Saya dan suami ditakdirkan bergelut dalam bidang yang sama yaitu bahasa Arab. Maka kami sering berdiskusi terkait banyak hal, walaupun bidang kajian spesifik kebahasaAraban saya dan suami berbeda. Suami fokus pendidikannya di bidang Syariah dan pendidikan Bahasa Arab, sementara saya lebih tertarik pada bahasa Arab dalam Al-Qur'an. Maka saya tertarik mengkaji penggunaan kata-kata bahasa Arab dalam Al-Qur'an yang sarat makna.
Kali ini, kita akan membahas penggunaan kata kutiba, yang akan kita bandingkan dengan kata faradha dalam Al-Qur’an. Naluri “kebahasa Araban” saya, hanya fokus pada jenis pasifnya kata tersebut, sementara suami, lebih jeli lagi. Ia menantang saya untuk membandingkan kata kutiba, dengan faradha bahkan dengan kata wajaba. Tapi sejak beberapa hari yang lalu, mencari dan mendalami referensi tentang kata kutiba dan faradha saja sudah membuat kepala pening dihantui rasa penasaran. Sepertinya kata wajaba tidak akan sempat dibahas pada tulisan ini, karena dua kata ini saja, sepertinya akan menjadi panjang.
Membandingkan penggunakan dua kata ini dalam Al-Qur;an, saya harus mencari secara detail ayat mana saja yang menggunakan kata kutiba dan faradha dan turunannya. Penggunaan kata kutiba dalam Al-Qur’an, sudah dibahas pada tulisan sebelumnya, ada disini. Maka kali ini, kita akan amati penggunaan kata faradha dan derivasi/turunannya dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Ada beberapa ayat yang menggunakan kata faradha dan turunannya dalam Al-Quran :
1. Surat Al Baqarah ayat 68
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لا فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ
Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".
2. Surat al-Baqarah ayat 197
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
3. Surat Al Baqarah ayat 236-237
لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ....
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلا أَنْ يَعْفُونَ
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.... (236)
Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, (237)
4. Surat An-Nisa ayat 7
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
5. Surat An-Nisa ayat 11
لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
6. Surat An-Nisa ayat 24
...فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
.... Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
7. Surat An-Nisa ayat 118
لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لأتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan: "Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya),
8. Surat At-Taubah ayat 60
وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
9. Surat An-Nur ayat 1
سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya.
10. Surat Al Ahzab ayat 38
مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا
Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku,
11. Surat Al Ahzab ayat 50
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki
12. Surat al-Qashash ayat 85
إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ مَنْ جَاءَ بِالْهُدَى وَمَنْ هُوَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ
Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Qur'an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata".
13. Surat at-Tahrim ayat 2
قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Mengapa perintah puasa dalam Al-Qur’an menggunakan lafadz kutiba, bukan faradha? Pasti ini bukan hal yang terjadi secara kebetulan. Pemilihan setiap kata, jenis kata dalam Al-Qur’an, tak ada yang tanpa hikmah di dalamnya. Sementara kata faradha pada ayat-ayat yang sudah disebutkan diatas, digunakan pada berbagai tema dan kondisi.
Bagaimana dengan perintah shalat? Pada ayat 103 surat An Nisa, kata yang digunakan untuk shalat adalah lafadz kutiba (kitaaban) bukan faradha.
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Maka benang merahnya adalah, kata kutiba dan turunannya digunakan pada perintah puasa dan shalat, karena itu terkait kewajiban yang yang dilakukan pada tempat tertentu, waktu tertentu dan dengan cara tertentu. Sementara kata faradha itu digunakan pada sesuatu yang wajib, tapi tak berbatas waktu seperti sedekah, warisan, mahar dan lain-lain.
Ada juga yang membedakan kata kataba dengan faradha dengan analogi berikut :
Seorang siswa diwajibkan belajar agar lulus ujian, tapi juga diwajibkan mengikuti upacara, walalupun tak menentukan kelulusan. Upacara yang dilakukan pada waktu tertentu, itulah yang termasuk Wajib/kutiba, sementara kewajiban belajar itu termasuk fardhu karena termasuk ketetapan yang diwajibkan tanpa dibatasi waktu.
Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa lafadz niat kita Nawaitu Shauma Gadhin... (Aku berniat puasa Fardhu Ramadhan karena Allah ta’ala). Padahal perintah puasa dalam Al-Qur’an itu menggunakan lafadz kutiba, bukan faradha... Begitupula dengan lafadz niat shalat yang menggunakan kata fardhu (ushalli fardhal magrib ....). silakan direnungkan.
Bagaimana dengan perbedaan wajib dan fardhu dalam kaidah ushul Fiqh? Menurut Madzhab Maliki dan Syafii, tak ada perbedaan antara wajib dan fardhu, sementara menurut Madzhab Hanafi, fardhu adalah sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i atau pasti seperti membaca Al-Qur’an dalam shalat, sedangkan wajib adalah sesuatu yang ditetapkan melalui dalil zhanni/yang masih mengandung syubhat/diambil dari khabar ahad (tidak mutawatir), seperti zakat fitrah, shalat witir dan lain-lain.
Demikianlah pembahasan tentang perbedaan kata kutiba dan faradha, dari sisi bahasa dan ushul Fiqh. Dari sisi bahasa, kata kutiba dan turunannya digunakan pada kewajiban yang dilakukan pada tempat tertentu, waktu tertentu dan dengan cara tertentu seperti shalat dan puasa. Sementara kata faradha itu digunakan pada sesuatu yang wajib, tapi tak berbatas waktu seperti sedekah, warisan, mahar dan lain-lain.
Wallahu’alam
Semoga bermanfaat
Wassalam
Serpong, Senin, 17 April 2023 / 26 Ramadhan 1444 H, 12.10
Sumber :
Mu’jam Mufahras li Alfazh Al Qur’an, karya Muhammad Fuad Abdul Baqi
http://www.piss-ktb.com/2014/12/3719-ushul-fiqh-wajib-dan-fardhu-adalah.html
https://www.kompasiana.com/gatotsantoso/puasa-itu-bukan-fardhu-tetapi-kutiba_55087cf1a333115a312e3942
https://www.kompasiana.com/gatotsantoso/puasa-itu-bukan-fardhu-tetapi-kutiba_55087cf1a333115a312e3942
#KLIP2023
#ProyekRamadhanAlZayyan
#SerunyaBelajarBahasaArab
No comments:
Post a Comment