Allah berfirman dalam surat alkafirun:
Katakanlah Hai orang-orang yang kafir,
aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku
sembah.
Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku".
Ibnu
Ishaq meriwayatkan terkait dengan sebab turunnya (asbab an nuzul) surah
ini. Menurutnya, ketika Rasulullah Saw tawaf di Ka’bah, beliau menerima para
pemimpin kabilah Arab, seperti Al Aswad bin Muthalib bi Asad bin Abd Al-Izzi,
al Walid bin Al Mughirah, Umaiyah bin Khalaf, al-‘Ash bin Wa’il as-Sahami. Para
pemimpin kabilah ini berkata kepada Nabi Muhammad, “Ya Muhammad, kemarilah.
Kami akan menyembah apa yang engkau sembah. Dengan begitu kita bersatu dalam
berbagai masalah. Jika yang engkau sembah adalah baik, maka kami juga
mendapatkan kebaikan itu. Jika apa yang kami sembah baik, maka engkau juga
mendapatkan kebaikannya. Engkau mendapat bagian dari kebaikannya.” Lalu
turunlah surat al Kafirun seperti yang sudah disebutkan di awal tulisan ini.
Pada
ayat pertama, Surah ini dibuka dengan perintah Tuhan yang tegas, “qul (katakanlah)”.
Kata ini menunjukkan adanya bantuan setelah ucapan, yaitu permulaan pemberian
wahyu bahwa perintah terhadap akidah ini adalah perintah Allah Swt
satu-satunya, bukan karena keinginan Muhammad Saw. Allah lah tidak bisa ditolak
perintah-Nya dan Hakim yang tidak bisa ditolak hukum-Nya. Karena itu Rasulullah
tidak mengurangi sedikit pun dari wahyu yang beliau terima, walaupun dari segi
lahiriah, kata tersebut sepertinya tidak berfungsi “Katakanlah. Wahai orang
kafir”.
Lawan
bicara dimulai dengan menggunakan kata panggilan ya ayyuha yang berarti
panggilan untuk jiwa, hati dan roh. Karena, panggilan dengan kata panggilan ini
menuntut yang dipanggil menghadap dengan jiwa, hati dan rohnya.
Al-kafirun
adalah bentuk jamak dari kata kafir, yang merupakan derivasi kata kafara
(كفر)-yakfuru (يكفر). Bentuk
indefinitifnya berarti jenis, sehingga ditujukan untuk semua orang kafir. Kufr
secara bahasa berarti “menutup sesuatu”. Malam hari disebut kafir
karena menutupi orang. Petani juga disebut “kafir” karena menutup benih di tanah. Kufur nimat
berarti menyembunyikan nikmat dan tidak mensyukurinya.
Bentuk
kekafiran yang paling buruk adalah menentang keesaan Allah, ketentuan hukum,
atau kenabian. Penggunaan kata kafirun dalam hal mengingkari nikmat
lebih banyak daripada menggunakan kata kufr. Penggunaan kata kufr dalam
urusan agama lebih banyak dibandingkan kata kufran. Kata kufuur dipergunakan
dalam dua hal tersebut. Allah berfirman dalam surat al Isra ayat 99
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ
اللَّهَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يَخْلُقَ
مِثْلَهُمْ وَجَعَلَ لَهُمْ أَجَلا لا رَيْبَ فِيهِ فَأَبَى الظَّالِمُونَ إِلا كُفُورًا
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang
menciptakan langit dan bumi adalah kuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan
mereka, dan telah menetapkan waktu yang tertentu bagi mereka yang tidak ada
keraguan padanya? Maka orang-orang lalim itu tidak menghendaki kecuali
kekafiran.
Perintah
pada ayat tersebut dibarengi dengan panggilan al-kafirun, “Katakanlah, “Hai
orang-orang kafir (al kafirun).
Pada
surah az Zumar ayat 64, mereka dipanggil dengan kata al jahilun, sebagai
berikut:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ
تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ
Katakanlah: "Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain
Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?"
Dengan
redaksi seperti itu, surah al kafirun diturunkan kepada kaum kafir secara
keseluruhan. Ini tidak sama dengan surah az Zumar. Yang lebih menegaskan adalah
kata alkafirun. Tidak ada kata yang lebih buruk dan jelek dari kata
tersebut, karena itu adalah sifat yang sangat buruk menurut semua makhluk.
Menurut Al Qurthubi, Abu Bakr bin Al Anbari berkata, “Sesungguhnya, makna kata katakanlah
kepada mereka yang kafir “wahai orang kafir” , lantas mereka marah
ketika disebut sebagai orang kafir.
