Wednesday, May 23, 2018

Al Zayyan Hari 7: Kesalahan Kecil Berakibat Fatal dalam menerjemahkan ayat terakhir surat Al-Fatihah.



Saat saya menempuh pendidikan SMP di pesantren, saya belajar banyak tentang bahasa Arab. dari mulai nol tidak tau sama sekali, hingga sedikit demi sedikit bisa mengerti bahasa Arab, walaupun tidak mendalam. karena pesantren yang seharusnya ditempuh selama 6 tahun, saya tinggalkan dengan memilih pendidikan umum di tingkat SMU.

Dulu, saya tidak mengerti mengapa saya harus menghafal nahwu dan sharf yang bejibun rumusnya. sekarang saya harus berterima kasih pada pesantren karena disitulah secara kognitif, saya mendapatkan banyak ilmu. setelah kuliah, barulah sedikit demi sedikit bisa mengaplikasikan apa yang sudah dipelajari dulu, dalam kajian al-Quran. Terutama setelah membaca tafsir al-Misbah karya Quraisy Shihab yang banyak menjelaskan tafsir dari aspek bahasa.

Salah satu pembahasan yang menarik dalam surat al-fatihah adalah kajian dhamir (pronoun/kata ganti) dalam ayat terakhir surat al-fatihah


صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ

pada kata "an'amta" أَنْعَمْتَ yang artinya Telah Engkau beri ni'mat, disini memakai past tense yang subjeknya adalah Engkau atau Allah. sedangkan pada kata "al-magdhubi" الْمَغْضُوبِ yang artinya "yang dimurkai" dan "adh-dhallin" الضَّالِّينَ yang artinya "orang-orang yang sesat" menggunakan isim yang tidak jelas siapa subjeknya.

Tuesday, May 22, 2018

Al Zayyan Hari 6 : Persamaan dan Perbedaan kata shaum ( صَوْم) dan shiyam (صِيَام)


Selama ini, kebanyakan dari kita menganggap tak ada perbedaan antara shaum ( صَوْم) dan shiyam (صِيَام), toh terjemahannya pun diartikan sama yaitu puasa. Tapi jika kita analisis lebih lanjut, apalagi nanti jika dikombinasi dengan hadits terkait, ternyata ada perbedaan mendasar antara shaum ( صَوْم) dan shiyam (صِيَام). Hal ini baru bisa kita fahami, jika kita telusuri akar kata dan bentuk katanya. Sementara, saat diterjemahkan, keduanya diberi arti, Puasa. Begitulah terbatasnya bahasa penerjemahan, tak bisa mewakili makna yang mendalam dari bahasa aslinya.

Kata shaum ( صَوْم) dan shiyam (صِيَام) adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata shaama-yashuumu (صام - يصوم). Keduanya sama-sama disebut dalam Al-Qur’an.

Kata shaum disebutkan sekali yaitu dalam surat Maryam ayat 26 yang berbunyi:
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
“Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seseorang, katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar shaum untuk Tuhan Yang Maha Pemurah; aku tidak akan berbicara dengan seorang pun pada hari ini.”
Kata shaum dalam ayat tersebut menurut Jumhur mufasir bermakna shamt (perihal diam, perihal tidak berkata-kata—menahan diri dari berkata-kata). Arti itu dipertegas dengan kalimat berikutnya: fa lan ukallima al-yauma insiyya. Aku tidak akan berbicara dengan seorang pun pada hari ini.
Sedangkan kata“shiyam” dalam Al-Quran disebutkan 9 kali dal

Monday, May 21, 2018

Al Zayyan Hari 5 : MENGAPA AL-QURAN BERBAHASA ARAB? (STUDI KASUS PADA AYAT TENTANG PESAN LUQMAN)




كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui  (QS. AL-FUSHSHILAT, 41: 3)

Mengapa al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab?? Mengapa tidak menggunakan bahasa lain? Ada apa sich dengan bahasa Arab? Sebegitu istimewanya kah bahasa ini hingga dipilih Allah utk menyampaikan ajaranIslam?

Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati, mengungkapkan “Kalau anda ingin menyampaikan pesan ke seluruh penjuru, sebaiknya anda berdiri di tengah dan di jalur yang memudahkan pesan itu tersebar. Hindari tempat dimana ada suatu kekuatan yang dapat menghalangi dan atau merasa dirugikan dengan penyebarannya, kemudian pilih penyampai pesan yang simpatik,berwibawa dan berkemampuan sehingga menjadi daya tarik tersendiri. Timur tengah adalah penghubung Timur dan Barat. Wajarlah jika kawasan ini menjadi tempat menyampaikan pesan Ilahi yang terakhir dan yang ditujukan kepada seluruh manusia di seluruh penjuru dunia.”




Dan bahasa yang digunakan di Timur Tengah adalah bahasa Arab. Ada banyak bahasa di dunia ini yang sudah punah bersamaan dengan menghilangnya para penutur aslinya atau bahasa-bahasa tersebut akan melemah bersamaan dengan lemahnya para pengguna bahasa tersebut, seperti bahasa Yunani, Mesir, bahasa Phoenisia dan lain-lain. Tapi bahasa Arab, hingga saat ini masih ada dan terus terpelihara pada setiap struktur bahasanya, baik aspek fonetik, morfologi, sintaksis dan semantiknya. Apa yang membuat bahasa Arab ini memiliki keistimewaan konsistensi seperti itu? Ternyata jawabannya karena  al-Qur’an. Dengan diturunkannya al-Qur’an, banyak manusia berbondong-bondong ingin mempelajari bahasa Arab, baik dari kalangan orang Arab maupun non-Arab. Hal inilah yang menjadikan bahasa Arab akan tetap menjadi bahasa yang tidak akan punah dan tetap terpelihara seiring dengan terpeliharanya al-Qur’an.

Lalu mengapa al-Qur’an yang berbahasa Arab ini lah yang dipilih Allah sebagai mujizat Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir hingga akhir zaman? Mengapa bukan hal lain seperti mujizat Nabi Musa dan Nabi Isa yang bersifat inderawi? Sebelum kesana, mari kita perhatikan definisi mujzat menurut para ahli.

Mujizat adalah sesuatu yang luar biasa yang dihadirkan oleh seorang nabi untuk menantang siapa yang tidak mempercayainya sebagai nabi dan tantangannya itu tidak dapat dihadapi oleh banyak yang ditantang. Mujizat juga bisa bermakna hal yang tidak wajar, keluar dari hukum kausalitas yang telah dipahami. Begitulah definisi mujizat menurut para pakar.

Setiap nabi yang diberi mu’jizat oleh Allah untuk suatu kaum, maka mujizatnya akan disesuaikan dengan kondisi keahlian kaumnya. Sesuatu yang luar biasa pada saat nabi diutus pada suatu kaum, maka mujizatnya pun menyesuaikan. Seperti pada zaman kaum Fir’aun, pada saat itu yang menjadi trend nya adalah sihir, maka Nabi Musa pun diutus dengan mujizat berupa tongkat yang bisa menjadi ular.
Lalu pada saat Nabi Isa diutus pada kaumnya, saat itu ilmu kedokteran sedang mencapai puncak kejayaannya, maka datanglah Nabi Isa dengan membawa mujizat yaitu bisa menyembuhkan orang sakit dan bisa menghidupkan orang mati, sesuatu yang tidak bisa dilakukan ilmu kedokteran saat itu. Jika mujizat kedua nabi itu ditukar, tentu tidak akan cocok dengan kondisi kaumnya.

