Judul Buku                : Segenggam Iman Anak Kita
Penulis                       : Mohammad Fauzil Adhim
Penerbit                      : Pro-U Media, Jogjakarta
TahunTerbit                : 2013
Jumlah Halaman         : 287
Yang menjadi latar belakang penulisan buku ini adalah keresahan sang 
penulis dalam mewariskan sesuatu untuk generasi masa depan. Banyak 
orangtua yang menginginkan anaknya cerdas, tapi ternyata menurut sang 
penulis, cerdas saja tidak cukup, cara untuk mengantarkan anak-anak 
meraih kecemerlangan, juga harus diperhatikan. Jangan sampai ambisi kita
 menjadikan anak “tampak istimewa” justru menjadi sebab rapuhnya jiwa 
dan lemahnya iman bersebab kita mengejar yang instan dan melupakan yang 
fundamental. Dalam rangka menanamkan yang fundamental inilah, buku ini 
disusun.
Buku ini terdiri dari 5 bagian besar yaitu Menjadi Orangtua untuk 
Anak Kita, Membekali Jiwa Anak, Menghidupkan Al-Qur’an pada Diri Anak, 
Sekedar Cerdas Belum Mencukupi dan Menempa Jiwa Anak, Menyempurnakan 
Bekal Masa Depan.
Pada bagian pertama, penulis mengkritisi teori yang mengatakan bahwa 
masa remaja adalah masa pencarian identitas diri. Teori ini hanya 
berlaku apabila kita tidak mempersiapkan arah dan tujuan hidup anak-anak
 sejak kecil. Jika orientasinya sejak awal sudah ditanamkan dengan 
bagus, maka masa remaja tak perlu dilalui dengan krisis identitas dan 
keguncangan jiwa. Tugas orangtua dan guru bukanlah mempersiapkan 
anak-anak memiliki prestasi akademik yang menakjubkan. Tugas mereka 
adalah membimbing anak-anak agar mencintai ilmu, sehingga dengan 
kecintaan yang besar itu mereka akan bersemangat dalam belajar. Selain 
itu menurut penulis, ada 3 bekal dalam mengasuh anak yang merujuk pada 
surat An-Nisa ayat 9, yaitu rasa takut terhadap masa depan mereka, takwa
 kepada Allah dan berbicara dengan perkataan yang benar.
Di bagian kedua, penulis menyajikan beberapa kisah terkait dengan 
peran ayah dalam menanamkan visi yang kuat pada anaknya, diantaranya 
kisah Muhammad Iqbal, seorang ilmuwan muslim. Saat ia kecil, ayahnya 
memberi nasehat, “Bacalah Al-Qur’an seakan-akan ia diturunkan untukmu”, 
nasehat ini sangat membekas di dada Iqbal hingga ia berkata, “Setelah 
itu, Al-Qur’an terasa berbicara langsung kepadaku.” Sementara terkait 
dengan akidah, penulis mengkritisi pluralisme dengan membedakan 2 
kalimat berikut “Islam adalah agama yang paling diridhai Allah Swt” 
dengan “Hanya Islam yang Allah Ridhai”. Sekilas tampak sama, tapi 
sesungguhnya kalimat pertama, memunculkan persepsi bahwa ada agama lain 
yang diridhai dengan tingkat keridhaan yang berbeda-beda, maka kalimat 
kedua lah yang seharusnya diucapkan, karena pluralitas tetap diajarkan 
bahwa memang banyak agama di dunia ini, tapi bukan pluralisme yang 
memandang semua agama sama.
Pada bagian ketiga, terkait dengan cara mendekatkan Al-Qur’an pada 
anak, sang penulis mengatakan bahwa mengajarkan keterampilan membaca dan
 menghafal Al-Qur’an tanpa menanamkan keyakinan yang kuat sekaligus 
pengalaman berinteraksi dengan ayat-ayat Al-Qur’an, sama seperti 
meletakkan bertumpuk kitab di punggung keledai. Banyak ilmu di dalamnya,
 tapi tak bisa mengambil pelajaran darinya. Penulis juga menjelaskan 
fakta bahwa di zaman keemasan islam, lahir para pemimpin yang disegani 
dan ilmuwan yang produktif dalam berbagai bidang, ternyata adalah karena
 kedekatannya dengan Al-Qur’an. Mereka membaca, merenungi, mengamalkan 
dan berusaha untuk senantiasa memperoleh manfaat yang besar.
