Untuk memahami arti dan makna kata Kutiba (كُتِبَ) dan Kataba (كَتَبَ),
kita harus melihat secara utuh penggunaan kata-kata tersebut dalam Al-Qur’an.
Kata kutiba (كتب) disebutkan 4 kali dalam Al-Qur’an, semuanya dalam
surat Al-Baqarah yaitu ayat 178 tentang qishash, ayat 180 tentang
wasiat, ayat 183 tentang puasa, dan ayat 216 tentang perang. Berikut adalah
bunyi ayat-ayat tersebut.
Ayat 178 :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ
لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ
بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ
ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih.
Ayat 180 :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ
أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ
بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban
atas orang-orang yang bertakwa
Ayat 183 :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar
kalian bertakwa.
Ayat 216 :
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ
كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ
تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا
تَعْلَمُونَ
Diwajibkan atas kamu
berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu
benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh
jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Keempat ayat tersebut menggabungkan kata “kutiba”
dengan harf “ala (عَلَيْ)”. Arti kataba, awalnya adalah menulis, tapi saat
digabung dengan harf “ala”, artinya menjadi “wajib”. Kutiba adalah
kata kerja bentuk lampau (fiil madhi) yang pasif (majhul)
sehingga artinya menjadi diwajibkan. Setelah huruf ‘ala, dhamir (kata
ganti) yang digunakan adalah kum atau kalian (L) yang merupakan kata
ganti orang kedua.
Pada kitab Alfiyah karangan Ibnu Malik, bab “an
Nakirah wal Marifah”, bait ketiga disebutkan bahwa Mukhatab (yang
diajak bicara) bisa juga adalah mutakallim (yang berbicara) yang memiliki
makna hadir (kehadiran). Maka makna kata ganti “kalian” pada ayat ini, yang didahului
Ya ayyuhal (kata panggilan/nida), menggambarkan “kehadiran” Allah sebagai mutakallim
(yang memanggil) bersama mereka sebagai mukhatab (yang
dipanggil). Ada keakraban antara Allah sebagai pihak yang memanggil dengan
orang-orang beriman sebagai pihak yang dipanggil.
Gambaran kedekatan ini terlihat dari penggunaan kata “kutiba
ala” pada ayat tersebut. Apa hubungannya kata Kutiba dengan
kedekatan Allah? Maka untuk memahaminya, kita harus sedikit mengupas ilmu balaghah
yang membahas bayan (makna kata), ma’ani (makna kalimat dan
konteksnya) dan badi (keindahan kata dan makna).
Kata kutiba ala yang menggunakan kata kerja pasif,
akan kita bandingkan dengan kata kerja aktifnya (kataba). Ada beberapa
ayat al-Qur’an yang menggunakan kata kerja aktif (ma’lum) kataba
yaitu pada surat Al-An’am ayat 54 dan surat Al-Baqarah ayat 187
Surat Al-An’am ayat 54
وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلامٌ
عَلَيْكُمْ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ
عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ
فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Apabila
orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka
katakanlah: "Salaamun-alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya
kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di
antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan
mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Al-Baqarah ayat 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ
كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ
بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka
itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah
apa yang telah Allah tetapkan untukmu, dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu,
sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.
Pada
ayat 54 surat al-An’am, Allah mewajibkan diriNya sendiri untuk memberikan
rahmat kepada hambaNya. Jika dikaitkan dengan puasa, Allah seakan-akan
berfirman, “Diwajibkan kepadamu puasa, karena Aku telah mewajibkan pada diri-Ku
untuk memberikan rahmat kepadamu.”
Sementara pada ayat 187 surat Al-Baqarah yang
berbunyi:
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
Huruf Ma (مَا) pada ayat ditas, menunjuk pada banyak hal yang diperintahkan
Allah secara umum, juga secara khusus pada malam bulan Ramadhan seperti Qiyamul
lail (termasuk tarawih), tadarus Al-Qur’an, i’tikaf, sedekah dan lain lain. Kata
kerja aktif “kataba” dengan subjek yang jelas yaitu Allah pada ayat ini,
ternyata menggunakan huruf la (لَ),
bukan ala (عَلَى)
seperti pada kata pasifnya kutiba ala.