Begitupula saat Nabi Muhammad diutus, pada masa itu sastra dan penyair sangat dielu-elukan dan mencapai puncak kejayaannya, bahkan beberapa karya sastra sampai dipajang di Ka’bah sebagai bentuk penghormatan bagi sesuatu yang dianggap luar biasa saat itu. Ketika al-Qur’an turun dengan bahasa yang sederhana tapi mendalam maknanya, gemparlah masyarakat Arab saat itu. Bagi kita yang kurang mendalami bahasa Arab, mungkin tidak akan terlalu terasa kemujizatan bahasa Arab dalam al-Qur’an. Tapi bagi para penyair saat itu, bahasa al-Qur’an itu membuat mereka kagum. Banyak aspek yang membuat bahasa Arab yang ada dalam al-Qur’an ini sangat mengagumkan, diantaranya permulaan kata-kata dalam setiap surahnya sangat rapi, keserasian antar ayat serta keterikatan hubungan antara yang satu dengan yang lain sehingga dalam satu kalimat terdapat kesatuan makna yang serasi dann struktur yang tersusun rapi, gaya bahasa yang digunakan, dan yang terpenting adalah isi kandungannya yang mencakup berbagai aspek dalam kehidupan. Faktor bahasa dan isi kandungan nya lah yang membuat Al-Quran menjadi mujizat hingga saat ini. Dari satu surat al-Fatihah saja, sudah lahir ribuan bahkan jutaan buku yang menjelaskan kedua aspek tersebut, yaitu aspek bahasa dan makna nya.

Sebagai contoh terkait dengan bahasa dan makna nya, kita akan membahas wasiat Luqman pada anaknya. Wasiat Luqman ini terdapat pada surat Luqman dari ayat 13 sampai ayat 20.
Pada ayat 14:

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”

Pada ayat ini, redaksi awal yang dipakai adalah “Kami Perintahkan”. Subjek pada ayat  ini bukanlah Luqman yang berbicara, tapi Allah langsung yang memerintahkan. Berbeda dengan ayat sebelumnya pada ayat 13:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberii pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar".

Pada ayat 13, jelas sekali bahwa Luqman lah yang berperan sebagai subjek yaitu yang memberi nasehat secara langsung pada anaknya, hal ini diperjelas dengan adanya kata “Hai anakku”. Tapi pada ayat 14 tentang perintah untuk berbakti pada orang tua, ternyata redaksi yang digunakan adalah “Kami perintahkan” dalam hal ini Allah langsung yang memerintahkan. Adakah rahasia di balik penggunaan subjek yang berbeda pada kedua ayat tersebut? Ternyata, alasannya ada 2 yaitu:

Pertama, perintah orang tua adalah perintah yang besar, begitu pula nasehatnya, maka Allah tidak membiarkan Luqman untuk menasehati anaknya. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kedudukan orang tua disisi Allah itu adalah sangat tinggi, bahkan perintah berbakti kepada orang tua diletakkan di tempat tertinggi kedua setelah perintah untuk tidak menyekutukan Allah. Karena itulah, redaksi yang digunakan bukan redaksi manusia lagi seperti di ayat 13, tapi Allah langsung yang memerintahkan.

Kedua, seandainya Allah membiarkan Luqman berkata, “Anakku, taatilah kedua orang tuamu” maka berarti hal ini termasuk hal yang dibuat-buat. Karena, ketika memberi nasehat, biasanya kita melihat orang yang menasehatinya, apakah orang yang memberi nasehat itu telah sesuai dengan nasehat yang diberikannya? Apakah nasehat ini akan memberi keuntungan pada sang pemberi nasehat? Maka seandainya Allah membiarkan Luqman memberi nasehat pada anaknya, maka kemungkinan sang anak akan mengira bahwa ayahnya (Luqman) akan memperoleh keuntungan dari dirinya. Akan tetapi, saat redaksi yang digunakan adalah Allah sendiri yang memberi nasehat, maka tidak ada manfaat yang kembali kepada Luqman dan Allah pun tidak akan mendapatkan keuntungan apapun.

