannya. Suka aneh dengan beberapa orang yang tergila-gila dengan jabatan, tapi itu memang pilihan.

Saya ingat di tahun 2007, 3 tahun setelah saya bekerja, saya dirayu untuk menjadi bendahara koperasi, dan langsung saya tolak. Pada saat hari pemilihan, saya sengaja kabur ke Tasik, dengan alasan mudik, tujuannya tentu saja supaya tak terpilih. Ternyata jika sudah takdirnya, tak bisa ditolak juga. Sebagian besar anggota yang hadir tak mempermasalahkan ketidakhadiran saya, dan saya tetap terpilih.

Jabatan memang tidak pernah saya minta, tapi jika sudah terpilih, saya mencoba menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya, dan setelah dijalani ternyata saya suka, seperti menemukan dunia baru. Tapi ternyata tak semua orang akan menyukai yang kita lakukan, ada saja komentar yang menyakitkan dan membuat saya drop secara mental, sehingga menjadi pengalaman traumatik yang tidak terlupakan. Di akhir kepengurusan, saat anggota meminta saya kembali menjadi pengurus, saya menolak, karena pengalaman traumatik itu begitu membekas dan harus saya sembuhkan dulu. Alhamdulillah ada yang bersedia menjadi pengurus saat itu.

Wednesday, February 20, 2019

"Tongkat Musa" dalam Diri Kita

Sejak kecil, tentu kita sering mendengar kisah Nabi Musa yang dikejar Firaun dan pasukannya. Banyak sekali kisah dalam Al-Qur’an yang berlalu begitu saja, tanpa ada hikmah yang kita bisa terapkan dalam kehidupan zaman now, seolah-olah kisah itu adalah dongeng yang hanya pantas diceritakan untuk cerita pengantar sebelum tidur pada anak-anak kita, seputar mujizat kenabian, yang tidak mungkin akan dialami oleh orang seperti kita, yang bukan orang shalih banget, apalagi nabi.


Setelah membaca buku karya Dewa Eka Prayoga yang berjudul “Melawan Kemustahilan, Menguji Keimanan, Menjemput Keajaiban”, saya mendapat pencerahan saat sang penulis menceritakan tentang kisah Nabi Musa dikejar Firaun dan pasukannya di laut merah. Menurut penulisnya, kisah tersebut seringkali terjadi pada kita dengan analogi sebagai berikut:

Nabi Musa                               = Kita
Laut Merah                             = Hambatan
Firaun                                      = Ancaman
Tanah yang dijanjikan             = Impian
Tongkat Nabi Musa                = Solusi

Postingan Favorit