Ternyata penggunaan huruf la (لَ) dan ala (عَلَى) pada
kata Kutiba (كُتِبَ) dan Kataba
(كَتَبَ),, mengandung makna yang sangat menarik.
Kata lakum (لَكُمْ) ini identik dengan keringanan dan kemanfaatan. Tampilnya Subjek
utama Allah juga menambah keagungan dan kemanfaatan yaitu amalan-amalan
tersebut penting untuk kebaikan, tapi tidak wajib hingga menjadi beban. Penggunaan
huruf lam pada kata Kataba (كَتَبَ)
ini menjadikan kata kataba, bukan
bermakna wajib tapi menetapkan atau memerintahkan tanpa mewajibkan. Sementara huruf
ala (عَلَى) pada
kata Kutiba (كُتِبَ) dan Kataba
(كَتَبَ) menunjukkan adanya wajib pada perintah tersebut, bahkan Allah
mewajibkan diriNya sendiri pada ayat 54 surat al-An’am.
Pengggunaan kata kerja pasif pada kutiba, juga
bermakna betapa pentingnya perintah puasa, sehingga jika pun puasa tidak
diwajibkan Allah, maka manusia akan mewajibkan dirinya untuk puasa, seperti
juga yang terdapat dalam ajaran selain Islam seperti Budha, Hindu dan lain-lain.
Jadi penggunaan kata kerja pasif juga menitikberatkan pada aspek “apa” yang diperintahkan,
bukan “siapa” yang memerintahkan.
Kata kerja pasif/Majhul yang bermakna tidak
diketahui subjeknya, sebenarnya tak tepat jika dikaitkan dengan Allah, karena
Allah tidak majhul, selalu diketahui keberadaannya, meskipun dalam kata
kerja pasif. Pasifnya kata kutiba,
bukan karena Allah majhul atau tidak dekat, tapi justru menunjukkan
sangat dekat dengan rahmat-Nya. Saking dekatnya rahmat itu, sampai ketika
mewajibkan puasa, kata kerjanya dipasifkan, seolah-olah yang mewajibkannya
bukan Allah.
Demikian analisis singkat tentang Kutiba (كُتِبَ) dan Kataba (كَتَبَ)
dan penggunaan huruf la (لَ) dan
ala (عَلَى)
pada kedua kata itu, semoga menambah keyakinan kita akan kemujizatan Al-Qur’an,
dari sisi bahasanya.
Struktur kalimat Al-Qur’an adalah sebuah susunan yang
indah secara tekstual dan bermakna secara kontekstual. Ia bisa difahami dengan
mudahnya dari kulit luarnya (struktur bahasa), tapi juga mengandung makna yang
dalam jika kita mengamati hingga kulit dalamnya (struktur makna), dan ia hanya
bisa difahami jika menggunakan teori dasar bahasa aslinya, terutama dari sisi
ilmu Nahwu (sintaksis), Sharf (morfologi) dan Balaghah (semantik) dan dari
situlah para ahli tafsir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara mendalam. Semakin
kita mendalami ilmunya, semakin kita merasa kecil karena keterbatasan ilmu kita
dan semakin kita kagum akan kebesaran Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an
dalam kehidupan kita.
Semoga bermanfaat
Referensi:
A.
Tafsir
Al-Misbah, M. Quraisy Shihab
C. Kajian Balaghah
D.
Kajian
Linguistik
Serpong, Ahad, 20 Mei 2018 / 4 Ramadhan 1439 H, 09.00
#KolaborasiZaiNovi
#ProyekRamadhanAlZayyan
#AlZayyanHari4
#Karya5TahunPernikahan
#SerunyaBelajarBahasaArab
No comments:
Post a Comment