Dalam beberapa kesempatan, ada satu atau dua orang
yang bertanya pada saya mengapa dalam al-Qur’an, ada kata ganti “kami” yang
ditujukan pada Allah. Mengapa Allah menggunakan kata ganti kami? Apakah berarti
Allah membutuhkan pihak lain? Atau itu bermakna bahwa Allah itu lebih dari
satu? Bukankah kami itu bermakna banyak, apa itu berarti bahwa al-Qur’an
mengakui Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Tuhan ROh? Hal inilah yang akan kita coba
ulas dalam notes kali ini.
Saat kita membaca al-Qur’an, kita sering mendapati ada
3 kata ganti untuk Allah yaitu dia (هو),
saya (انا) dan kami (نحن).
Contoh ayat yang menggunakan kata ganti dia adalah :
قُلْ هُوَ
اللَّهُ أَحَدٌ
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, (QS
al-Ikhlash: 1)
Contoh ayat yang menggunakan kata ganti saya adalah :
فَلَمَّا
أَتَاهَا نُودِيَ يَا مُوسَى إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ
إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ
لِمَا يُوحَى إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي
وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil:
"Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua
terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah
memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. (QS Thaha: 11-14).
Contoh ayat yang menggunakan kata ganti kami adalah :
لَقَدْ
خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya.
(QS at-Tiin: 4).
Untuk penggunaan kata ganti saya dan dia, mungkin tak
terlalu masalah karena sesuai konteks dan sesuai penggunaannya yaitu berbentuk
tunggal dan menunjukkan ke”esa”an. Yang menarik adalah saat kata ganti “kami”
yang digunakan karena kata ganti ini berbentuk jamak. Mungkin kita
bertanya-tanya, atau mungkin kita pernah mendengar orang mempertanyakan,
“Mengapa Allah menggunakan kata ‘Kami’ yang berarti jamak atau lebih dari
satu?”, bahkan mungkin ada yang mengatakan “berarti itu menunjukkan Allah lebih
dari satu atau Allah membutuhkan yang lain dalam melakukan sesuatu”.
Ada 3 konteks yang dapat menjelaskan tentang
penggunaan kata ganti “kami” dalam perbuatan Allah, yaitu:
A. Konteks Pertama
Bahasa Arab ialah bahasa paling sukar di dunia. Hal
ini disebabkan karena dalam satu kata, bahasa arab memiliki banyak makna. Dalam
tata bahasa arab, penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna
zhahir dan apa adanya.
Selain kata ‘Nahnu”, ada juga kata ‘antum’ yang sering
digunakan untuk menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna
`antum` adalah kalian (jamak). Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan
bicara kita dengan panggilan ‘antum’ (kalian), maka ada kesan sopan dan ramah
serta penghormatan ketimbang menggunakan sapaan ‘anta’ (kamu/anda).
Kata ‘Nahnu` (kami) tidak selalu bermakna banyak,
tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari dalam ilmu balaghah.
Kata kami dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan
nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa dihayati oleh orang
asing yang tidak mengerti cita rasa Bahasa Arab. Atau mungkin juga karena di
dunia barat tidak lazim digunakan kata-kata seperti itu.
Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai
sastra tingkat tinggi. Dalam al-Qur’an, penggunaan kata ganti jamak tapi
bermakna tunggal juga digunakan. Permasalahannya terjadi setelah al-Quran
yang berbahasa Arab, dengan kekhasan tata bahasanya, diterjemahkan ke dalam
bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia, yang tak sama kaidah dan struktur tata
bahasanya. Akan tetapi, setelah mengetahui perbedaan tata bahasa ini,
kejanggalan tersebut, mudah-mudahan segera dapat dimengerti dan dimaklumi.
Jadi, dalam konteks pertama ini, kata ganti “kami”
yang mengacu pada Allah, digunakan dengan tujuan untuk mengagungkan dan
membesarkan asma (nama) atau sifat-Nya, seperti dalam contoh
ayat berikut ini:
ثُمَّ
عَفَوْنَا عَنْكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar
kamu bersyukur. (QS al-Baqarah: 52)
Pada ayat tersebut, kata “Kami maafkan” menunjukkan
bahwa ada unsur untuk mengagungkan sifat Allah sebagai yang Maha Pemaaf.
