Sudah beberapa hari ini, saya dan suami mendiskusikan sesuatu secara alot,
biasanya terjadi titik temu, kali ini kami berbeda pendapat. Sesuatu itu
bernama jabatan, yang menyapa suami secara mendadak dan tak terduga, hingga
membuat saya kaget dan tidak atau belum siap.
Saya terus terang tidak suka dengan makhluk yang bernama jabatan, sebisa
mungkin saya hindari, kecuali saya yakin bahwa saya bisa mengembannya. Suka
aneh dengan beberapa orang yang tergila-gila dengan jabatan, tapi itu memang
pilihan.
Saya ingat di tahun 2007, 3 tahun setelah saya bekerja, saya dirayu untuk
menjadi bendahara koperasi, dan langsung saya tolak. Pada saat hari pemilihan,
saya sengaja kabur ke Tasik, dengan alasan mudik, tujuannya tentu saja supaya
tak terpilih. Ternyata jika sudah takdirnya, tak bisa ditolak juga. Sebagian
besar anggota yang hadir tak mempermasalahkan ketidakhadiran saya, dan saya
tetap terpilih.
Jabatan memang tidak pernah saya minta, tapi jika sudah terpilih, saya
mencoba menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya, dan setelah dijalani ternyata
saya suka, seperti menemukan dunia baru. Tapi ternyata tak semua orang akan
menyukai yang kita lakukan, ada saja komentar yang menyakitkan dan membuat saya
drop secara mental, sehingga menjadi pengalaman traumatik yang tidak
terlupakan. Di akhir kepengurusan, saat anggota meminta saya kembali menjadi
pengurus, saya menolak, karena pengalaman traumatik itu begitu membekas dan
harus saya sembuhkan dulu. Alhamdulillah ada yang bersedia menjadi pengurus
saat itu.
Kini, suami diamanahi jabatan baru, menggantikan atasannya yang
mengundurkan diri. Entahlah saya tak bisa membohongi hati saya sendiri bahwa
saya tak mengijinkannya. Kadang saya juga bertanya dalam hati, mengapa saya tak
mendukung suami saja untuk mengemban amanah baru itu, agar dia tenang dalam
bekerja dan bisa belajar banyak hal. Saya pun curhat pada beberapa sahabat
saya, dan banyak masukan positif dari mereka.
Saya jadi teringat ayat Al-Qur’an yang ada dalam gambar di awal tulisan ini
dibuat. Ayat tersebut kembali membuat jiwa saya bergejolak. Jadi teringat
masa-masa saya “protes” terhadap takdir Allah. Sekitar 10 tahun lalu, saya
mempertanyakan ayat ini, terkait dengan penantian jodoh, dan sekarang kembali
saya harus berkonflik dengan ayat ini. Mengapa suami harus mengemban amanah
yang cukup berat, sementara saya sebagai istrinya tak mendambakannya. Mengapa saya
tidak mendambakannya? Karena saya khawatir dengan kondisi kesehatan suami. Saat
menjadi koordinator bidang saja sudah padat dan kadang lupa makan, bahkan
kemarin sampai tidak ikut studi kolaborasi karena tepar, apalagi jika
jabatannya lebih tinggi.
Suami pun mencoba memberi pemahaman bahwa ada beberapa situasi yang memang
tidak bisa kita tolak, dia jelaskan argumentasinya. Dasar istri ndableg, saya
keukeuh dengan pendapat saya, bahwa ini terlalu cepat, dan caranya, menurut
saya “kurang elok” karena ada aturan yang tidak sesuai dengan kesepakatan yang
sudah dibuat.
Ikhlas atau tidak, terpaksa atau sukarela, suami tetap komitmen menjalankan
amanah yang sudah dipercayakan padanya. Tinggal istrinya ini, belajar dan
berjuang untuk ikhlas menerima kenyataan dan memantaskan diri agar suami nyaman
dan tenang menjalankan amanahnya.
Saya pun mencari dalil untuk menguatkan kegelisahan saya.
Suatu
ketika, Abdurrahman bin Samurah diberi wasiat oleh Rasulullah SAW.
Sabda
beliau, ''Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah sekali-kali kamu meminta
jabatan atau kekuasaan. Karena, jika engkau memperolehnya karena sebab meminta,
maka engkau akan menanggung beban yang begitu berat. Tapi, jika ia engkau
peroleh bukan karena engkau memintanya, maka engkau akan dibantu Allah dalam
melaksanakannya.''
(HR.
Abu Dawud).
Saat membaca hadits tersebut, saya pun merasa dikuatkan. Suami dan saya,
sama-sama tak pernah meminta jabatan, tapi saat jabatan itu datang, tentu tidak
ada yang kebetulan, semoga saya dan suami, yang sama-sama sedang mengemban
amanah jabatan yang cukup berat, bisa kuat dan semangat untuk berbagi kebaikan.
Syemangat…
Semoga Bermanfaat
Ahad, 240219.13.15
#ProgramHamil40Hari#Episode4#Hari3
No comments:
Post a Comment