Sebagai
bukti bahwa kata ini adalah kata yang sangat buruk bagi semua makhluk yang
mengandung makna penghinaan dan keburukan adalah bahwa kata ini tidak pernah
dijadikan sebagai panggilan dalam Al-Qur’an kecuali pada dua tempat yaitu surah
al Kafirun dan surah at Tahrim ayat 7 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
كَفَرُوا لا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari
ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.
Jawaban
pertanyaan ini adalah karena waktu dilakukannya panggilan pada surah al Tahrim
itu adalah pada hari kiamat. Pada hari itu tidak ada lagi Rasulullah yang
diutus kepada mereka. Karena itulah, panggilan kepada mereka tidak diawali
dengan kata qul. Kemudian pada waktu itu mereka menjadi taat, tidak
kafir lagi. Oleh karena itu, Allah menyebutnya dengan kata al-ladzina kafaru
(الَّذِينَ كَفَرُوا).
Lawan
bicara pada surah al Kafirun adalah lawan bicara ketika mereka berada di dunia.
Pada saat itu, mereka disifatkan dengan kekafiran. Pada saat itu, Rasulullah
saw adalah Rasul yang diutus kepada mereka. Karena itulah, ajakan bicara
dimulai dengan kata perintah qul. Ini menunjukkan bahwa kafir adalah
sifat sejatinya yang tidak bisa dipisahkan. Sifat ini sama sekali menjauh dari
Allah Swt. Begitupula sebaliknya, Allah Swt dan Rasul-Nya menjauh darinya.
Pada
ayat kedua, la a’budu ma ta’budun (aku tidak menyembah apa yang kamu
sembah) merupakan jawaban atas panggilan/nida sebagai bentuk peniadaan
(pembatalan). Lawannya adalah ayat ketiga wa la antum ‘abiduna ma a’bud (kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah). Dua ayat ini berarti, sekarang aku tidak
menyembah apa yang kalian sembah dan kalian juga tidak menyembah apa yang aku
sembah.
Ayat keempat
wa la ana a’bid ma ‘abadtum (aku tidak menjadi penyembah apa yang kalian
sembah) berarti ‘peniadaan untuk masa depan’. Lawannya adalah wa la
antum ‘abidun ma a’bud (dan kalian tidak menjadi penyembah apa yang aku
sembah). Kedua ayat ini berarti bahwa aku tidak akan menyembah di masa depan
apa yang kalian sembah di masa lalu. Begitu juga kalian tidak akan menyembah
apa yang sekarang aku sembah sekarang dan di masa depan.
Menurut
Imam al-Qurtubhi, walaupun menggunakan redaksi yang sama pada ayat ketiga dan
kelima yaitu wa la antum ‘abiduna ma a’bud (kamu bukan penyembah Tuhan
yang aku sembah) tapi tetap mengandung makna yang berbeda, yaitu terkait huruf ma
yang terdapat di akhir ayat. Pada ayat ketiga adalah ma maushulah yang
artinya adalah “apa yang”, sedangkan pada ayat kelima adalah ma mashdariyah yang
berfungsi mengubah kata sehingga maknanya terkait dengan cara beribadah. Jika ditafsirkan
ayat ketiga menjadi “kamu tidak akan menjadi penyembah apa yang sedang
dan akan aku sembah”, sedangkan ayat kelima (juga ayat keempat) menjadi “kalian
tidak akan menjadi penyembah dengan cara
penyembahanku. Demikian pendapat Imam al Qurthubi.
Menurut
Quraisy Shihab, memang ada tuntunan-tuntunan agama yang pada mulanya bersumber
dari ajaran Nabi Ibrahim yang diamalkan oleh Nabi Muhammad Saw dan diamalkan
pula oleh orang musyrik di Mekah, tetapi dengan melakukan perubahan dalam
pelaksanaannya, salah satunya pelaksanaan ibadah haji. Orang-orang kafir
melaksanakan ibadah haji, tetapi sebagian diantara mreka ada yang enggan
mengenakan pakaian, ada juga yang enggan berkumpul di Padang Arafah, tetapi
menyendiri di Muzalifah. Kelompok mereka dikenal dengan al-Hammas. Ini adalah
salah satu contoh perbedaan cara ibadah, walaupun namanya bagi kita dan mereka
adalah sama yaitu haji. Tetapi cara kaum muslimin menyembah adalah berdasarkan
petunjuk Ilahi, sedang cara mereka adalah berdasarkan hawa nafsu mereka. Demikianlah
perbedaan makna redaksi yang sekilas sama, tapi sesungguhnya maknanya berbeda.
