Hari Minggu adalah hari jalan jalan yeay...
Saksikan video serunya di sini...
https://youtu.be/humseJoctR8
Jangan lupa like dan subscribe ya hehe
Hari Minggu adalah hari jalan jalan yeay...
Saksikan video serunya di sini...
https://youtu.be/humseJoctR8
Jangan lupa like dan subscribe ya hehe
Hari Sabtu kemarin, jadwal belajar saya adalah
tentang Sirah Nabawiyah. Tampaknya saya harus belajar lebih banyak lagi tentang
Sirah Nabawiyah, maka saya khususkan hari Sabtu untuk mengkaji segala hal
tentang Sirah Nabawiyah.
Kata “Sirah” berasal dari bahasa Arab yaitu “saara
(سار)” yang artinya “perjalanan”. Maka Sirah
Nabawiyah berarti perjalanan khidupan Nabi Muhammad Saw yaitu sejak lahir
hingga wafatnya. Terminologi ini diperkenalkan pertama kali oleh Ibnu Syihab az
Zuhri (wafat 124 H), seorang ulama Madinah yang merupakan pakar ilmu hadits. Berpuluh
tahun kemudian, Ibnu Hisyam al-Bashri (wafat 218 H) melalui karya-karyanya
memopulerkan istilah tersebut.[1]
Ada juga yang menyebutkan bahwa Sirah itu berarti
tingkah laku, cerita/kisah, jalan atau cara dan biografi. Maka mempelajari Sirah
Nabawiyah adalah suatu keharusan bagi seorang muslim karena Rasulullah
adalah Sosok teladan dalam seluruh aspek kehidupan, dan menjadi tokoh paling
berhasil dalam menciptakan peradaban Islam yang maju.
Sebelum mempelajari Sirah Nabawiyah secara
khusus, kita juga harus memahami esensi belajar Sirah Nabawiyah. Mengapa kita
harus belajar Sirah Nabawiyah? Adalah pertanyaan mendasar yang harus
kita cari jawabannya agar kita lebih antusias untuk belajar Sirah Nabawiyah.
Setiap Jumat, saya menetapkan diri untuk
belajar dari awal kitab Al Hikam, yang dikarang oleh Syaikh Ibnu Athaillah As
Sakandari. Sebelum menelaah isinya, tentu kita harus mengenal siapa pengarang
kitab nya. Ibnu Atha’illah lahir di Kota Iskandariah, Mesir pada tahun 648
H/1250 M dan wafat pada tahun 1309 M. Maka dari kota kelahirannya inilah,
julukan as-Sakandari disematkan pada namanya. Di kota inilah hidupnya
dihabiskan untuk mengajar fikih madzhab Imam Maliki di masjid Al Azhar dan
sekaligus ia dikenal sebaga”master” /Syaikh besar ketiga di lingkungan tarekat
sufi Syadziliyah.
Sejak kecil, Ibnu Athaillah dikenal gemar
belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syaikh secara bertahap. Keluarganya
adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama. Kakek dari jalur nasab
ayahnya adalah seorang ulama fiqh pada masanya. Saat remaja, Ibnu sudah belajar
pada ulama ulama besar di kota Iskandariyah.