B. Konteks Kedua
Kata “Kami” pada konteks kedua ini, bermakna bahwa dalam mengerjakan tindakan tersebut, Allah melibatkan unsur-unsur makhluk (selain diri-Nya sendiri) atau ada proses alamiah (hukum alam) yang berlaku. Bisa juga dimaknai dalam konteks lain bahwa Allah terlalu “mulia” bila langsung turun ke bumi. Seperti halnya saat presiden melakukan sesuatu, mungkin ada yang tak perlu langsung dikerjakan sang presiden, cukup dilakukan oleh ajudannya saja atau menterinya atau wakilnya.
Contoh dalam surat at-Tiin di atas tentang penciptaan
manusia, penggunaan kata ganti “kami” dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa
dalam penciptaan manusia, ada keterlibatan “orang tua” sebagai perantara
kelahiran manusia atau ada proses pernikahan sebagai proses alamiah yang
berlaku bahwa kelahiran manusia bukan muncul begitu saja, tapi melalui proses
alamiah yang logis dan rasional. Berbeda ketika berbicara tentang penciptaan
jin seperti dalam ayat berikut
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku.
(QS adz-Dzariyat: 56)
Atau seperti penciptaan Nabi Adam dalam ayat berikut:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ
مَسْنُونٍ فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ
سَاجِدِينَ
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan
telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud. Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama. (QS
al-Hijr: 28-29)
Dalam kedua ayat tersebut, kata ganti yang digunakan
adalah “saya” karena tidak ada keterlibatan pihak lain dalam penciptaannya dan
tidak ada proses alamiah yang berlaku. Ini murni hanya Allah yang terlibat
dalam perbuatannya dan kita tidak mengetahui seperti apa prosesnya.
C. Konteks Ketiga
Pada konteks ketiga ini, ayat yang menggunakan kata
ganti “Kami” menunjukkan sebuah peristiwa besar yang berada di luar kemampuan
jangkauan nalar manusia, seperti penciptaan bumi dan langit, penciptaan gunung
dan lain-lain. Di sini, selain peristiwa itu sendiri yang bernilai besar, Allah
sendiri ingin mengokohkan/memberi kesan “Kemahaan-Nya” kepada manusia, agar
manusia dapat menerima/mengimani segala sesuatu yang berada di luar jangkauan
nalar/rasio manusia.
Contohnya adalah ayat berikut:
أَوَلَمْ
يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا رَتْقًا
فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا
يُؤْمِنُونَ وَجَعَلْنَا فِي الأرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِهِمْ
وَجَعَلْنَا فِيهَا فِجَاجًا سُبُلا لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? Dan telah Kami jadikan di
bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama
mereka, dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar
mereka mendapat petunjuk. (QS al-Anbiya: 30-31).
Ada juga kata ganti “kami” dan “aku” yang digunakan
secara bersamaan dalam satu ayat yaitu pada ayat:
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ
إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum
kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang
hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".
(QS al-Anbiya: 25)
Pada ayat tersebut, kata ganti “Kami” digunakan saat
Allah menurunkan wahyu dengan perantara Malaikat Jibril (Makna konteks kedua),
sedangkan kata ganti “Aku” digunakan sebagai perintah menyembah Allah saja
(sesuai makna kata ganti tunggal dan menunjukkan ke”esa”an).
Demikianlah pembahasan tentang penggunaan kata ganti
“kami” yang mengacu pada perbuatan Allah. Ada 3 konteks yang dapat menjelaskan
hal tersebut, yaitu pertama, menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah; kedua,
menunjukkan adanya keterlibatan pihak lain atau adanya proses alamiah yang
berlaku; dan ketiga, menunjukkan adanya peristiwa besar yang berada diluar
jangkauan manusia.
Wallahu a’lam bisshowab
Dari berbagai sumber.
Semoga bermanfaat.
Wassalam
Tasikmalaya, Selasa, 12 Juni 2018 / 27 Ramadhan 1439 H, 02.35 repost dari Ahad, 5 Januari 2014
#KolaborasiZaiNovi
#ProyekRamadhanAlZayyan
#AlZayyanHari27
#Karya5TahunPernikahan
#SerunyaBelajarBahasaArab
No comments:
Post a Comment