Sunday, January 30, 2022

Ngebolang ke Gunung Dago Parung Panjang

 


Hari Minggu adalah hari jalan jalan yeay...

Saksikan video serunya di sini...


https://youtu.be/humseJoctR8 

Jangan lupa like dan subscribe ya hehe

Esensi Belajar Sirah Nabawiyah

 


Hari Sabtu kemarin, jadwal belajar saya adalah tentang Sirah Nabawiyah. Tampaknya saya harus belajar lebih banyak lagi tentang Sirah Nabawiyah, maka saya khususkan hari Sabtu untuk mengkaji segala hal tentang Sirah Nabawiyah.

Kata “Sirah” berasal dari bahasa Arab yaitu “saara (سار)” yang artinya “perjalanan”. Maka Sirah Nabawiyah berarti perjalanan khidupan Nabi Muhammad Saw yaitu sejak lahir hingga wafatnya. Terminologi ini diperkenalkan pertama kali oleh Ibnu Syihab az Zuhri (wafat 124 H), seorang ulama Madinah yang merupakan pakar ilmu hadits. Berpuluh tahun kemudian, Ibnu Hisyam al-Bashri (wafat 218 H) melalui karya-karyanya memopulerkan istilah tersebut.[1]

Ada juga yang menyebutkan bahwa Sirah itu berarti tingkah laku, cerita/kisah, jalan atau cara dan biografi. Maka mempelajari Sirah Nabawiyah adalah suatu keharusan bagi seorang muslim karena Rasulullah adalah Sosok teladan dalam seluruh aspek kehidupan, dan menjadi tokoh paling berhasil dalam menciptakan peradaban Islam yang maju.

Sebelum mempelajari Sirah Nabawiyah secara khusus, kita juga harus memahami esensi belajar Sirah Nabawiyah. Mengapa kita harus belajar Sirah Nabawiyah? Adalah pertanyaan mendasar yang harus kita cari jawabannya agar kita lebih antusias untuk belajar Sirah Nabawiyah.

Kajian Kitab Al Hikam

 


Setiap Jumat, saya menetapkan diri untuk belajar dari awal kitab Al Hikam, yang dikarang oleh Syaikh Ibnu Athaillah As Sakandari. Sebelum menelaah isinya, tentu kita harus mengenal siapa pengarang kitab nya. Ibnu Atha’illah lahir di Kota Iskandariah, Mesir pada tahun 648 H/1250 M dan wafat pada tahun 1309 M. Maka dari kota kelahirannya inilah, julukan as-Sakandari disematkan pada namanya. Di kota inilah hidupnya dihabiskan untuk mengajar fikih madzhab Imam Maliki di masjid Al Azhar dan sekaligus ia dikenal sebaga”master” /Syaikh besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah.

Sejak kecil, Ibnu Athaillah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syaikh secara bertahap. Keluarganya adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama. Kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqh pada masanya. Saat remaja, Ibnu sudah belajar pada ulama ulama besar di kota Iskandariyah.

Postingan Favorit