Hari Minggu 1 Juli 2012 adalah hari yang tak terlupakan dalam hidup
saya karena di hari itulah, saya (bersama 5 orang lainnya) bisa
menginjakkan kaki di Paris, ibukota Perancis. Kota Paris berpenduduk
hampir 12 juta jiwa dan merupakan salah satu wilayah metropolitan
terpadat di Eropa. Paris adalah kota tujuan turis paling populer di
dunia karena dikunjungi oleh kurang lebih 30 juta wisatawan per tahun
nya. Tempat terpopuler yang menjadi incaran para wisatawan dan sekaligus
menjadi icon kota Paris, adalah menara Eiffel.
Menara ini diresmikan pada tanggal 31 Maret 1889 dan dibangun dalam
rangka pekan Pameran Dunia dan perayaan Revolusi Perancis. Pemimpin
Proyek menara ini adalah Tuan Gustave Eiffel dan dibantu oleh, antara
lain, para insinyur Maurice Koechlin dan Emile Nouguier serta Stephen
Sauvestre sebagai arsitek. Rencana proyeknya dimulai tahun 1884, tapi
pembanguan menara baru dimulai pada tahun 1887 dan selesai 26 bulan
kemudian yaitu pada tahun 1889. Rencananya, menara ini akan dirobohkan
setelah berlangsungnya pekan Pameran Dunia 1900. Akan tetapi menara
Eiffel ini kemudian dipertahankan karena uji coba dari transmisi radio
yang dikendalikan oleh Angkatan Bersenjata Perancis sebelum hari
pemugaran, ternyata berhasil dilakukan.
Kami mendatangi menara Eiffel ini sebanyak 2 kali yaitu di siang hari
dan di malam hari. Kami ingin melihat indahnya Eiffel ini di saat
terang & saat gelap, dan ternyata sama indahnya, walaupun saat itu
kota Paris sangat padat berjubel dengan para penggila bola karena
bertepatan dengan final Piala Dunia antara Spanyol lawan Italia.
Ketidaknyamanan riuhnya kota Paris saat itu, terbayar dengan indahnya
suasana di sekitar Eiffel yang cerah di siang hari dan bertaburan lampu
warna warni di malam hari.
Jumlah tangga menara ini adalah 1.665. Tangga ini merupakan surga
bagi bagi pengunjung yang senang olah raga, tapi menjadi neraka bagi
yang malas berjalan. Ada 2 buah lift yang naik ke tingkat dua, kabarnya
disana juga bisa ditemukan berbagai toko souvenir. Kami memutuskan tidak
naik ke atas, dan hanya menikmati dari bawah dan berpose ria dari
berbagai sisi. Setelah itu, kami pun mencari souvenir khas Eiffel.
Setelah lelah berkeliling dan berburu souvenir, ternyata perut kami
menuntut hak nya. kami pun memutuskan untuk makan malam di sebuah
restoran khas Perancis, tak jauh dari Eiffel. Di restoran inilah, salah
satu teman saya baru menyadari bahwa dompetnya kecopetan. Ceritanya,
saat kami memesan makanan, seorang pelayan meminta koin dari Indonesia
setelah tahu bahwa kami berasal dari Indonesia. Saat teman kami ingin
mengambil koinnya dari dompet, teman kami mencari-cari dompetnya dan ia
pun langsung lemas saat menyadari bahwa dompetnya sudah tidak ada di
tasnya. Kami sudah tahu dan membaca tentang rawannya Eiffel ini, bahkan
teman saya yang kecopetan ini, pernah mengingatkan kami untuk
menempatkan uang dan barang berharga, tidak di satu tempat. Tapi namanya
musibah, ternyata tak dapat dihindari dan tak memilih orang. Tak ada
yang bisa dilakukan selain harus menerima musibah ini dengan lapang
dada.
Walaupun musibah ini membuat kami sedih tapi kami tetap harus
melanjutkan acara makan malamnya. Kondisi cuaca saat itu masih cerah dan
terlihat masih terang, seperti jam 5 sore di Indonesia, padahal waktu
setempat menunjukkan pukul 8 malam. Karena itulah kami makan malam tapi
dalam kondisi yang terang benderang. Suasana makan malam saat itu sangat
romantis, walaupun dalam suasana duka. Restoran khas Perancis ini
ternyata memang sesuai yang digambarkan di film-film, syahdu dan tak
terlupakan.
Restoran khas Perancis biasanya menawarkan 3 jenis makanan yaitu
makanan pembuka, makanan utama dan makanan penutup. Makanan pembukanya,
saya pilih salad. Makanan utamanya adalah pasta dengan salmon dan
makanan penutupnya adalah es krim coklat. Hm, nyam nyam, kenyang banget
deh. Akhirnya hak perut ini pun tertunaikan.
Paris ternyata membuat kami berbahagia sekaligus bersedih. Berbahagia
karena kami bisa menyaksikan menara Eiffel di siang dan malam hari. Dan
bersedih karena teman saya, kehilangan dompet dan seluruh isinya (uang
euro, atm, kartu kredit dan ada juga uang rupiahnya). Musibah kecopetan
inilah yang melatar belakangi judul tulisan ini: Eiffel, we are not in
love.
Tapi, bersama kesulitan, selalu ada kemudahan. Dalam surat
Al-Insyirah, Allah menjanjikan bahwa kemudahan itu selalu bersanding
dengan kesulitan. Bahkan, kemudahan itu mengapit dua kesulitan. Teman
saya yang kecopetan, pun mengalaminya. Saat kami berburu souvenir di
Paris, kami berbelanja di sebuah toko milik seorang muslim. Saat
pemiliknya tahu bahwa teman saya kecopetan, beliau mempersilakan teman
saya ini untuk berbelanja sesuka hatinya, bahkan sebelum pulang, beliau
memberikan uang sebanyak 30 euro (sekitar 360.000 rupiah). Teman saya
ini sampai menitikkan air mata menyaksikan kebaikan seorang muslim
pemilik toko souvenir itu. Mungkin tak menyangka akan bertemu orang
sebaiktu; dan bagi teman saya, uang 30 euro itu sangat berarti sekali
karena perjalanan kami saat itu, baru setengah perjalanan. Ini adalah
hari ke-5 dari 10 hari yang direncanakan. Sang pemilik toko hanya
mengatakan bahwa sesama muslim itu bersaudara, jadi harus saling
membantu. Alhamdulillah, semoga kebaikannya dibalas dengan yang lebih
baik.
Wassalam
Eva Novita Ungu
Rabu, 13 Februari 2013
“yang pernah bermimpi pengen ke Paris, setelah nonton film Eiffel I’m in Love”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Postingan Favorit
-
Saya senang sekali bahasa Arab dari dulu, terutama senang mengamati dan mendalami penggunaan bahasa Arab dalam Al-Qur’an. Skripsi dan...
-
Jika kita membaca al-Qur'an secara teliti, ada beberapa kata yang digunakan untuk menjelaskan suatu makna. Tentang penciptaan misalny...
-
Secara garis besar, kalam insya’i terbagi menjadi dua yaitu thalabi dan ghair thalabi . Definisi Insya Thalabi adalah yang kalimat ...
No comments:
Post a Comment