مِنْ عَلَامَة
ِالاِعْتَمَادِ عَلى الْعَمَلِ نُقْضَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزُّلَلِ
Salah satu tanda bergantungnya seseorang kepada amalnya
adalah kurangnya “Raja’” (harapan terhadap rahmat Allah Swt) tatkala ia mengalami
kegagalan (dosa)
One of the signs
of relying on one’s owns deeds is the loss of hope when a downfall occurs
Kitab Al-Hikam
adalah salah satu karya paling terkenal dari Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari,
seorang ulama besar sufi dari Mesir yang hidup pada abad ke-13 M. Kitab ini
sangat dihormati dalam tradisi tasawuf karena mengandung hikmah-hikmah mendalam
tentang kehidupan spiritual, hubungan manusia dengan Allah, dan cara menjalani
kehidupan dengan penuh kesadaran terhadap Tuhan.
Tentang Penulis
Syekh
Ibnu Athaillah as-Sakandari (1250–1309 M) adalah seorang ulama sufi dari
tarekat Syadziliyah. Beliau juga seorang fakih, teolog, dan penulis produktif.
Sebagai murid dari Syekh Abul Abbas al-Mursi, penerus pendiri Tarekat
Syadziliyah, Ibnu Athaillah memiliki peran penting dalam menyebarkan ajaran
sufisme yang seimbang antara syariat dan hakikat.
Kajian kitab Hikmah yang pertama ini
adalah tentang larangan bersandar pada amal kita. Hikmah ini bukan berbicara
tentang orang yang gagal dalam beramal. Ar raja artinya adalah berharap kepada
Allah Swt. Kalimat “wujud az zalal” artinya adalah segala wujud akan
hancur atau alam ini begitu fana atau sementara. Secara wujud atau materi, alam
ini akan hancur, tapi secara ruh, akan tetap hidup dan harus terus berharap
kepada Allah, bukan bersandar pada amal kita.
Kita melakukan amal ibadah, tentu
berharap agar amal ibadah kita diterima, tapi jangan sampai kita bergantung
pada amal, karena hakikatnya Allah lah yang menggerakkan dan memberikan kita kekuatan
untuk bisa beramal. Sehingga jika kita melakukan kesalahan atau masiat, jangan
sampai kita merasa putus asa dan berkurang rasa harap kita kepada Allah Swt
lalu menjadi berhenti beramal.
Lalu buat apa kita beramal kalau kita
tidak boleh bersandar pada amal perbuatan kita?
Secara syariat kita diperintahkan untuk
beramal shalih, maka kita pun harus menaatinya, tapi secara hakikat, kita
dilarang untuk menyandarkan pada amal dan usaha kita agar kita tetap bersandar
pada Rahmat dan karunia Allah saja.
Kita dilarang menyekutukan Allah dengan
berhala dan benda apapun, maka kita pun tidak boleh menyekutukan Allah dengan merasa
yakin dengan amal dan kekuatan kita sendiri, seolah-olah kita bisa beramal
hanya karena jasa sendiri. Maka bersandarlah pada Allah saja, bukan bersandar
pada amal kita.
Wallahu A’lam
Sumber foto: darisini
Semoga bermanfaat
Wassalam
Eva Novita Ungu
Serpong, 010125.06.35
No comments:
Post a Comment