Saya dibesarkan dalam lingkungan
keluarga sunda, sementara suami dibesarkan dalam budaya Jawa. Ada persamaan dan
perbedaan pola asuh dalam lingkungan keluarga kami, khususnya terkait
pendidikan anak laki-laki. Saya seringkali merefleksikan diri tentang pola asuh
orang tua saya dan suami, dan dampaknya terhadap pola asuh saya terhadap anak.
Diantara yang menjadi pengamatan
saya adalah terkait persepsi tentang gender. Dalam budaya sunda, khususnya di
keluarga saya, anak laki-laki dipersiapkan untuk sosok pencari nafkah, dan
tidak banyak berkecimpung dalam pekerjaan domestik rumah tangga. Saat saya
kuliah dan lebaran tiba, biasanya saya harus menyiapkan energi ekstra karena
pasti akan cape banget membantu pekerjaan orang tua, sementara kakak saya yang
laki-laki biasanya hanya duduk manis menunggu masakan matang, menonton TV,
bermain hp dan tidak banyak terlibat membantu pekerjaan rumah tangga, walau
sepadat dan sesibuk apapun, kecuali jika disuruh orang tua.
Saya protes dalam hati, beginikah
pola asuh yang benar? Benarkah tugas wanita menyiapkan semuanya, mulai dari
memasak, membersihkan rumah, mencuci dan mengepel serta tetek benget lainnya?
Lalu saya amati keluarga suami, ternyata tak jauh beda. Mertua saya memang
sedikit membantu istrinya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tapi juga
tak menyiapkan anaknya atau suami saya untuk memiliki life skill terkait
pekerjaan rumah tangga. Ada memang beberapa suami yang membantu istrinya
mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti adik ipar saya, tapi itu tak lazim
terjadi dalam seluruh keluarga.
Itu salah satu persamaan pola asuh
keluarga saya dan suami. Perbedaannya? Ikatan kekeluargaan dalam keluarga besar
suami saya masih bagus, tak seperti di keluarga saya yang semakin lama semakin
luntur, antar sepupu saling tak peduli kabar, masing-masing sibuk dengan
aktivitasnya. Tapi di keluarga suami, itu tingkat kepeduliannya masih tinggi,
saling kirim kabar, saling curhat itu masih terasa. Hal inilah yang saya ambil
sisi positifnya.
Nah peer besarnya memang mengajarkan
life skill pada anak laki-laki saya. Saya tak ingin Eza yang sekarang berusia
3,5 tahun dibesarkan dengan pola asuh bahwa anak laki-laki tak terampil dalam
pekerjaan rumah tangga. Saya tak ingin Eza menjadi pribadi yang tak peka dengan
pekerjaan istrinya kelak (haha jauh amat mikirnya). Tentu ini harus dilatih. Maka
saya juga melibatkan Asisten Rumah Tangga dalam prosesnya.
Ada beberapa hal yang mulai saya minta
ke ART agar Eza dilibatkan dalam pekerjaan rumah tangga, walau itu sederhana,
seperti membantu menjemur pakaian, menyapu lantai, dan lain-lain. Apakah berhasil?
Tentu saja tidak. Lebih berantakan, bisa jadi hehe, tapi saya bersyukur Eza
sekarang senang menawarkan diri untuk membantu. Saya sudah merasa senang, setiap
kali melihat saya melakukan sesuatu, Eza bilang, “Bunda, aku mau bantu”. Ini sudah
bikin meleleh hati. Rasanya dulu saya seusia Eza belum memiliki kesadaran
begitu.
Yang bikin kaget adalah saat saya
mudik ke Tasik, saya biarkan Eza main dengan sepupu-sepupunya. Ternyata saat
melihat sapu dan serok, Eza gatal, malah diambil dan disapu lah itu teras depan
rumah haha.
Terharu bin bangga lah pokoknya. Rasanya kebahagiaan seorang ibu
itu bukan hanya saat anaknya bisa jalan, bisa ngomong saja tapi saat anaknya
berinisiatif untuk melakukan pekerjaan yang tak terduga. Tentu masih banyak
peer saya terkait mendidik anak laki-laki ini, semoga diberi kesempatan dan
kekuatan untuk mendidik dan membesarkan Eza hingga menikah nanti (haha dah
berasa makin tua aja).
Semoga Bermanfaat
Senin, 170717.17.00
#odopfor99days#semester2#day42
No comments:
Post a Comment