Kata kerja
bermakna waktu sekarang dan masa depan ketika Nabi Saw membicarakan dirinya diulang
pada dua ayat yaitu pada ayat ketiga (laa a’budu) dan kelima (maa a’budu), sementara
redaksi yang digunakan untuk orang kafir menggunakan dua jenis kata kerja yaitu
bermakna masa lalu (‘abadtum) pada ayat keempat dan berbentuk kata kerja
masa kini (ta’buduun) pada ayat kedua.
Menurut
Quraisy Shihab dalam tafsir al Mishbah, rahasia di balik ungkapan tersebut menunjukkan
bahwa Nabi Muhammad Saw konsisten dalam objek pengabdian dan ketaatan, dalam
arti yang beliau sembah, tidak berubah-ubah dan tidak pernah setuju untuk
mengganti. Kondisi ini berbeda dengan kaum kafir yang menyembah hawa nafsu dan
tujuanya dalam beragama. Mereka pada hari ini bisa jadi menyembah suatu sembahan,
bisa jadi besok mereka menyembah sembahan yang lain.
Ayat wa
la antum ‘abiduna ma a’bud (kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah)
menggunakan yang disembah dengan huruf ma/apa, bukan man/siapa. Karena
yang dimaksud adalah mengutarakan sembahan Nabi Saw secara umum. Penolakan kaum
kafir untuk menyembah Allah bukan karena dzat Nya tapi karena mereka tidak
mengerti tentang Allah, maka lafadz yang digunakan adalah ma sebagai
bentuk kebingungan dan keumuman jenis. Menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah, makna
yang lebih tepat adalah menyebutkan sembahan yang siap disembah, yang layak
baginya, maka lafadz yang digunakan adalah ma bukan man, karena
jika menggunakan man, itu hanya terkait Dzat semata.
Jika memperhatikan
redaksi nafi/peniadaan, ada perbedaan yang terlihat, yaitu bentuk nafi
untuk orang kafir, semuanya menggunakan fa’il/pelaku yaitu kata ‘aabidun/yang
menyembah, sedangkan redaksi nafi untuk Rasulullah menggunakan fa’il/kata
kerja yaitu kata laa a’budu/tidak menyembah. Rahasia bahasa pada redaksi
tersebut adalah terlindungnya Rasulullah untuk menyembah sesembahan mereka
dengan segala bentuk dan waktunya.
Bentuk
peniadaan yang menggunakan fiil/kata kerja menunjukkan arti kejadian dan
pembaruan/berulang-ulang. Kemudian menggunakan redaksi fa’il/pelaku yang
berarti sifat dan ketetapan. Redaksi pertama yang digunakan untuk Rasulullah,
mengandung arti bahwa penyembahan itu tidak pernah terjadi dan yang kedua,
berbentuk fa’il/pelaku berarti sembahan itu bukan yang sebenarnya,
seolah-olah Rasulullah berkata, “Menyembah selain Allah bukanlah perbuatanku
dan bukanlah pula jati diri sebenarnya.” Sementara redaksi untuk orang kafir
menggunakan fa’il/pelaku yang berarti sifat dan ketetapan, bukan
perbuatan. Ini berarti sifat yang tetap dan pasti.
Rahasia
bahasa yang lain pada surat ini adalah didahulukannya redaksi lakum dinukum
dari kalimat wa liya diin merupakan susunan yang indah dan sempurna,
seolah-olah dikatakan kepada mereka,”ini adalah bagianmu yang kalian inginkan yang
kalian anggap paling baik untuk didahulukan. Didahulukannya dhamir lakum
dan liya dari kata din juga mengandung makna mendala yaitu
berfungsi sebagai pengkhususan yaitu bahwa masing-masing agama biarlah berdiri
sendiri dan tidak perlu dicampur baurkan. Tidak perlu mengajak untuk menyembah
sembahan pihak agama lain.
Demikian
kehebatan rahasia bahasa pada surat al Kafirun dari berbagai sumber.
Semoga
Bermanfaat
Wassalam
Referensi
·
Ensiklopedia Mujizat Al
Qur’an dan Hadits, Kemujizatan Sastra dan Bahasa Al Qur’an, Hisham Thalbah dkk.
·
Tafsir al Mishbah,
Quraisy Shihab, jilid 15
Serpong,
Selasa 28 April 2020/5 Ramadhan 1441 H, 07.15
#KolaborasiZaiNovi
#ProyekRamadhanAlZayyan1441H
#AlZayyanHari5
#Karya7TahunPernikahan
#SerunyaBelajarBahasaArab
No comments:
Post a Comment