Sunday, February 24, 2019

PENGHALANG REJEKI



Kita biasanya berfikir bahwa hasil adalah sebanding dengan usaha yang kita lakukan. Sepertinya teori itu tidak berlaku bagi Dewa Eka Prayoga, penulis buku “Melawan Kemustahilan”. Setelah berbagai usaha dilakukannya untuk melunasi hutangnya yang milyaran, mulai dari menulis buku, mengisi training, launch produk digital, dividen/bagi hasil bisnis, hingga fee coaching/mentoring. Dewa tetap merasa kurang maksimal hingga setelah merenung, ia menemukan bahwa leverage (pelipat ganda) rejeki ternyata ada pada 3 hal.

Tiga hal pelipat ganda rejeki adalah Ibadah, Sedekah dan Silaturahmi. Ibadah dengan memperbanyak kuantitas ibadah wajib dan sunnah, sedekah dengan banyak berbagi yang dimiliki, dan silaturahmi adalah memperbaiki hubungan sosial dengan orangtua, teman, saudara, sahabat, dan lain-lain.

Selain pelipat ganda rejeki, ternyata ada juga yang bernama penghalang rejeki. Penghalang rejeki itu bernama masiat. 

Jangan Lelah Berbuat Baik...



Penulis buku “Melawan Kemustahilan” yang bernama Dewa Eka Prayoga bercerita dalam bukunya bahwa pada tahun 2012, dia harus menanggung dana pihak ketiga sebesar 7,7 milyar. Uniknya, kejadian tersebut terjadi 18 hari setelah menikah dan itu bukan merupakan kesalahannya. Dana yang sejatinya hanya lewat ke mitra utama, kemudian harus menjadi tanggung jawabnya karena mitra utamanya kabur dan membawa uang puluhan milyar.

Masalah ini membuat stress sang penulis, karena saat bulan madu yang seharusnya dinikmati dengan bersenang-senang, berubah drastis menjadi saat yang menegangkan karena banyak orang menagih dana dan menuntut uang nya kembali secepatnya. Lalu ia pun meminta wejangan dari gurunya, dan tanpa diduga, nasehat gurunya adalah

“Banyak-banyak saja bantu orang…”

Tentu saja Dewa, penulis buku tersebut protes,

“Lha, pak, ini gimana ceritanya, kan saya aja lagi bangkrut dan butuh dibantu, kok malah disuruh bantu orang, sih…”
(hal. 65)

Pesantren Impian



Dulu saya pernah bermimpi memiliki pesantren yang mendidik santrinya untuk memiliki jiwa entrepreneur yang mandiri, santri dibekali keterampilan-keterampilan yang membuat dia siap hidup mandiri secara finansial setelah keluar dari pondok. Lama sekali impian ini terpendam, hingga kemarin saat ditugaskan untuk survey kegiatan Homestay di Bandung, saya seperti dejavu, impian lama tentang sebuah pesantren tiba-tiba sudah menjelma menjadi kenyataan dalam pesantren yang dikunjungi.

Pesantren itu bernama Al-Ittifaq yang berlokasi di Rancabali Ciwidey Bandung. Lokasi pesantren yang menyatu dengan masyarakat, memiliki konsep agribisnis yang keren. Pesantren ini didirikan tanggal 1 Februari 1934 oleh KH. Mansyur, seorang ulama di Ciwidey yang terkenal anti penjajah dan berprinsip bahwa apapun yang dilakukan Belanda, tidak boleh ditiru. Kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh H. Rifai, tapi KH Mansur masih terlibat. Pengelolaan pesantren masih bersifat tradisional dan jumlah santrinya masih sedikit, kurang lebih 30 orang saja.

Perubahan terjadi saat cucu KH Mansur yang bernama KH Fuad Afandi, mengambil alih kepemimpinan pesantren. 

Beberapa kebijakan pun diberlakukan, yaitu

Postingan Favorit