Thursday, January 2, 2025

KAJIAN KITAB HIKAM, HIKMAH KE-1

 


مِنْ عَلَامَة ِالاِعْتَمَادِ عَلى الْعَمَلِ نُقْضَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزُّلَلِ

Salah satu tanda bergantungnya seseorang kepada amalnya adalah kurangnya “Raja’” (harapan terhadap rahmat Allah Swt) tatkala ia mengalami kegagalan (dosa)

One of the signs of relying on one’s owns deeds is the loss of hope when a downfall occurs

Kitab Al-Hikam adalah salah satu karya paling terkenal dari Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari, seorang ulama besar sufi dari Mesir yang hidup pada abad ke-13 M. Kitab ini sangat dihormati dalam tradisi tasawuf karena mengandung hikmah-hikmah mendalam tentang kehidupan spiritual, hubungan manusia dengan Allah, dan cara menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran terhadap Tuhan.

Tentang Penulis

Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari (1250–1309 M) adalah seorang ulama sufi dari tarekat Syadziliyah. Beliau juga seorang fakih, teolog, dan penulis produktif. Sebagai murid dari Syekh Abul Abbas al-Mursi, penerus pendiri Tarekat Syadziliyah, Ibnu Athaillah memiliki peran penting dalam menyebarkan ajaran sufisme yang seimbang antara syariat dan hakikat.

Kajian kitab Hikmah yang pertama ini adalah tentang larangan bersandar pada amal kita. Hikmah ini bukan berbicara tentang orang yang gagal dalam beramal. Ar raja artinya adalah berharap kepada Allah Swt. Kalimat “wujud az zalal” artinya adalah segala wujud akan hancur atau alam ini begitu fana atau sementara. Secara wujud atau materi, alam ini akan hancur, tapi secara ruh, akan tetap hidup dan harus terus berharap kepada Allah, bukan bersandar pada amal kita.

Kita melakukan amal ibadah, tentu berharap agar amal ibadah kita diterima, tapi jangan sampai kita bergantung pada amal, karena hakikatnya Allah lah yang menggerakkan dan memberikan kita kekuatan untuk bisa beramal. Sehingga jika kita melakukan kesalahan atau masiat, jangan sampai kita merasa putus asa dan berkurang rasa harap kita kepada Allah Swt lalu menjadi berhenti beramal.

Lalu buat apa kita beramal kalau kita tidak boleh bersandar pada amal perbuatan kita?

Secara syariat kita diperintahkan untuk beramal shalih, maka kita pun harus menaatinya, tapi secara hakikat, kita dilarang untuk menyandarkan pada amal dan usaha kita agar kita tetap bersandar pada Rahmat dan karunia Allah saja.

Kita dilarang menyekutukan Allah dengan berhala dan benda apapun, maka kita pun tidak boleh menyekutukan Allah dengan merasa yakin dengan amal dan kekuatan kita sendiri, seolah-olah kita bisa beramal hanya karena jasa sendiri. Maka bersandarlah pada Allah saja, bukan bersandar pada amal kita.

Wallahu A’lam

Sumber foto: darisini


Semoga bermanfaat
Wassalam
Eva Novita Ungu
Serpong, 010125.06.35

No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit