Bulan
Desember 2020 adalah bulan yang cukup berat untuk saya dan keluarga, karena
harus kehilangan pahlawan besar di keluarga kami yaitu Mamah. Dalam kesedihan
mendalam, saya tetap harus bersyukur karena masih bisa mendampingi dan “berkencan”
dengan Mamah di rumah sakit selama 2 malam 3 hari. Peristiwa itu masih melekat
dalam pikiran saya, tak pernah hilang sedetik pun saat mamah harus berjuang
melawan rasa sakit nya. Penyakit gula yang sudah lama diderita, ditambah
kelelahan jiwa dan raga, menjadi wasilah wafatnya mamah tercinta. Hari Sabtu tanggal
19 Desember 2020 pukul 12.20, mamah pergi menghadap pencipta yang lebih mencintainya.
Hari
itu adalah hari yang sungguh tak ingin saya hadapi, bagai mimpi di siang
bolong, saya tak menyangka mamah akan pergi secepat itu. Sebagai orangtua dari
seorang anak 7 tahun bernama Eza, tentu saya berharap mamah akan tetap
mendampingi saya saat Eza lulus sekolah, saat Eza diwisuda sebagai sarjana
hingga saat Eza menikah nanti. Tapi ternyata semuanya terjadi bergitu cepat,
dan saya harus siap menghadapinya, suka tak suka, mau tak mau, saya harus
melewatinya dan belajar mengikhlaskannya, walaupun terasa berat.
Setelah
mamah dishalatkan dan dikubur, malamnya saya tidur cepat, mencoba menghindari
sesuatu yang seharusnya saya hadapi, dan berharap esok, saat bangun tidur, saya
hanya bangun dari mimpi panjang, dan masih bisa bertemu mamah lagi. Tapi
ternyata esoknya tetap hampa, mamah tetap tidak ada, dan saya harus mengatasi
kesedihan dan kehilangan ini, sambil memikirkan tugas ke depan yang pastinya
akan semakin berat. Abah yang juga sudah mendampingi mamah selama 50 tahun,
sangat terguncang. Abah sering tertidur dan berharap masih bisa bertemu mamah,
walau hanya dalam mimpi.
Seminggu
setelah kepergian mamah, kami harus mengadakan resepsi pernikahan keponakan,
yang jauh-jauh hari sudah direncanakan. Mamah banyak meluangkan waktu, tenaga
dan fikiran untuk mempersiapkan pernikahan cucunya, dan tak pernah bisa
dihadirinya. Saat resepsi pernikahan, saya terus mendampingi abah, dan baru
setengah jalan, abah sudah tak kuat, ingin pulang. Saya pun harus merelakan diri
untuk tak mengikuti acara hingga akhir, dan memutuskan untuk menemani abah
pulang ke rumah. Sudah tak ada hasrat untuk berfoto ria, selfie di lokasi
resepsi pernikahan, mencicipi menu catering yang enak. Semuanya serasa begitu
hambar, tanpa ada mamah.
Setelah semua urusan selesai di Tasik, saya dan 3 orang kaka saya memutuskan untuk pulang ke Tangerang. Hidup
harus terus berjalan, kami kembali ke rumah masing-masing, sambil membawa luka
yang entah kapan bisa pulih kembali.
Ini
bukan tentang ikhlas dan tidak ikhlas dalam menyikapi takdir Allah, tapi
tentang memberi ruang pada diri sendiri untuk berduka. Ada yg bisa pulih cepat
setelah kehilangan orang tercinta, ada juga yang butuh waktu lama untuk segera
kembali pada aktivitas semula. Saya harus selektif memilih orang yang saya
jadikan tempat mencurahkan semua isi hati, karena jika bertemu orang yang
salah, bukan pulih yang terjadi, malah bisa jadi semakin terpuruk karena saya
dianggap sebagai orang yang tak ikhlas menerima takdir. Padahal bukan disitu
inti masalahnya. Ini tentang menerima diri sendiri secara manusiawi, memberi
ruang bersedih dan memberi waktu pada diri sndiri untuk memulihkan kembali
semangat dan motivasi untuk hidup. Setiap orang membutuhkan waktu berbeda untuk
bisa bangkit lagi setelah kehilangan orang yang dicintai. Saya jadi bisa lebih
merasakan bagaimana beratnya seseorang yang kehilangan pasangan, kehilangan
anak, kehilangan orangtuanya dan lain-lain. Dan akan menjadi semakin berat saat
menerima stigma negatif sebagai orang yang tak ikhlas menerima takdir. Rasanya
semakin ingin duduk sendiri di pojokan dan tak bertemu banyak orang.
Tapi
hidup harus terus berjalan, mungkin sampai saat ini saya belum bisa menerima
bahwa orangtua sudah tak ada. Banyak perasaan bersalah yang kerap bermunculan,
mengapa dulu tak begini, mengapa tak begitu. Semoga beberapa waktu ke depan,
seiring saya belajar mencari hikmah lebih dalam, saya bisa semakin ikhlas
menerima ketentuan ini. Toh ini hanya masalah giliran waktu saja, suatu saat
kita juga akan menerima giliran untuk kembali kepada Nya.
Berikut
beberapa ayat yang membahas hal tersebut.
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang
bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan
mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
وَأَمَّا
الْغُلامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا
طُغْيَانًا وَكُفْرًا
Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang
mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu
kepada kesesatan dan kekafiran.
فَأَرَدْنَا
أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka
dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam
kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
وَأَمَّا
الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ
كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا
أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ
عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di
kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka
sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat
dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.
Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya".
1.
“Aku
ingin” (أَرَدْتُ)
2.
“Kami
ingin” (أَرَدْنَا)
3.
“Tuhanmu
ingin” (أَرَادَ رَبُّكَ)
Fenomena
ini tentu bukan hal yang kebetulan, pasti ada alasan dan hikmah dibalik
fenomena ini. Kata yang sama, menggunakan kata ganti berbeda, tentu mengandung
makna yang berbeda pula. Inilah yang
akan kita coba elaborasi
Pada
kata ganti “Aku ingin”, digunakan pada ayat 79 saat Nabi Khidzir menjelaskan
tentang alasannya melubangi perahu. Jadi kata ganti “aku” kembali pada Nabi
Khidzir. Nabi Khidir mengatakan bahwa perahu yang dilubangi adalah milik orang
miskin, sedangkan di depannya ada raja yang merampas setiap perahu, sehingga
itu harus dilakukan, justru untuk menyelamatkan perahu tersebut. Kata ganti
“aku” yang kembali pada Nabi Khidzir secara tersirat menjelaskan bahwa untuk
aktivitas yang terkesan buruk/tidak baik, dalam hal ini melubangi perahu yang
mungkin saja akan mencelakakan orang, tidak berhak untuk mengembalikan
pelakunya pada Allah. Maka Nabi Khidzir menggunakan kata ganti Aku bukan “Tuhan
ingin”.
Pada
kata ganti “Kami ingin”, digunakan pada ayat 81 saat Nabi Khidzir menjelaskan
alasan membunuh seorang anak. Anak itu merupakan orang kafir, sedangkan kedua
orang tuanya adalah mukmin sehingga Nabi Khidir khawatir jika sang anak membawa
orang tuanya dalam kekafiran. Al ghulam dalam bahasa Arab itu adalah
anak yang belum mencapai usia balig dan belum terbebani kewajiban hukum. Maka
Nabi Khidir berharap semoga Allah menggantinya dengan anak yang lebih baik dan
sayang pada orangtuanya saat ia besar. Kata ganti kami digunakan untuk
menjelaskan tentang keinginan dan harapan Nabi Khidir agar mengganti dengan
generasi yang lebih baik dalam hal kesucian dan lemah lembut. Jadi kata ganti “Kami”
kembali pada beberapa pihak yang berperan dalam mendidik sebuah generasi.
Pada
kata ganti “Tuhanmu ingin”, digunakan pada ayat 82 saat Nabi Khidzir
menjelaskan tentang alasan Nabi Khidir memperbaiki dinding rumah yang hampir
roboh. Rumah tersebut merupakan milik dua orang anak yatin dan dibawahnya
terdapat harta karun bagi mereka berdua. Ayahnya merupakan orang yang shalih
dan Allah menghendaki agar saat dewasa, dapat mengeluarkan simpanan tersebut
sebagai rahmat dari Allah. Jadi kata
ganti “Tuhanmu ingin” kembali pada Allah. Bahwa terkait hal yang baik, yaitu
memberikan perlindungan dan mempersiapkan generasi yang baik, maka pelaku
utamanya adalah Allah.
Dan di
akhir ayat 82, Nabi Khidzir menegaskan
bahwa semua yang dilakukannya, semuanya bukan atas keinginannya sendiri, tapi
berdasarkan petunjuk dari Allah. Demikianlah hikmah dari “ketidaksabaran” Nabi
Musa yang dijelaskan Nabi Khidzir, terkait alasan tentang perbuatan yang dilakukannya.
Saya
pun mendapat banyak pencerahan dari kajian tersebut, bahwa semua yang terjadi
atas ijin Allah, tapi semua yang terjadi di muka bumi ini, baik kebaikan,
keburukan, belum tentu semuanya mendapat ridha Allah. Maka kita harus berjuang
keras mencari ridha Allah, sehingga saat kita meninggalkan dunia ini, kita
layak untuk mendapat surgaNya dan diijinkan untuk bertemu melihat-Nya dengan
cara yang baik dan membahagiakan.
Begitu
juga dengan keadaan pandemi saat ini. Apapun yang terjadi , bagaimanapun
tantangannya, prioritas utama adalah keridhoan Allah Swt. Saya mencoba mendidik
diri saya sendiri bahwa hidup di dunia adalah perjuangan untuk meraih
keridhoanNya. Tak peduli bagaimana situasinya. Saya harus tetap fokus pada apa
yang bisa saya lakukan di tengah pandemi ini, terutama untuk membantu orang
lain dalam menghadapi pandemi yang ternyata bukan saja mengancam nyawa tetapi
kehidupan ekonomi pun semakin terpuruk.
Semoga
dengan membantu orang lain, bisa mendatangkan keridhoan Allah dan mengobati rasa
kehilangan yang saya alami.
Kamis, 27 Januari 2022, 13.30
(rumah dinas)
No comments:
Post a Comment