Pada
ayat-ayat puasa di surat al-Baqarah ayat 183-187, ada satu ayat terselip yang
tidak secara khusus membicarakan puasa, tapi mengungkapkan tentang doa yaitu di
ayat 186 berikut :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ
يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.
Sejak dulu, sudah banyak yang bertanya tanya, mengapa
ayat doa ini “terselip” diantara ayat-ayat yang membahas puasa. Bahkan bagi
yang tidak suka Islam dan Al-Qur’an, menganggap bahwa ini adalah bukti betapa
tidak teraturnya susunan ayat-ayat Al-Qur’an. Beberapa ulama sudah banyak yang
menjawab tentang hal ini, diantaranya Imam Ibnu Katsir yang menjelaskan bahwa
sengaja Allah meletakkan ayat (186) ini diantara ayat-ayat tentang puasa yaitu
sebagai tuntunan atau petunjuk supaya hamba-hamba Allah rajin berdoa ketika
menyelesaikan bilangan puasa, terutama pada tiap-tiap berbuka puasa, karena
orang yang berpuasa termasuk golongan orang yang do’anya tidak tertolak dan
waktu berbuka adalah salah satu waktu diijabahnya doa.
Dalilnya adalah sebuah hadits yang artinya, “Ada
tiga orang yang doanya tidak akan ditolak: seseorang yang berpuasa hingga ia
berbuka, pemimpin yang adil dan doanya orang yang terzhalimi”. (HR. At-Tirmidzi)
Dan “Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa
ketika berbuka tersedia doa yang tidak akan ditolak” (HR Ibnu Majah dan Abu Daud).
Pertanyaan berikutnya adalah tidak adakah hal lain
yang lebih mengaitkan ayat tersebut dengan puasa, selain berdoa? Disinilah menariknya,
mengapa doa diselipkan dalam ayat-ayat tentang puasa yaitu adalah faktor Muraqabatullah
/ merasa dalam pengawasan Allah. Itulah titik temu antara puasa dan doa. Puasa
adalah ibadah yang hanya diketahui oleh Allah dan pelakunya sendiri, begitupun
doa. Apa yang diminta orang lain, bahkan apa yang dipanjatkan suami kita
sendiri, kita ga pernah tau. Orang yang shalat, zakat, haji, mereka terlihat
secara fisik. Namun puasa dan doa, hanya Allah dan pelakunya sendiri yang
mengetahui.
Kembali pada ayat 186 yang dimulai dengan kata idza
(إذا) yang berarti “ketika”. Menurut Nouman Ali Khan, kata tersebut
berbeda dengan kata in (إن)
“jika”. Kata “ketika”, artinya ada
harapan/expecting, sementara kata “jika” membuka kemungkinan kalau yang terjadi
sebaliknya. Pemilihan kata idza menjadi tepat karena jika dibandingkan
dengan kata in, idza ini mengandung ekspektasi/harapan, ada cinta yang
terpancar, sementara in digunakan jika Allah berbicara pada orang-orang
yang tidak dipedulikan.
Berikutnya, penggunakan kata ibaadii /hambaku,
ini juga menunjukkan arti kedekatan. Penggunaan kata hamba, ditambah dengan dhamir
/ kata ganti “Ku” ini juga sangat mesra, seolah olah Allah memanggil kita untuk
kembali pada dekapan-Nya. Bahwa saking dekatnya Allah, kita bisa memanggil dan
berdoa pada-Nya secara langsung, tanpa perantara. Buktinya kata fainni
wariib (فَإِنِّي قَرِيبٌ)
/ “maka sesungguhnya aku dekat” yang langsung
dijawab Allah, bukan kalimat “faqul
lahum inni qariib” / katakan pada mereka kalau aku dekat. Maka jika kita
berdoa langsung pada Allah, Allah akan langsung respon permintaan kita. Kata inna
yang artinya sesungguhnya, merupakan kata penguat bagi yang meragukan. Kata
qariib adalah kata benda bukan kata kerja yang terikat waktu, maka dekat
ini tak terbatas waktu, Allah selalu dekat, kapanpun dan dimanapun. Indah sekali...
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
Kata ujiibu artinya adalah menjawab/merespon. Kata
lain yang maknanya mirip adalah istijaba. Perbedaannya adalah kata ujiibu
artinya merespon dengan cepat, sementara istijaba artinya menjawab
atau merespon secara tidak langsung. Kata ad’da’i (الدَّاعِ) adalah isim marifat atau sudah diketahui. Artinya
Allah sudah mengetahui setiap orang yang berdoa, siapa namanya, apa profesinya,
apa kebutuhannya, Allah mengenal setiap orang yang berdoa, mengetahui secara
spesifik dan personal.
Falyastajiibu lii, hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku. Seperti yang sudah disampaikan
diatas, kata istajaaba ini adalah merespon secara tidak langsung. Jika Allah
menggunakan kata ujiibu karena langsung menjawab atau merespon dengan
cepat, maka saat dikembalikan pada manusia untuk memenuhi panggilannya, kata
yang digunakan adalah yastajibu, karena kita biasanya tidak langsung
bersegera untuk ibadah.
Jika
kita bandingkan dengan surat Al Fatihah, dalam ayat iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’in, kita diminta beribadah dulu baru meminta pertolongan. Tapi di
ayat 186 ini, kita dipersilahkan untuk berdoa dulu, baru kita diminta untuk
memenuhi panggilanNya dan beriman kepadaNya. Betapa istimewanya bulan Ramadhan,
kita diminta untuk banyak banyak berdoa dan meminta apapun, baru setelah itu
menyempurnakan iman kita. Betapa dekatnya Allah, sehingga saat meminta pun,
kita diminta langsung meminta pada-Nya, tak usah menggunakan perantara karena
Allah selalu dekat, kapanpun dan dimanapun. Tak peduli siapa kita, status sosial kita, Allah akan
selalu merespon dengan cepat setiap permintaan kita.
Demikianlah hikmah dari “terselip”nya perkara doa
diantara ayat-ayat puasa ini. Semoga semakin memotivasi dan membuat kita tambah
semangat untuk banyak berdoa di bulan Ramadhan yang tersisa 14 hari lagi.
Semoga Bermanfaat
Wassalam
Serpong, Jumat,
1 Juni 2018 / 16
Ramadhan 1439 H, 16.00
#KolaborasiZaiNovi
#ProyekRamadhanAlZayyan
#AlZayyanHari16
#Karya5TahunPernikahan
#SerunyaBelajarBahasaArab
"Tafsir al ahlam" "Tafsir Ahlam" "Ibn-Sirin" "tafsir ibn-Sirin"
ReplyDelete