Di ayat berikutnya, redaksi nya kembali menggunakan Luqman sebagai subjek, dengan kembali menggunakan “hai anakku” yaitu nasehat tentang balasan dari setiap perbuatan di ayat 16, tentang shalat dan amar ma’ruf nahi munkar di ayat 17, tentang larangan untuk bersikap angkuh di ayat 18 dan tentang menyerdehanakan berjalan dan melembutkan suara di ayat 19.
Hal ini juga mengandung hikmah bahwa saat orang tua menasehati anaknya, dalam hal apapun boleh menasehati secara langsung, tapi terkait dengan menasehati untuk berbakti pada orang tua, maka redaksi yang dicontohkan al-Qur’an adalah secara tidak langsung, sehingga seolah-olah tidak seperti “hai anakku, hormatilah dan berbaktilah pada kami”. Demikian hikmah dari pesan Luqman pada anaknya.

Lalu, hal menarik lainnya adalah penggunaan kata بِوَالِدَيْهِ di ayat 14. Kata “Walidain” dalam bahasa Arab adalah bermakna orang tua. Kata lain yang bermakna orang tua adalah “abawain”. Penggunaan kata “walidain” di ayat ini (dan bukan menggunakan kata “abawain”) tentu bukan hal yang kebetulan, tapi ada maksudnya dan adanya saling keterhubungan antara redaksi dan makna (munasabah). Pada ayat 14 ini yang disinggung lebih banyak adalah peran ibu seperti mengandung dan menyapih, yang diantara keduanya ada proses melahirkan (wiladah). Kata “Walidain” yang berarti orang tua sangat berhubungan dengan wiladah yang dalam hal ini dialami para ibu. Maka dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa berbuat baik kepada ibu, harus lebih banyak dibanding kepada ayah. Karena peran ibu lebih berat dibanding peran ayah (dengan tidak mengurangi rasa hormat pada peran ayah). Ada banyak ibu yang bisa berperan sebagai ayah yaitu sebagai pencari nafkah, tapi ada beberapa peran ibu yang tidak bisa dilakukan para ayah seperti mengandung dan melahirkan. Ini diperkuat dengan sebuah hadits yang menyuruh berbakti pada ibu 3 kali, baru setelah itu berbakti pada ayah.

Sementara kata “abawain” menunjukkan makna maskulin lebih dominan (dari kata “abun” atau ayah), dan kata ini hanya digunakan satu kali yaitu pada ayat tentang waris. Hal ini disebabkan bahwa bagian bapak lebih besar daripada bagian ibu. Akan tetapi ayat yang menyebutkan tentang kebaikan, pesan atau doa, pasti menggunakan kata “walidain” seperti doa yang sering kita abaca (Rabbigfirli waliwalidayya) … ini jugalah yang turut memperkuat bahwa berbakti dan mendoakan ibu harus lebih banyak. Tentu saja mendoakan keduanya harus tetap kita lakukan.

Demikianlah hikmah dari penggunaan bahasa Arab dalam al-Qur’an, yang ternyata mengandung makna yang sangat dalam. Dan Allah lah Pemilik segala ilmu. Segala puji hanya bagi Allah.

Wallahu’alam bish-shawwab
Referensi:
   1.     Ensiklopedia Mujizat al-Qur’an dan Hadits, Hisyam Thalbah dkk
   2.    Quraish Shihab, Lentera Hati
   3.    Al-Quran yang Menakjubkan, Prof. Issa J. Boullata

Wassalam
Serpong, Senin, 21 Mei 2018, repost dari Rabu, 28 November 2012
Ayo belajar bahasa Arab … karena bahasa Arab itu menyenangkan …

Serpong, Senin, 21 Mei 2018 / 5 Ramadhan 1439 H, 10.00

#KolaborasiZaiNovi
#ProyekRamadhanAlZayyan
#AlZayyanHari5
#Karya5TahunPernikahan
#SerunyaBelajarBahasaArab

Postingan Favorit