Saat saya menempuh pendidikan SMP di pesantren, saya
belajar banyak tentang bahasa Arab. dari mulai nol tidak tau sama sekali,
hingga sedikit demi sedikit bisa mengerti bahasa Arab, walaupun tidak mendalam.
karena pesantren yang seharusnya ditempuh selama 6 tahun, saya tinggalkan
dengan memilih pendidikan umum di tingkat SMU.
Dulu, saya tidak mengerti mengapa saya harus menghafal
nahwu dan sharf yang bejibun rumusnya. sekarang saya harus berterima kasih pada
pesantren karena disitulah secara kognitif, saya mendapatkan banyak ilmu.
setelah kuliah, barulah sedikit demi sedikit bisa mengaplikasikan apa yang
sudah dipelajari dulu, dalam kajian al-Quran. Terutama setelah membaca tafsir
al-Misbah karya Quraisy Shihab yang banyak menjelaskan tafsir dari aspek bahasa.
Salah satu pembahasan yang menarik dalam surat
al-fatihah adalah kajian dhamir (pronoun/kata ganti) dalam ayat terakhir surat
al-fatihah
صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا
الضَّالِّينَ
pada kata "an'amta" أَنْعَمْتَ
yang artinya Telah Engkau beri ni'mat, disini memakai past tense yang subjeknya
adalah Engkau atau Allah. sedangkan pada kata "al-magdhubi" الْمَغْضُوبِ yang artinya "yang dimurkai" dan
"adh-dhallin" الضَّالِّينَ yang
artinya "orang-orang yang sesat" menggunakan isim yang tidak jelas
siapa subjeknya.
Aspek yang menarik adalah penggunaan kata
"al-magdhubi" الْمَغْضُوبِ dan
"adh-dhallin" الضَّالِّينَ yang
menggunakan isim/noun, dibangingkan dengan kata "an'amta" أَنْعَمْتَ yang menggunakan fiil madhi / past tense.
Sejak kecil, kita sering diajarkan bahwa terjemahan
kata الْمَغْضُوبِ adalah "yang Engkau murkai" dan الضَّالِّينَ adalah "yang Engkau sesatkan". padahal kata tersebut
tidak menggunakan verb/kata kerja. seandainya menggunaan verb, maka kata
tersebut seharusnya menjadi غَضَبْتَ
dan ضَلَلْتَ . tetapi toh yang digunakan dalam surat al-fatihah adalah isim
(noun), bukan fi'il (verb). Masih banyak sekali saya jumpai, bahkan siswa siswa
saya jenjang SMA, yang masih menerjemahkan salah kata almagdhubi dengan “Engkau
murkai”, padahal perbedaannya sangat tajam dan maknanya berlawanan.
Penggunaan isim atau noun pada kata-kata tersebut
tentu mengandung hikmah yang mendalam, diantaranya jika berkaitan dengan
kebaikan, yang dianalogikan dengan kata ni'mah dalam ayat tersebut, maka
semuanya harus dikembalikan pada sang Subjek yang memberikan yaitu Allah.
seperti pada kata أَنْعَمْتَ yang jelas
subjeknya dengan dhamir anta (Engkau).
Tetapi jika berkaitan dengan keburukan, yang
dianalogikan dengan kemurkaan dan kesesatan, maka tidak seharusnya kita
mengembalikan sang pelakunya pada Allah. seperti pada kata الْمَغْضُوبِ dan الضَّالِّينَ yang tidak
jelas subjeknya.
Begitulah hebatnya Al-Qur’an, sangat jeli dalam
menggunakan setiap kata. Tidak ada perbedaan jenis kata dalam Al-Qur’an, bahkan
jika pun artinya sama kecuali mengandung makna dan hikmah yang mendalam secara
filosofis dan psikologis.
Ternyata penggunaan dhamir atau kata ganti dalam
al-fatihah mengandung hikmah yang sangat mendalam yaitu jika kita menerima
kebaikan atau melakukan kebaikan, sesungguhnya sumbernya dari Allah. tapi jika
kita menerima keburukan, tidak sepantasnya kita menisbatkan pelakunya pada
Allah.
wallahu'alam
sumber: Tafsir al-mishbah karya Prof. Quraisy Shihab
Semoga bermanfaat
Serpong. Rabu,
23 Mei 2018/ 7 Ramadhan 1439 H, 14.00, penyempurnaan dari tulisan tanggal 29 okt 09, 15.00
#KolaborasiZaiNovi
#ProyekRamadhanAlZayyan
#AlZayyanHari7
#Karya5TahunPernikahan
#SerunyaBelajarBahasaArab
No comments:
Post a Comment