Pada bagian keempat, penulis mengkritis beberapa teori psikologi, 
diantaranya tentang kecerdasan dan kreativitas serta otak kanan. Tentang
 kecerdasan, penulis menuturkan bahwa anak-anak yang memiliki kecerdasan
 luar biasa, atau mereka yang hanya disibukkan dengan belajar secara 
akademik, cenderung menjadi pribadi yang tidak matang dan rentan masalah
 jika mereka kurang memperoleh kesempatan berkembang secara alamiah. 
Sementara tentang kreativitas, menurut penulis, kreativitas itu penting 
tapi kreativitas harus berdiri diatas akhlak yang mulia. Kreativitas 
harus lahir sebagai konsekuensi dari pendidikan tauhid dan akhlak. 
Sementara tentang otak kanan, ternyata semua hal yang berkaitan dengan 
otak kanan, adalah mitos besar karena tak ada satu pun bukti riset 
akademik yang mendukung. Begitupula dengan mitos bahwa memperdengarkan 
music Mozart kepada bayi akan menjadikannya jenius, juga tak ada riset 
yang mendukung tentang hal tersebut.
Pada bagian terakhir, penulis mengingatkan para orangtua bahwa betapa
 pun lingkungan sangat berpengaruh, tetapi yang paling berperan adalah 
bagaimana orangtua membekalkan nilai-nilai hidup kepada anak. Bukan 
lingkungan, bukan zaman saat ia dibesarkan. Dan terakhir, penulis 
memaparkan ada 5 kesalahan orangtua dalam memotivasi yaitu membuat anak 
merasa bersalah, menjadikan anak merasa orantua tidak menganggapnya 
cukup pandai, menghancurkan harga diri anak, membuat anak defensi dan 
mendorong anak balas dendam. Penjelasannya ada di bagian akhir buku ini.
Sang Penulis yang bernama lengkap Mohammad Fauzil Adhim ini lahir di 
Mojokerto, 29 Desember 1972. Ia dikenal sebagai penulis terutama 
mengenai pernikahan dan parenting sekaligus dai muda yang cukup populer.
 Ibunya, Aminatuz Zuhriyah, sangat memanjakan dirinya dengan bacaan 
bergizi. Dia pun sejak kecil amat menyukai buku dan senang berbagi 
cerita tentang buku yang dibacanya kepada teman sebaya.
Masa remaja dihabiskannya untuk mengasah potensi kreatifnya dalam 
dunia baca-tulis. Sejak akhir kelas II SMA, ia rajin menulis 
artikel-artikel tentang pendidikan dan keluarga. Saat itu, ia juga sudah
 mulai memasukkan nilai-nilai keislaman ke dalam naskah cerpen dan 
skenario yang ditulisnya -- meskipun tidak verbal. Ia juga ikut 
bergabung dengan remaja masjid. Kesadaran itu terus berlanjut saat ia 
kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. 
Ketika itu ia terus aktif menulis, baik cerpen, reportase, maupun 
nonfiksi.
Diantara karya-karya nya adalah Kupinang Engkau dengan Hamdalah, 
Indahnya Pernikahan Dini, Mencapai Pernikahan Barokah, Membuat Anak Gila
 Membaca, Saat Berharga untuk Anak Kita. Mantan dosen Fakultas 
Psikologi UII Yogyakarta itu kini hidup sepenuhnya dari menulis. Di 
samping itu, ia pun mengabdi sebagai guru non akademik di SDIT 
Hidayatullah Yogyakarta.
Buku ini menarik karena selain baru diterbitkan tahun lalu, juga 
isinya sangat padat bermakna, sama seperti buku-buku karya penulis 
lainnya, nama penulis ini memang sudah menjadi jaminan kualitas isinya. 
Saya bersyukur sekali bisa mendapatkan buku pinjaman ini saat tugas 
mengawas di sekolah hari Sabtu lalu, dan langsung saya lalap habis buku 
ini hanya dalam hitungan jam.
Semoga Bermanfaat
Wassalam
Eva  Novita Ungu
Rabu, 20 Mei 2014
Makasih buat yang udah minjemin buku ini, sangat menginspirasi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Postingan Favorit
- 
Jika kita membaca al-Qur'an secara teliti, ada beberapa kata yang digunakan untuk menjelaskan suatu makna. Tentang penciptaan misalny...
 - 
Nama Allah al-'Afuww,al-Ghafur dan al-Ghaffar jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya sama yaitu Maha Pengampun. Tapi se...
 - 
Al-Qur’an adalah kitab suci yang memiliki banyak fungsi. Selain sebagai petunjuk, obat, ia juga adalah sumber ilmu, terutama terkait ...
 

No comments:
Post a Comment